Biarkan Mereka Terbang Bebas

Suatu sore, untuk kesekian kalinya, putera sulung saya minta izin untuk ikut teman-temannya naik gunung. Kali ini pilihan mereka adalah Gunung Semeru (mungkin karena terpesona dengan cerita film 5cm). Untuk kesekian kalinya juga, jawaban saya sama: “Mama tidak izinkan karena kamu belum punya pengalaman naik gunung dan Semeru cukup berat bagi pendaki pemula.” Sebenarnya saya hanya sok tahu soal medan Gunung Semeru (karena tidak pernah naik gunung). Saya tidak mengerti apa sih enaknya naik gunung itu, bikin capek saja dan juga ada resiko tersesat atau perubahan cuaca yang tidak bisa ditebak saat berada di gunung.

Ingin tahu apa jawaban si abg, yang membuat saya termangu? “Ma, aku juga ga tau apa enaknya naik gunung itu. Gimana bisa tau kalo tidak pernah mencoba sama sekali dan gimana bisa dapat kali kedua, ketiga dan seterusnya kalo ga diperbolehkan mencoba pertama kali? There is a first time for everything, Ma.” 

Malam itu saya tidak bisa tidur. Kata-kata: There is a first time for everything terus membayangi. Mengapa saya menolak memberi izin? Apakah karena saya tidak suka naik gunung maka anak-anak juga ‘wajib’ tidak suka? Apakah karena saya begitu khawatir dia tersesat, kedinginan, capek, kaki bengkak, maka dia harus cari kegiatan yang aman-aman saja? Kapan saya bisa memberikan kepercayaan penuh untuknya? Kapan saya akan memberikan kala pertama baginya untuk merasakan pengalaman naik gunung?

Sepertinya masalah ada pada diri saya sendiri. Saya terlalu khawatir melepas anak untuk pergi dengan teman-temannya tanpa pengawasan langsung dari saya, kurang percaya pada kemampuan anak mengatasi masalah yang mungkin timbul ketika ia jauh dari saya. Saya khawatir ia tidak bisa mencari jalan keluar yang baik dan sesuai standar saya. Saya khawatir ia tidak bisa memilih dengan bijak.

Saya ingat, dulu ketika berusia setahun lebih muda dari putera saya ini, saya sudah travelling ala backpacker dengan dua teman saya, Dora dan Cia ke Danau Toba dan tinggal beberapa hari di Tuktuk, Pulau Samosir. Untuk sampai di sana, kami naik kereta api ekonomi, kemudian disambung dengan naik bus dan juga perahu. Kami tinggal di rumah penduduk yang berdinding papan dengan lantai kayu yang sudah bolong-bolong (rumah panggung). Di waktu malam, terasa dinginnya semilir angin masuk dari celah-celah dinding papan dan lantai kayu. Itu pengalaman pertama travelling dengan teman sebaya dan ternyata menjadi pengalaman yang paling berkesan dan menjadikan saya kecanduan traveling. Berbaur dengan masyarakat sekitar, ikut melakukan kegiatan keseharian mereka, memasak di dapur si ibu yang punya rumah, membantu menghidangkan kopi untuk para turis yang makan dan minum di warung sederhananya. Harus saya akui, banyak hal yang pelajari dari perjalanan dengan teman-teman saat itu. Setelah saya renungkan,  mungkin karena saya dan kedua teman itu punya life skills yang cukup, yang membuat kami percaya diri pergi tanpa pengawasan orang tua. Ketika kami ketinggalan kereta api di stasiun Medan, karena salah jadwal, atau waktu pulang kemalaman ke rumah Tante di Pematang Siantar karena asik makan durian sambil ngobrol di emperan ruko, angkot dan becakpun sudah tidak beroperasi lagi tengah malam itu, kami tidak panik meskipun tidak hafal benar arah jalan pulang.

Ada istilah boomerang kids, anak-anak yang tidak mampu mengatasi masalahnya sendiri karena tidak pernah diajarkan bagaimana untuk bertahan hidup. Setelah dewasa, mereka menjadi gamang karena tidak dibekali life skills yang cukup. Mereka harus berjuang sendiri mencari jalan keluar ketika masalah menghadang.

Jika anak sudah dibekali dengan life skills yang cukup, seharusnya kita tidak perlu terlalu khawatir. Life skills apa saja yang dibutuhkan seorang anak?

  1. Keahlian bekerja (Work Skills). Kerja paruh waktu atau magang akan memberikan pengalaman baru bagi remaja karena mereka bisa banyak belajar dari dunia kerja nyata.
  2. Keahlian berpindah tempat dan navigasi (Transportation Skills). Yang dibutuhkan bukan hanya sekedar surat izin mengemudikan motor atau mobil atau hafal semua rute angkutan umum, tapi juga kemampuan navigasi dan melek arah, tidak gampang tersesat terlebih di tempat asing yang sama sekali tidak familiar.
  3. Keahlian menentukan tujuan (Goal Setting Skills). Kemampuan ini dibutuhkan bahkan untuk hal yang sederhana- seperti ingin menguruskan badan, hingga menentukan pilihan kuliah di jurusan apa atau kelak ingin berkarir di bidang apa. Anak perlu diajarkan bagaimana merancang road map dan tindakan apa saja yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan ini anak menjadi lebih terarah dan fokus dan menjadi lebih percaya diri untuk melangkah.
  4. Keahlian mengatur waktu (Time Management Skills). Jika anak remaja masih harus diingatkan untuk buat pe er atau tugas sekolah, setiap pagi masih harus dibangunkan untuk  sekolah atau les, artinya anak belum bisa mengatur waktunya sendiri dan selalu butuh supervisor. Ajarkan anak untuk membuat jadwal sendiri dan menjalankannya tanpa pengawasan.
  5. Keahlian mengatasi urusan darurat (The Ability to Deal with Emergencies). Akan ada banyak urusan darurat yang menuntut pengambilan keputusan segera dalam kehidupan sehari-hari. Kehabisan batere gadget, sinyal tulalit, tidak ada aliran listrik untuk waktu yang panjang atau perubahan cuaca yang drastis kadang kala membuat anak panik dan tidak tahu harus berbuat apa karena tidak pernah mengantisipasi. Anak-anak zaman sekarang terbiasa dengan banyak kemudahan teknologi dan membuat mereka terlena,  tidak siap ketika kondisi darurat tiba.
  6. Mengatur rumah (Basic Household Management). Ajarkan anak beberapa kemampuan dasar mengatur rumah mulai dari membereskan tempat tidur dan kamarnya, menyiapkan sendiri makanannya, mengatur pakaian atau melakukan perbaikan sederhana. Kemampuan ini akan dibutuhkan ketika ia harus tinggal di asrama atau kost dan mengurus segala sesuatu sendiri.
  7. Mengatur keuangan (Financial Skills). Biasanya selama masih tinggal dengan orang tua, anak tidak khawatir kekurangan uang jajan. Kehabisan uang atau pulsa, tinggal minta. Ajarkan anak mengatur uang dan bertanggungjawab pada setiap pengeluaran.

“Masa remaja adalah masa orang tua memanen apa yang telah mereka tanam pada tahun-tahun sebelumnya,” demikian kata Katie McCorkle, Ph.D, psikolog anak dan pendiri Balanced Heart Healing Center. Jika anak sudah diajarkan untuk berpikir serta bertindak sendiri; pendapatnya dihargai sejak masa kanak-kanak, mereka akan berkembang menjadi remaja yang bertanggungjawab, dapat dipercaya dan diandalkan.

Alexa Foster, Ph.D. psikolog klinis dari Off the Couch Psychology in Mission Viejo, California yang memiliki dua anak remaja, memberikan beberapa pedoman bagi orang tua agar tidak ragu melepas anak-anaknya untuk ‘berjalan’ sendiri di jalur yang tepat:

  1. Mulailah seawal mungkin (bisa sejak anak masih SD) melatih dan mengajarkan anak untuk mandiri. Saya melatih anak untuk berani naik pesawat sendiri sejak mereka kelas satu SD. Sebulan sebelum hari H saya membuat semacam simulasi dan merancang beberapa contoh kejadian yang mungkin akan dihadapi anak ketika berada di ruang tunggu atau di pesawat. Saya mengajarkan bagaimana minta tolong pada petugas, mengharuskan mereka mengingat beberapa nomor telepon selular, mengenali bagasinya, apa yang harus dilakukan di bandara tujuan jika yang menjemput belum tiba, dan lain sebagainya.
  2. Kemandirian itu dipupuk dari perilaku yang bertanggungjawab. Ketika anak diberi kepercayaan untuk mengemudikan sepeda motor atau menyetir tanpa pengawasan orang dewasa, anak harus sudah tahu bagaimana bertanggungjawab pada kendaraaannya dan tahu berkendaraan dengan aman.
  3. Kontribusi pada keluarga adalah langkah pertama untuk menunjukkan kemandirian. Berikan aturan main yang harus dipatuhi misalnya jika sudah memakai motor atau mobil,  ia harus bertanggungjawab untuk mencuci atau membersihkannya. Ingat untuk memeriksa bahan bakar kendaraan apakah masih cukup atau tidak. Punya tugas mengantar atau menjemput adik atau anggota keluarga lain.
  4. Remaja perlu tahu dunia  kerja yang ‘sebenarnya’. Biarkan mereka latihan kerja dari level yang paling bawah.
  5. Berikan kesempatan mencoba dan merasakan kegagalan. Anak akan belajar dari kegagalan tersebut. Contoh paling sederhana adalah membiarkan anak belajar bangun tidur sendiri dengan alarm. Mungkin suatu waktu ia akan bangun kesiangan dan terlambat ke sekolah karena lupa set alarm sebelum tidur.
Terbang

Memandu anak menjadi mandiri berarti memberikan kesempatan kepada mereka untuk mencoba ‘terbang sendiri dengan sayapnya’ dan merasakan pengalaman gagal atau berhasil. Anak akan mendapat banyak pengalaman dari kesempatan yang diberikan.

Setelah semalaman mempertimbangkan, akhirnya lampu hijau menyala dan izin naik gunungpun saya keluarkan. Selalu ada kala pertama dan biarlah anak-anak menikmati kenangan kala pertama itu. Saya harus menekan rasa cemas yang berlebihan dan rasa gamang melepas anak-anak. Saya harus yakin mereka sudah dibekali life skills yang mumpuni.

Komentar

Sangat benar sekali, anak harus didorong untuk berani dan bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Isteri saya selalu kawatir dgn anak gadisnya sejak masih kecil, beda dgn saya. Si Gadis saya ajar bersiul yang keras He he he. Janganlah anak gadis diajar bersiul, kata isteriku. Nggak apa apa kataku. Nanti kalau dia masuk Pramuka, dia seorang pramuka putri yg pandai bersiul. Hua ha ha ha

Tambah komentar baru

Teks polos

  • Tidak ada tag HTML yang diperbolehkan.
  • Baris dan paragraf baru akan dibuat otomatis.

Mungkin Januari bukan bulan yang baik untuk berlibur ke Bali, apalagi jika tujuan pertama adalah...

Rose Chen

Air Terjun Shifen 

Rose Chen

Kuil ini terletak di distrik Zhungli, kota Taoyuan. Tempat ibadah seperti ini ada di setiap...

Rose Chen