Ke'te Kesu'
Setelah menyaksikan darah mengucur dari leher kerbau yang ditebas pada pagi hari pertama kami di Rantepao, kami menuju ke Ke'te Kesu', 4 km di tenggara Rantepao. Kete Kesu dibuka untuk turis mulai jam 8.00 hingga jam 16.00. Pemukiman yang diperkirakan paling tua dan paling lengkap di Tana Toraja ini (lebih dari 500 tahun) terletak di Kecamatan Sanggalangi, Toraja Utara. Pemukiman Ke'te Kesu' termasuk salah satu nominasi Unesco World Heritage. Tiket masuk untuk orang asing adalah Rp 20.000.
Pemukiman traditional Toraja terdiri dari tongkonan, alang (lumbung), liang (pekuburan), rante (lapangan untuk upacara pemakaman), sawah, hutan bambu dan padang rumput untuk kerbau dan babi mereka. Bambu sangat berarti bagi orang Toraja dan merupakan bagian dari hidup mereka, mulai dari tempat tinggal, peralatan, seni, hingga kuliner mereka. Hutan bambu adalah keharusan bagi orang Toraja.
Tongkonan adalah rumah adat Toraja, terbuat dari kayu tanpa unsur metal seperti paku, dengan atap berbentuk perahu yang dibangun secara cerdas menghadap utara. Mereka percaya, sumber kehidupan datang dari utara. Sebagian orang Toraja yakin bahwa nenek moyang mereka berasal dari utara (Indo Cina). Dinding tongkonan diukir dan diwarnai dengan indah. Pintu dibuat rendah sehingga kita harus membungkuk untuk masuk rumah. Ini sesuai dengan filosofi orang Toraja, bahwa tamu harus menghormati empunya rumah. Atapnya terbuat dari bilah bambu yang disusun sedemikian rupa (satu belahan dihadapkan ke bawah menutupi celah antara dua belahan yang disusun berdampingan menghadap ke atas) untuk mencegah air hujan masuk rumah. Ini juga membuat sirkulasi udara dalam rumah sangat baik. Arsitektur Toraja sangat terkenal dan dipakai di banyak bagian dunia.
Di bagian depan rumah ada satu tiang panjang hingga ke atap untuk menggantung tanduk kerbau. Semakin banyak tanduk yang digantung, semakin tinggi status empunya rumah. Kepala kerbau putih menandakan rumah milik kepala desa.
Setiap tongkonan ada alang (lumbung) di seberangnya di mana mereka menyimpan padi di bagian atas dan ada tempat untuk menerima tamu di bagian bawah. Tidak semua tamu boleh duduk di sini. Teman saya mengatakan dia pernah ditegur karena duduk di lumbung ini tanpa dipersilakan, tetapi setelah mengetahui identitasnya, tuan rumah baru meminta maaf karena ternyata teman saya adalah keturunan bangsawan. Lumbung ini dibangun di atas enam tiang yang terbuat dari pohon banga. Menurut pemandu kami, batang pohon ini sangat kuat dan licin, tikus tidak mampu memanjatnya maupun melubanginya.
Tongkonan memainkan peranan penting dalam masyarakat Toraja. Membangunnya membutuhkan tenaga banyak orang dan waktu yang panjang. Selain itu, pembangunannya harus mengikuti banyak aturan.
Di bagian-bagian tertentu Tana Toraja, sebuah rumah baru disebut tongkonan bila telah dihuni oleh paling sedikit tujuh generasi dan telah direnovasi berkali-kali. Ada banyak tongkonan tua di tana Toraja dan setiap tongkonan memiliki nama masing-masing. Pasangan pertama yang membangun tongkonan disebut Pangraruk. Di luar Toraja, anak Toraja yang merantau membangun rumah mirip tongkonan sebagai tempat pertemuan keluarga. (Tongkon artinya duduk).
Rante Kalimbuang
Dari Ke’te Kesu’, kami menuju rumah makan untuk makan siang dan dilanjutkan dengan menikmati pemandangan tana Toraja sebelum ke Rante Kalimbuang di desa Bori, Kecamatan Sesean, kira-kira 5 km di utara Rantepao. Tiket masuk untuk turis asing, seperti biasa adalah Rp 20 ribu, sedang untuk warga negara Indonesia adalah Rp 10 ribu.
Rante adalah lapangan tempat upacara pemakaman untuk bangsawan. Rante Kalimbuang adalah rante tertua di Toraja, dipercaya telah berumur lebih dari 700 tahun. Ritual-ritual terbesar pernah dilakukan di rante ini. Setelah mayat dimakamkan, sebuah batu menhir akan ditegakkan di sini untuknya. Pertama, keluarganya harus mencari simbuang batu (menhir), lalu membentuknya seperti seorang manusia. Kemudian mereka harus memindahkan menhir tersebut ke rante dengan tenaga manusia. Bayangkan menyeret batu sebesar itu dari tempat asalnya hingga ke rante di desa mereka. Pekerjaan ini kadang-kadang membutuhkan waktu hingga dua bulan. Ritual terakhir adalah menegakkan simbuang batu ini dalam rante. Di Rante Kalimbuang saat ini ada 102 buah menhir, besar dan kecil.
Sungguh tidak sabar menunggu esok untuk melihat lebih banyak lokasi pekuburan seperti yang dijanjikan oleh pemandu saya.
Sebelumnya - Toraja: Hewan Kurban pada Rambu Solo - III
Berikutnya - Toraja: Kehadiran Leluhur Nyata Adanya - IVB
Tambah komentar baru