Minggu menjelang siang, cuaca lumayan panas. Dari layar CCTV saya lihat anjing kami mengetuk-ngetuk pintu minta masuk rumah. Setiap pagi anjing kami dirantai di depan untuk sarapan, agar dia menikmati udara luar sebelum dibiarkan masuk rumah lagi. Saya katakan pada anak saya agar segera membukakan pintu untuknya karena hari mulai panas. Ketika anak saya menunda-nunda karena sedang asik menonton televisi, saya katakan, “Jangan sampai orang yang lewat memotretnya, lengkap dengan nomor rumah kita, kemudian unggah ke Facebook dengan status ‘Kasihan sekali anjing ini dibiarkan pemiliknya berjemur matahari sampai lemah dan hampir pingsan. Sebarkan agar semua orang mengenal pemilik yang kejam ini.” Anak saya pun bergegas membukakan pintu.
Pengguna media sosial pasti sering melihat bagaimana orang yang “menelantarkan” seekor anjing dicaci maki, dan orang yang menyelamatkan seekor anak bebek dijadikan “pahlawan”.
Bila nyawa seekor hewan sedemikian berharganya, bagaimana dengan nyawa manusia? Bukan sekadar “nyawa”, tapi kehidupannya. Bukan pula sekadar “kehidupan”nya, tapi “kualitas” hidupnya.
Belakangan ini berita tentang kekerasan seksual begitu marak di media Indonesia. Seolah-olah tiba-tiba saja terjadi epidemi pemerkosaan. Apakah benar begitu? Apakah bukan karena suatu kasus yang luar biasa mencuat --dan mendapat perhatian media, dengan teknologi informasi mutakhir berita itu menyebar lebih cepat dari kecepatan suara-- lantas demi mengejar “situs terbanyak dikunjungi”, semua media melaporkan segala kasus pemerkosaan yang ditemukan?
Kasus pemerkosaan bukan hanya ada di negara terbelakang ataupun negara sedang berkembang. Kekerasan seksual bagaikan babi buta, menyerang baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda.
Teman saya, seorang ibu yang anak perempuannya baru kelas tiga Sekolah Dasar di Amerika melontarkan pertanyaan, “Apa yang harus saya lakukan?” Pertanyaan itu ditujukan kepada kami, teman-temannya sesama ibu dalam percakapan di satu grup di Facebook. Anaknya (A) dalam bus sekolah duduk sederet dengan dua anak laki-laki. Salah satu anak laki-laki itu (B) mengajak A dan anak laki-laki yang lain (C) untuk bermain “taruhan, kamu pasti tak berani”. Agar tidak diganggu, A mengiyakan ajakan itu. B meminta C untuk mengisap puting payudara A. Tentu saja A tidak mau dan menggunakan kedua lengannya untuk melindungi dadanya. B dan C kemudian menjambak rambut A dan menghantamkannya berkali-kali ke bangku di depan mereka.
Bagaimana bisa anak yang baru duduk di bangku sekolah dasar melakukan hal seperti ini?
Laporan “Sepuluh Negara dengan Angka Pemerkosaan tertinggi” terbaru dari Wonderslist (tahun 2015) berturut-turut dari peringkat kesepuluh hingga pertama adalah: Denmark dan Finland, Zimbabwe, Australia, Kanada, New Zealand, India, Inggris dan Wales, Amerika, Swedia, dan Afrika Selatan. Kaget? Bisakah daftar ini kita percayai sebagai fakta? Bagaimana dengan negara yang sebagian besar penduduknya karena kebudayaan/kepercayaan tidak bisa (baca: tidak boleh/tidak berani) melaporkan pemerkosaan yang terjadi?
Konon di Afrika Selatan pemerkosaan terhadap gadis, perempuan dewasa, atau bahkan nenek-nenek terjadi setiap 9 hingga 10 menit. Menurut penelitian yang dilakukan Neil Andersson dan Ari Ho-Foster, 40 persen murid perempuan di Afrika Selatan pernah diperkosa, 20 persen dilakukan oleh guru, 20 persen oleh teman sekelas mereka.
Sebenarnya apa penyebab tingginya angka kekerasan seksual ini? Banyak laki-laki pemerkosa di Afrika mengira apa yang mereka lakukan tidak salah. Mereka pikir perempuan harus mendengar dan mematuhi laki-laki. Pada dasarnya kekerasan seksual terjadi karena pelaku mempraktekkan kekuasaannya terhadap korban. Penyebab lain adalah kurangnya pendidikan.
Pengetahuan bahwa tubuh setiap orang adalah ranah pribadi orang tersebut yang harus dia jaga dan kita dihargai dengan baik, perlu ditanamkan sejak masa kanak-kanak.
Anak-anak harus diingatkan bahwa dia harus melaporkan kepada orang dewasa yang dia percayai bila dia merasa ranah pribadinya “dilanggar”. Kesadaran akan sikap menghargai perempuan --ibu siapa saja yang ada di dunia ini-- penting untuk dibangun. Demikian pula kesadaran bahwa orang lain, terutama perempuan, bukanlah objek atau sasaran. Hubungan seks adalah hubungan yang seharusnya terjadi atas keinginan bersama kedua belah pihak. Bila hal tersebut dilanggar akan ada risiko, yaitu hukuman yang berat.
Pendidikan seks bukan dimulai sejak SMP, bukan sejak SD, tapi sejak usia prasekolah. Keterbukaan sangat penting agar anak tidak mengetahui seluk-beluk seks setengah-setengah dan mencari tahu dari sumber yang tidak dapat dipercaya.
Dalam hal kekerasan seksual, status kejiwaan seseorang juga turut menjadi akar masalah. Sigmund Freud, ahli neurologi dan penyandang gelar bapak Psikoanalisa, membagi pertumbuhan psikis anak dalam lima tahap psikoseksual. Kesehatan jiwa seseorang sangat tergantung pada bagaimana dia melalui kelima fase ini. Rentang waktu setiap fase berlainan untuk setiap individu, angka di bawah hanya angka rata-rata.
1. Fase Oral (dari lahir hingga 18 bulan) -- kepuasan anak sangat tergantung pada sensasi yang didapatkan oleh mulut dan daerah sekitarnya.
2. Fase Anal (usia 1 - 3 tahun) -- saat anak mulai belajar mengontrol otot sekitar anus. Belajar menahan buang air besar dan kecil. Orang tua harus menemukan cara yang efektif untuk mendidik anak mereka dalam hal ini agar tidak terjadi penyimpangan seperti masih ngompol sampai anak sudah usia sekolah dasar.
3. Fase Phalik (usia 3 - 5 tahun) -- anak mulai memperhatikan alat kelamin mereka. Penanganan dan pendidikan yang salah pada saat ini bisa membuat anak berpikir bahwa seks adalah hal yang tabu dan kotor. Bila anak memegang alat kelamin mereka, jangan dibentak. Gunakan cara lain yang sesuai dengan kepribadian anak. Untuk anak tertentu, mungkin diperlukan pendekatan dengan menerangkan secara blak-blakan. Untuk anak lain, mungkin cukup dengan mengalihkan perhatian mereka ke arah lain.
4. Fase Laten (usia 6 - 13 tahun) -- saat paling kritis untuk membentuk kepribadian dan pengembangan kreativitas. Dalam fase ini anak memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar. Tugas orangtua dan guru untuk menjawab kebutuhan anak pada fase ini sangat besar. Jangan sampai anak surut yang mengakibatkan matinya kreativitas dan keinginan belajar.
5. Fase Genital (mulai dari masa pubertas) -- anak mulai memperhatikan lawan jenis. Rasa ingin tahu tentang segala hal yang berkaitan dengan seks sangat besar. Pada masa ini kepada anak yang sudah masuk usia remaja perlu ditanamkan bahwa menjalani hubungan yang sehat dengan partner disertai pengetahuan yang cukup tentang seks sangatlah penting.
Pengetahuan (termasuk pendidikan seks yang baik sejak dini) dan perkembangan kejiwaan yang memungkinkan tidak terjadinya kekerasan seksual harus dibangun pada setiap orang sejak dini. Dalam hal ini kesadaran masyarakat tentang proses tumbuh-kembangnya anak yang seimbang sangatlan penting, demi tercapainya kesehatan raga dan jiwa.
Tambah komentar baru