Punya waktu libur sehari di pertengahan minggu dan undangan berkunjung ke Payakumbuh, membuat saya dan putera bungsu saya bersemangat. Selasa sore pukul 17.00 kami memulai perjalanan menuju Payakumbuh yang letaknya kurang lebih 120 km dari kota Padang. Perjalanan agak tersendat, mungkin karena besok libur Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Kami tiba di Bukittinggi pukul 19.30, lebih lambat dari yang diharapkan, karena itu supir kami memutuskan lewat jalan alternatif untuk menghindari kemacetan di kota. Perjalanan yang harus ditempuh masih sekitar 32 km lagi. Kami akhirnya, tiba di kota Payakumbuh menjelang pukul 20.20. Rasa capek dan kantuk mendadak hilang begitu bertemu dengan sepupu saya dan keluarganya yang menjadi tuan rumah kami selama di Payakumbuh.
Kota Payakumbuh yang termasuk wilayah administratif Kabupaten Lima Puluh Kota, terletak di dataran tinggi di hamparan kaki Gunung Sago yang merupakan bagian dari pegunungan Bukit Barisan. Berada pada ketinggian sekitar 514 m dari atas permukaan laut dan suhu rata-rata 26℃. Payakumbuh adalah kota terluas ketiga di Propinsi Sumatera Barat, dengan luas wilayah 80,43 km atau setara dengan 0.19 % dari total luas Sumatera Barat.
Udara di pertengahan bulan Agustus ini cukup nyaman dan matahari tidak terlalu terik. Berhubung waktu terbatas, tujuan kunjungan kali ini hanya ke Lembah Harau dan ke Taruko Café untuk menikmati pemandangan Ngarai Sianok di Bukittinggi.
Rabu pagi itu kami mulai dengan berjalan kaki ke kedai kopi Cipun di jalan A. Yani. Kedai kopi ini beroperasi sejak tahun 1982 dan buka setiap hari mulai pukul 6.00 pagi. Biasanya makanan sudah ludes menjelang jam tiga sore. Kami tiba di sana pukul 07.30. Hampir semua meja sudah penuh dalam ruko satu petak tersebut. Ada banyak pilihan menu makan pagi di sini: lontong sayur, lontong mie bumbu kacang, mie ayam, bubur ayam, cakue dan beberapa jenis jajan pasar lainnya, keripik dan tentu saja kopi dan teh. Pilihan saya pagi itu: lontong sayur, secangkir kopi susu dan dua bungkus kecil keripik pedas. Hmmm….yummy. Nikmatnya beda dengan ngopi di mal mentereng dengan hembusan AC yang kerap membuat saya kedinginan.
Lembah Harau
Tujuan pertama setelah sarapan pagi adalah ke Lembah Harau yang terletak sekitar 18 km dari kota Payakumbuh. Jalanan lancar dan sepi mungkin karena hari itu tanggal 17 Agustus dan banyak yang sibuk mengikuti kegiatan aneka lomba di lingkungannya. Sepanjang perjalanan kita bisa menikmati hamparan sawah dengan latar belakang gunung dan langit yang biru. Udara bersih dan segar.
Lembah Harau-- salah satu lembah terindah di Indonesia-- mendapat julukan Yosemite Indonesia, karena memiliki keindahan yang mirip Taman Nasional Yosemite di Sierra, Nevada, California. Lembah Harau menjadi tempat favorit para pencinta panjat tebing karena diapit oleh dua tebing terjal yang menjulang setinggi 100-150 m. Sejak tahun 1979 daerah ini ditetapkan menjadi cagar alam dan taman wisata dengan luas area 27.5 ha.
Konon Harau berasal dari kata ‘orau/parau’, yang artinya suara serak. Dulu Bukit Jambu sering mengalami bencana longsor yang menimbulkan kegaduhan dan kepanikan; penduduk berteriak histeris hingga suara menjadi parau. Suara penduduk yang kebanyakan parau membuat kata parau sering terdengar menjadi ‘harau’.
Di lembah Harau kami melihat serombongan anak muda sedang berkumpul, barangkali untuk urusan memanjat tebing. Asosiasi pencinta panjat tebing setiap tahun mengadakan kegiatan panjat tebing bersama di Lembah Harau. Pagi itu tampak Sang Saka Merah Putih sudah berkibar dengan gagah di dinding salah satu tebing yang menghadap ke Lembah Echo.
Kawasan wisata Lembah Harau terdiri dari tiga area:
1. Resor Aka Barayun – memiliki air terjun, kolam renang dan tempat olah raga panjat tebing. Di lokasi ini ada area yang bisa memantulkan suara (echo). Ada tempat penginapan (homestay) Lembah Echo. Di satu bagian dinding ada tanda posisi titik nol (echo spot). Anda bisa mencoba berteriak dan mendengarkan gema suara anda di lokasi ini.
2. Resor Sarasah Bunta – berada di sebelah timur Aka Barayun. Di sini ada empat air terjun dengan telaga yang indah. Sarasah artinya air terjun. Air turun melewati dinding batu dan di bawahnya ada semacam kolam alami untuk berendam dan mandi-mandi. Airnya sangat jernih dan dingin. Disebut sarasah Bunta karena air terjunnya beruntai-untai indah, terlebih jika kena pancaran sinar matahari. Air terjun ini pertama kali dibuka pada tanggal 14 Agustus 1926.
3. Resor Rimbo Piobang – daerah ini direncanakan akan dijadikan taman safari.
Berhubung waktu kunjungan yang terbatas, kami hanya mampir di titik nol atau echo spot dan ke Sarasah Bunta. Di jalan setapak menuju ke air terjun Sarasah Bunta ada seorang bapak tua yang berjualan beberapa jenis tanaman. Saya tertarik pada pakis sutera-- nama yang disebut penjual, yang tampak seperti benang wol.
Di daerah air terjun ada permainan flying fox sederhana untuk jarak pendek melintasi kolam air alami. Beberapa warung menyediakan minuman dan makanan ringan.
Tampaknya cemilan khas di sini adalah kerupuk opak berukuran diameter 20 cm dan diberi saus sate Padang karena hampir semua warung menyediakan kerupuk ini. Anda bisa memesan di warung dengan harga Rp 5.000,- per kerupuk.
Kami memutuskan untuk makan siang di Bukittinggi saja dan saat itu waktu sudah menunjukkan jam 1 siang.
Taruko Café & Resto di Bukittinggi
Kata orang, jika berkunjung ke Bukittinggi, sempatkanlah untuk mampir ke Taruko Café & Resto yang dibangun di dasar lembah di lokasi Tabiang Takuruang (tebing terkurung). Dari lokasi café, kita bisa menikmati pemandangan indah bukit dan lembah yang masih satu gugusan dengan Ngarai Sianok. Kendaraan harus menuruni jalan kecil berbatu-batu dan sedikit berkelok-kelok. Café tepat berada di kaki bukit dan dikelilingi tebing, sekitar 15-20 menit dari Jam Gadang, pusat kota Bukittinggi untuk mencapai café ini.
Taruko sebenarnya nama satu desa di sebelah utara kota Payakumbuh. Bisa jadi pemilik café ini berasal dari desa Taruko tersebut. Café dibuka untuk umum sejak tahun 2010. Selain café dan resto, ada juga homestay. Jika anda berniat untuk mengadakan acara bersama keluarga atau teman-teman, ada tersedia tiga buah saung berkapasitas 50-60 orang dan satu saung kecil berkapasitas 30 – 40 orang.
Anda dapat memilih bersantai di saung atau di tepi sungai. Saya memilih duduk di batu di tepi sungai kecil sambil memperhatikan anak-anak bermain air. Sesekali melepas pandangan ke arah lembah dan bukit di sekelilingnya. Putera saya asik bermain ayunan. Setelah capek dan mulai bosan, ia kemudian ikut bermain air di sungai kecil itu.
Sayang sekali hari semakin mendung dan gerimis mulai turun sekitar pukul 17.00 sore itu. Kami meninggalkan Taruko Café dan bergegas kembali ke Padang.
Kunjungan yang sangat singkat, hanya 24 jam di Payakumbuh dan Bukittinggi namun cukup meneduhkan hati dan mencerahkan pikiran. Suatu hari nanti saya akan kembali.
Tambah komentar baru