Serangan Terhadap Humanitas

Sabtu, 14 November 2015

Pagi ini, begitu log-in ke media sosial dimana saya biasanya berkomunikasi dengan teman-teman yang tinggal di seantero dunia, berita pertama yang saya baca adalah dari teman saya di Paris.

Serangan teroris di beberapa lokasi di Paris pada hari Jumat malam, mengakibatkan 127 orang meninggal, dan kira-kira 200 orang luka, 99 di antaranya luka parah.

Pray for Paris

Media sosial banyak membantu di tengah kekacauan ini. Hashtag #PorteOuverte yang berarti ‘pintu terbuka’, langsung beredar. Penduduk di daerah sekitar kejadian menawarkan rumah mereka untuk menampung orang yang diamankan dari jalanan dan belum tahu mau ke mana. Doa-doa dipanjatkan. Facebook otomatis menandai orang yang berada di Paris sebagai “aman” begitu mereka log-in ke akun facebook mereka.

Di hampir semua rumah sakit di Paris, orang berbaris hendak menyumbangkan darah untuk para korban. Ucapan belasungkawa dan ungkapan solidaritas dengan cepat datang dari pemimpin-pemimpin negara dunia.

Landmarks seperti Menara 101 di Taipei dan Sydney Opera House di Australia, memancarkan sinar berwarna bendera Prancis (merah, putih dan biru ) untuk menunjukkan solidaritas.

Council of Senior Scholars, badan keagamaan tertinggi di Kerajaan Saudi Arabia mengeluarkan pernyataan, “Terorisme tidak didukung oleh Islam dan tindakan ini bertentangan dengan nilai kasih yang dibawa Islam ke dunia.”

ISIS telah mengeluarkan pernyataan bertanggung jawab atas serangan ini. Mereka mengatakan bahwa serangan terhadap Prancis adalah “awal dari badai” dan bahwa Prancis adalah target utama mereka.

Saya menulis tentang serangan teroris di Paris bukan untuk meramaikan berita yang diikuti perkembangannya di seluruh stasiun televisi ini, juga bukan karena Paris adalah salah satu kota terpenting dan kejadian atau bencana di tempat lain di dunia ini kalah penting, terlebih bukan karena saya hendak memburukkan satu agama tertentu, tapi karena saya ingin menekankan bahwa semua bentuk terorisme, besar ataupun kecil adalah serangan terhadap humanitas. (Seperti kejadian di Kenya tanggal 2 April 2015 yang baru lalu yang mengakibatkan lebih banyak kematian.)

Malam ini kami sekeluarga makan malam di luar. Karena tempat makan tidak jauh dari rumah, kami berjalan kaki. Dalam perjalanan pulang kami melihat seekor kucing tergeletak  gemetar di tengah jalan. Seorang wanita setengah baya dan anak lelakinya yang sedang bingung, menerangkan kepada saya bahwa kucing itu ditabrak oleh mobil yang lewat. Sepasang muda mudi berkendaraan motor berhenti dan kami semua berusaha memikirkan apa yang bisa kami lakukan untuk kucing itu. Long story short, akhirnya saya pulang dan kembali dengan mobil saya. Ibu dan dua anak laki-laki saya ikut serta dalam mobil. Kami membawa kucing itu ke dokter hewan. Sekembalinya dari sana, anak saya yang berumur delapan tahun menangis dan meminta saya untuk berdoa agar dokter mampu menyelamatkan nyawa kucing itu.

Nyawa seekor binatang begitu berharga di mata seorang anak. Apa yang membuat seorang manusia merasa bahwa nyawa sesamanya tidak lebih berharga dari nyawa binatang?

Menjawab pertanyaan “Mengapa?”, saya ingin mengutip satu komentar dari seorang Uyghur di Cina, “Jika anda memperlakukan saya sebagai seorang Cina, saya akan memperlakukan anda sebagai orang Cina; Jika anda memperlakukan saya sebagai seorang Uyghur, saya akan memperlakukan anda sebagai orang Han.” (Catatan : Orang Uyghur beretnis Turki dan tinggal terutama di Daerah Otonom Xinjiang Uyghur di Cina. Mayoritas Uyghur adalah muslim.)

Kita di Indonesia bisa menggunakannya juga. “Jika anda memperlakukan saya sebagai seorang Indonesia, saya akan memperlakukan anda sebagai seorang Indonesia. Jika anda memperlakukan saya sebagai orang Dayak, saya akan memperlakukan anda sebagai orang Madura.” Atau bisa juga kita ganti nama suku itu dengan agama tertentu.

Banyak tragedi yang terjadi karena bencana alam, masihkah perlu ditambahkan dengan kerusuhan akibat ketamakan, rasa marah, dengki dan benci?

Mari kita lihat 16 gambar pemenang hadiah Pulitzer di tautan ini dan kemudian melihat keajaiban perkembangan janin dalam rahim yang pengambilan fotonya langsung dari dalam kandungan ibunya oleh seorang fotografer Swedia, Lennart Nilsson. Beliau menghabiskan waktu 12 tahun untuk mengumpulkan gambar-gambar tersebut dengan bantuan kamera endoskop, mikroskop elektron dan teknik-teknik canggih lainnya.

Semoga setelah melihat gambar-gambar tersebut, kita semua semakin menghargai nyawa semua mahluk hidup, besar dan kecil. Seperti kata George Takei, "Pray for peace, not only from guns and bombs, but from hatred and fear." - bukan dari senjata api atau bom, tapi dari kebencian dan ketakutan.

SaveSave

SaveSave

Tambah komentar baru

Teks polos

  • Tidak ada tag HTML yang diperbolehkan.
  • Baris dan paragraf baru akan dibuat otomatis.

Awal Maret 2024, untuk merayakan 30 tahun pernikahan kami, saya dan suami memutuskan untuk...

Rose Chen

Baca juga tulisan sebelumnya:...

Rose Chen

Hari pertama di Chiang Mai dimulai dengan shopping di Maya Lifestyle Shopping Center...

Rose Chen

Pulau Keelung (Keelung Islet) adalah pulau kecil yang terletak lima kilometer dari...

Rose Chen

Di Taiwan sayur paku sarang burung adalah kegemaran orang lokal. Biasanya mereka tumis dengan...

Rose Chen