Membongkar Mitos Perceraian

Kabar perceraian tampaknya sudah jadi kudapan kita sehari-hari. Nonton TV, infotainment isinya perceraian artis. Buka media sosial, dapat kabar teman atau keluarga dekat mau cerai. Jangan-jangan kita sendiri juga sedang berpikir untuk mengajukan gugatan cerai. Sebegitu entengnya perceraian terpikirkan dan bahkan akhirnya betul-betul terjadi. Angka perceraian di Indonesia termasuk dalam kelompok tertinggi di Asia.

Ada banyak faktor penyebab terjadinya perceraian, namun salah satu yang jarang dibahas adalah banyaknya gagasan seputar perceraian yang menurut saya tidak sepenuhnya membeberkan hal-hal tak terbayangkan yang harus ditanggung semua pihak yang terlibat dalam perceraian. Saya menyebutnya mitos. Mitos dalam hal ini berarti berbagai gagasan yang kebenarannya diungkapkan secara parsial saja, sehingga terkesan sepenuhnya baik, padahal ada sisi buruknya juga. Mitos ini banyak dijadikan sebagai landasan semu bagi perceraian. Nah, di sini saya akan membongkar beberapa mitos itu berdasar pengalaman saya sebagai anak korban perceraian. Maksud saya supaya ada sudut pandang alternatif bagi siapapun yang mempertimbangkan perceraian. Dengan ini bukan berarti saya mentah-mentah menolak perceraian tentunya, karena faktor semacam KDRT harus dipertimbangkan demi keamanan korban dan kesembuhan pelaku.

Hal lain yang penting, karena ulasan ini berdasarkan pengalaman dan pengamatan pribadi, maka tak bisa kemudian dijadikan parameter general.

1. Perceraian adalah Solusi yang Handal

Apapun masalah yang menjadi sebab perceraian, baik karena perselingkuhan maupun ketimpangan pendapatan, dan dalam keadaan apapun perceraian itu berlangsung, ada anak ataupun tidak, perceraian biasanya justru menimbulkan rentetan masalah baru. Setelah bercerai pasangan akan menemukan masalah baru yang bisa jadi harus dihadapinya seumur hidup.

Pertama, penyesalan. Sebabnya bisa bermacam-macam. Setelah bercerai ada banyak pasangan yang menyesalkan keputusannya karena menyadari bahwa mantan pasangannyalah yang terbaik dan harapannya untuk mendapatkan pasangan yang lebih baik ternyata tidak kesampaian. Rasa menyesal ini bisa juga melanda karena sejarah perceraian itu akan dibawanya seumur hidup. Seandainya biografinya ditulis, maka babak perceraian itu mau tak mau pasti diungkit, sesukses apapun prestasinya sekarang.

Kedua, rasa bersalah. Saat proses perceraian, pasti kedua pasangan saling menyakiti baik secara langsung maupun tak langsung, sengaja ataupun tidak. Perilaku negatif ini akan mengusik hati nurani masing-masing dan akan membuat hidup tidak tenang. Bila rekonsiliasi bisa dilakukan, keadaan memang akan menjadi lebih baik. Namun, bila sikap saling menyerang ini terus berlanjut, maka mereka akan menjadi musuh seumur hidup. Selain itu, bila ada anak, maka rasa bersalah karena tidak bisa membahagiakan anak sepenuhnya dapat meremukkan semangat pasangan yang tidak mendapat hak asuh anak. Belum lagi rasa kangen akan kehadiran anak.

Ketiga, kesepian, depresi, merasa tidak berharga dan berbagai masalah praktis lain, seperti masalah keuangan bila tak punya penghasilan sendiri sebelum bercerai, dan tempat tinggal bagi pasangan yang harus keluar dari rumah. Daftar ini bisa terus berlanjut dan dengan mudah bertambah banyak.

2. Perceraian Hanya Melibatkan Pasangan

Bohong besar bila selama ini dikatakan demikian. Di dalam masyarakat kita yang masih komunal, pasti kita ingat saat seseorang akan menikah ada adagium yang sering kita dengar “pernikahan bukan cuma milik dua orang, tapi keluarga juga ikut menikah.” Itulah sebab bibit, bebet, dan bobot jadi pertimbangan penting dalam pernikahan. Artinya, keluarga, minimal orang tua, punya harapan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi anak-anaknya yang menikah. Sehingga logikanya, bila pasangan tersebut bercerai, harapan keluarga dan orang tua juga ikut kandas dan hati mereka juga ikut patah bersama keruntuhan rumah tangga sang anak. Bisa dikatakan, perceraian tidak hanya melukai pasangan yang bercerai, tapi juga orang tua dan keluarga besar mereka. Kondisi ini makin parah ketika keluarga yang bercerai sudah punya anak. Belakangan saya baca banyak ahli memberikan anjuran tentang bagaimana mengasuh anak yang baik pasca perceraian, supaya anak tidak menyimpan sakit hati dan trauma. Hebat sekali jurus-jurusnya, tapi biasanya anak-anaklah yang menjadi korban yang banyak terbungkam atau sengaja dibungkam dalam perceraian orang tuanya. Pengalaman buruk perceraian orang tua mereka akan membekas seumur hidup dan membentuk pribadi mereka, entah baik atau buruk. Sayangnya, dari pengamatan saya, anak-anak korban perceraian akan cenderung tumbuh dengan masalah kejiwaan yang mengarahkannya pada perilaku negatif. Potensi ini bila tidak mendapat solusi maka akan bersifat sangat merusak baik dirinya maupun orang-orang di sekelilingnya, contohnya: perasaan tidak berharga dan ingin bunuh diri.

Tentang hal ini sudah banyak penelitian dilakukan oleh para ahli psikologi, bahkan saya alami dan amati sendiri. Singkat kata, perceraian menghancurkan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Hal ini berarti juga perceraian merusak masyarakat dan sebuah bangsa. Keluarga dan anak hanya dua pihak lain yang terkena dampak langsung dari sebuah perceraian. Belum lagi menyebut sahabat-sahabat yang selama ini menaruh harapan akan keberlangsungan pernikahan tersebut.

Mitos

3. Tidak Ada Trauma dan Luka

Bagi saya janji bahwa perceraian tak menyisakan trauma dan luka itu menyesatkan seperti sebuah papan petunjuk menuju jalan yang tampaknya lebar dan mudah dilalui tapi ujungnya jurang. Kenyataannya, trauma dan luka itu akan terbawa dan membayangi pasangan yang bercerai, maupun anak-anak dan keluarga besarnya. Trauma dan luka yang tak terselesaikan dengan tuntas, dan kenyataannya sangat sulit dibereskan, akan mempengaruhi kehidupan dan perilaku selanjutnya masing-masing mantan pasangan dan anak-anak mereka. Bagi mantan istri, karena merasa cinta dan pengabdiannya dikhianati oleh mantan suaminya, maka dia bisa jadi berusaha mencari cinta yang bisa menutupi luka yang ada di hatinya pada hal lain atau orang lain. Saat suami barunya tidak bisa mengobati luka itu dan mengisi kekosongan hatinya, maka ia dengan mudah menceraikan si suami baru. Hal ini bisa terjadi juga pada si mantan suami. Akhirnya pola kawin cerai berulang tak ada akhirnya, melukai dan menghancurkan semua orang yang terlibat di dalam siklus itu. Ironisnya, kebahagiaan sejati yang disamakan dengan menemukan pasangan yang lebih baik itu tak pernah kesampaian. Akhirnya, hidup penuh kehampaan karena dimatikannya perasaan.

Sementara trauma dan luka mantan suami yang bisa dialami mantan istri juga, bisa berwujud pembalasan dendam suami pada istri barunya karena merasa tidak dihargai dan dihormati oleh mantan istrinya. Alhasil, kehidupan rumah tangga baru tak akan betul-betul bahagia seperti yang ia harapkan sebelum menikah lagi. Si suami mendominasi dan memanipulasi istri barunya dengan berbagai cara supaya pengalaman pernikahannya yang lama tidak terulang kembali. Ditambah lagi, si istri baru bisa jadi diperlakukan sekehendak hatinya demi melampiaskan amarahnya yang tak tersalurkan terhadap mantan istrinya. Hal inipun membentuk siklus yang serupa dengan pernikahan sebelumnya bila trauma dan luka tak disembuhkan. Kenyataannya, memulihkan trauma dan luka perceraian bukan perkara mudah dan bisa dilakukan secara instan. Saya tegaskan, sekali lagi hal ini juga bisa dialami para mantan istri. Mengenai trauma dan luka anak sudah saya ulas sedikit di atas. Di sini saya akan tambahkan sedikit saja. Anak-anak tidak percaya bila orang tua mereka mengatakan bahwa mereka mencintai anak-anaknya tapi tidak lagi mencintai si suami atau istri lagi. Bagi anak, persatuan dan cinta ayah ibunya adalah bentuk cinta bagi mereka karena memberi mereka rasa aman untuk tumbuh dan berkembang. Artinya, mencintai ayah atau ibu anak-anak kita sama dengan menunjukkan kecintaan kita pada mereka. Sekali mereka tidak lagi saling mencintai, maka anak akan merasa tidak dicintai juga. Ayah ibu adalah dunia bagi anak-anak. Saat ayah ibu bercerai, maka dunia anak runtuh berantakan. Saat itu anak akan mencari pemenuhan cinta dari berbagai hal lain yang semestinya mereka dapat dari orang tuanya. Mereka jadi lebih rentan terlibat dalam kenakalan remaja yang bisa jadi menetap hingga masa dewasanya. Contoh sederhana adalah perilaku seks di luar nikah, materialisme, lemah secara mental, konsumsi narkoba, menjadi pribadi yang anti sosial, benci pernikahan, dan bahkan pembunuh berdarah dingin. Meski saya tidak pungkiri, bila anak tumbuh di dalam lingkungan yang bisa menolongnya untuk bangkit dan sembuh dari trauma dan lukanya, maka bukan tidak mungkin justru perceraian itu akan mendorongnya menjadi pribadi tangguh dan terlibat dalam aksi penguatan korban perceraian lain.

Tambah komentar baru

Teks polos

  • Tidak ada tag HTML yang diperbolehkan.
  • Baris dan paragraf baru akan dibuat otomatis.

Mungkin banyak yang belum pernah makan umbi bunga lily (bunga bakung). Umbi bunga lily bisa...

Rose Chen

Biasanya saya masak daun labu siam dengan kuah santan. Ribet karena harus menggiling bumbu halus...

Rose Chen

Kami tidak biasa makan nasi waktu sarapan. Biasanya jenis roti atau pancake. Di sini saya...

Rose Chen

Mimisan adalah keluarnya...

Rose Chen

Salah satu fungsi...

Rose Chen

Ini bukan tentang "new normal" jaga jarak, pakai masker, cuci tangan atau yang lainnya dalam...

Rose Chen

Semua virus termasuk virus penyebab COVID-19, SARS-CoV-2 berkembang biak dalam sel hidup dengan...

Rose Chen

Beberapa hari yang lalu seorang sahabat bertanya, apakah Ivermectin bisa dipakai untuk terapi...

Rose Chen

Catatan: Tulisan ini sebenarnya adalah jawaban saya kepada teman yang bertanya melalui...

Rose Chen