Pada tulisan sebelumnya telah dibahas tentang perilaku lekat (attachment behavior) khususnya pada anak-anak. Ada kondisi attachment yang dianggap terlalu berlebihan, ‘ekstrim’, sehingga menjadi masalah karena mengganggu kegiatan sehari-hari. Seperti komentar seorang sahabat patahtumbuh dalam artikel terdahulu, ia sampai trauma menghadapi anak bungsunya yang luar biasa lekat padanya. Lengket kayak lem kayu, begitu ia mendeskripsikan.
Saya ingat seorang teman saya yang puteranya sangat lekat dengan dirinya ketika si anak duduk di TK. Kebetulan waktu itu puteranya satu kelas dengan putera bungsu saya jadi setiap hari kami bertemu di sekolah. Teman ini kerap bersembunyi ketika ada acara sekolah agar anaknya bisa mengikuti acara dengan teman-temannya. Selalu ada drama menangis, kadang kala sampai meraung-raung mencari ibunya. Ia ingin ibunya berdiri di dekatnya dalam acara apapun, termasuk ketika duduk dan belajar di kelas.
Kondisi ini disebut dengan istilah attachment disorder dan insecure attachment. Jika kita memiliki anak yang terlalu lekat, sehingga ke toiletpun ia harus diajak masuk, secara emosional akan terasa melelahkan. Anak merasa tidak aman jika tidak melihat kita barang sedetikpun.
Ada Apa di Balik Attachment Disorder?
Anak yang terlalu lekat dengan ibu atau pengasuh seringkali mengalami kesulitan untuk dekat dengan orang lain. Ia hanya lekat dengan orang yang menjadi figur lekatnya. Merasa takut dan tidak percaya jika bersama orang lain, gamang dan selalu cemas. Mengapa ada anak yang menempel terus dan ada yang mandiri dan dengan mudah bersosialisasi? Jawabannya ada pada proses terjadinya kelekatan itu, bagaimana interaksi si anak dengan ibu atau pengasuh utamanya pada awal perkembangannya.
Menurut para ahli, attachment disorder merupakan hasil dari pengalaman-pengalaman negatif si anak pada masa pertumbuhan awal. Jika dulu si anak sering merasa diabaikan, kebutuhannya tidak terpenuhi, orang sekitar terlihat tidak peka akan dirinya, atau apapun alasannya, mereka akan mengambil kesimpulan bahwa orang lain tidak dapat diandalkan, dunia luar itu menakutkan dan membahayakan dirinya.
Perilaku reaktif terjadi ketika anak merasa tidak mampu lagi menarik perhatian pengasuh utamanya. Beberapa kondisi berikut ini bisa menjadi pencetusnya:
- Bayi menangis karena lapar atau popoknya basah namun tidak ada yang merespons dan mendekatinya. Dibiarkan terus menangis hingga berhenti dengan sendirinya.
- Tidak ada orang yang mengajaknya bercengkrama, bermain atau memanggil namanya. Bayi merasa kesepian dan sendiri.
- Anak hanya akan mendapat respons dari orang sekitarnya ketika ia memperlihatkan aksi yang ekstrim seperti berteriak, melempar barang, memukul teman, dan lain sebagainya.
- Anak yang menjadi pendiam karena mengalami pelecehan atau diperlakukan kasar.
- Dengan aksi yang tertentu kadang-kadang anak mendapatkan apa yang ia inginkan, tapi di lain kesempatan, ia tidak berhasil menarik perhatian. Anak jadi bingung, perilaku mana yang harus ia terapkan.
- Lama dirawat di rumah sakit atau karena sesuatu hal anak harus dikarantina atau dipisahkan dari orang tua atau pengasuh utamanya.
- Anak yang dipisahkan dari pengasuhnya dan diasuh oleh orang lain, seperti dalam kasus anak adopsi atau anak yang kehilangan orang tua.
- Anak yang memiliki orang tua depresi atau sakit berkepanjangan sehingga tidak mampu memberikan perhatian yang cukup pada anak.
Hal ini bisa terjadi karena anak masih terlalu muda dan belum mengerti mengapa ia dipisahkan dari ibunya atau pengasuhnya dan harus diasuh oleh orang baru. Anak hanya merasa tidak ada yang memperdulikannya dan kesimpulannya: Dunia ini tidak aman.
Tanda-tanda Awal Attachment Disorder
Kondisi anak yang terlalu lekat bisa dikategorikan dari tingkat yang ringan hingga serius, yang disebut dengan reactive attachment disorder (RAD). Yang paling penting diperhatikan adalah tanda-tanda awal, bisa terlihat sejak masih bayi, seperti:
- Menghindari kontak mata langsung ketika diajak berbicara
- Tidak mau tersenyum
- Ketika hendak disentuh atau dipeluk, anak cenderung menghindar
- Atau ketika ia bersedia dipeluk, ia akan memeluk dengan kencang
- Tidak bereaksi ketika anda hendak menggendongnya misalnya tangannya tidak terjulur
- Menolak dan memalingkan wajah ketika hendak ditenangkan
- Nampak tidak perduli ketika ditinggal sendiri
- Menangis
- Tidak mengeluarkan suara atau mencontoh suara aaaaa, uuuu, mammammam dan beberapa suara gumam bayi
- Pandangannya tidak mengikuti gerakan anda ketika beranjak dari depannya
- Tidak tertarik pada permainan interaktif atau yang menggunakan mainan
- Suka menggoyang-goyangkan tubuhnya dan asik dengan dirinya sendiri
- Suka melawan dan tidak patuh
- Tidak tertib dan suka bikin onar
- Temper tantrum (‘ngamuk’, berteriak, guling-guling di lantai)
Tanda-tanda awal yang disebutkan di atas mirip dengan gejala anak yang mengalami ADHD (attention deficit and hyperactive disorder) dan autis. Jika anda menemukan beberapa gejala awal seperti ini pada anak, segera hubungi dokter anak atau profesional yang kompeten untuk mendapatkan diagnosis yang lebih tepat. Semakin awal dideteksi dan ditangani, anak akan menjadi lebih stabil dan mandiri sehingga tidak mengganggu tahapan perkembangan selanjutnya.
Tips Menghadapi Attachment Disorder
Menghadapi anak yang mengalami attachment disorder memang melelahkan secara emosional, timbul rasa frustrasi dan membuat diri kita menjadi sangat terikat pada kondisi anak.
- Kunci utamanya tetap bersikap tenang namun tegas ketika menghadapi anak karena anak yang seperti ini telah mengalami banyak kejadian yang membuatnya stres dan cemas, jadi jangan tambahkan stres anak dengan memperlihatkan anda juga stres. Kendalikan stres diri sendiri terlebih dahulu sebelum membantu anak. Tunjukkan pada anak bahwa emosi dapat dikontrol.
- Hal utama pada anak yang mengalami attachment disorder adalah soal tidak adanya rasa aman. Mereka membuat pagar yang tinggi untuk melindungi dirinya. Jadi fokuslah pada membentuk rasa aman itu. Berikan perhatian yang konsisten dan ajarkan aturan main pada anak. Perilaku bagaimana yang anda harapkan dari mereka, apa yang tidak boleh dilakukan, apa konsekuensinya jika mereka melanggar aturan main. Secara tidak langsung anda mengajarkan anak untuk belajar mengontrol diri dan perilakunya sendiri.
- Bersikap realistis. Tidak perlu memasang harapan yang terlalu tinggi dengan langkah-langkah yang rumit. Fokus pada setiap langkah sederhana. Misalnya, deal dengan anak sebelum keluar dari rumah. Hari ini dia akan belajar duduk manis sendiri di kelas. Mama menunggu di luar kelas. Jika ia berhasil duduk di kelas tanpa menangis dan mencari Mama, ia akan mendapat hadiah kecil, es krim atau sebungkus biskuit kesukaannya.
- Butuh banyak kesabaran. Proses membantu anak menghilangkan rasa gamang dan tidak percaya pada dunia sekitarnya, butuh banyak waktu sampai anak merasa yakin bahwa ia akan aman meskipun jauh dari figur lekatnya. Jadi jangan langsung memarahi anak karena akan membuat ia makin merasa tidak aman dan cemas.
- Curhat pada teman atau anggota keluarga lain untuk meringankan beban emosional ketika rasa frustrasi mulai timbul. Bisa juga bergabung dengan komunitas yang memiliki anak bermasalah serupa (support group) agar saling memberi semangat.
- Ciptakan rutinitas atau jadwal sehari-hari yang teratur karena anak akan merasa tidak nyaman jika sering ada perubahan mendadak.
- Jika ada acara kegiatan sekolah, seperti mengunjungi museum, ikut acara outbound dengan teman-teman sekolah, ikut lomba di sekolah lain, siapkan mental anak dengan memberikan beberapa pandangan apa yang mungkin ia temui pada saat berada di luar lingkungan sekolah. Yakinkan anak bahwa guru atau petugas lain yang ikut dalam rombongan itu, akan selalu siap membantunya.
- Sering-seringlah merangkul, menggandeng atau memeluk anak agar ia yakin ada yang memperhatikannya dan sayang padanya. Bagi anak yang sejak kecil tidak terbiasa mendapatkan sentuhan fisik tersebut, mereka awalnya merasa agak risih dan menolak disentuh. Dekati anak dengan mulai menggenggam tangannya atau menyentuh bahunya.
- Anak yang mengalami attachment disorder cenderung bersikap kekanak-kanakan, sikapnya tidak sesuai dengan tingkat usia biologisnya, seperti masih menangis berguling-guling di lantai meskipun sudah berusia enam tahun. Untuk mengatasi ini, cobalah beberapa sikap non-verbal untuk menenangkan anak. Menarik halus lengannya, membelai kepalanya, atau memeluknya hingga ia tenang, baru kemudian diajak bicara.
Jika anak masih juga sulit ditangani atau tidak ada perubahan sikap yang signifikan, artinya anak butuh penanganan profesional. Biasanya akan ditangani dengan kombinasi beberapa terapi seperti konseling, terapi bermain, terapi keluarga, dan edukasi untuk orang tua atau pengasuh utamanya.
Tambah komentar baru