Media sosial kini menjadi sahabat banyak orang. Tidak ada hari tanpa media sosial. Karena itu, banyak orang selalu menggenggam telepon pintar, dan power bank sebagai penyambung nyawa hp bila strumnya hampir habis. Penggemar media sosial ini menaruh hp dekat urat lehernya, tak jauh dari bantal, ketika tidur.
Celakanya tidak ada pendidikan khusus bagi penggemar hp dan media sosial. Bermain hp dianggap mudah seperti bermain congklak saja, tanpa perlu kursus atau pendidikan khusus. Hanya tahu pencet-pencet tombol hp, jadilah dia pemain hp handal. Sama dengan main congklak, tak perlu banyak teori, seorang bisa asyik main congklak beratus-ratus menit.
Secara garis besar, saya membagi penggemar gadget dan media sosial dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah orang yang mudah tertipu di media sosial. Kelompok kedua adalah orang yang bisa menipu di media sosial. Tak ada kelompok tengah: setengah mudah tertipu, di saat yang sama juga bisa menipu.
Ciri orang yang berada dalam kelompok pertama adalah:
- Mudah percaya pada status orang atau apa pun yang diposting oleh orang lain di media sosial.
- Sering men-share link yang dibagikan di media sosial tanpa tahu link itu berasal dari mana.
- Rajin menyalin (copy) status orang, kemudian dilekatkan (paste) di akun dia. Sebagian dari mereka menempel hasil salinan itu bulat-bulat.
- Jika ada status yang mengutip kitab suci, mereka cenderung membenarkan isi status itu, dan membagikan lagi kepada teman (friends) atau pengikut (followers) nya dengan cara share, retweet, reblog, ataupun repath. Atau copy dari web, tempel di Whatsapp, BBM, dan lainnya.
Ciri orang di kelompok kedua adalah lawan kata atau lawan kalimat dari ciri orang di kelompok pertama.
Mengapa orang dalam kelompok pertama bersikap begitu? Saya yakin itu karena mereka tidak punya ‘alat membaca media’. Alat membaca media itu berupa aturan main dalam melihat media massa cetak (pada awalnya, atau sebelum ada media sosial). Aturannya sangat sederhana:
- Jangan percaya pada media gosip.
- Jangan percaya pada media yang reputasinya rendah.
- Jangan percaya pada media yang sering membuat kesalahan dalam menulis berita.
- Jangan percaya pada media jika pengelolanya anda kenal sebagai bandit, pencuri, penipu, dan sejenisnya. Jadi, cermati juga orang yang duduk bekerja di belakang media itu. Bila perlu, tanya reputasi orang itu pada temannya, keluarganya, Bareskrim, KPK, dan orang pintar.
Jika memiliki ‘alat membaca media’, seseorang masuk dalam kelompok kedua, yaitu orang yang bisa atau mempunyai potensi menipu orang lain di media sosial. Tapi tidak semua orang memanfaatkan potensinya itu.
Orang yang memanfaatkan keahliannya atau potensinya menipu banyak kita temui di Facebook: misalnya orang yang membajak (hack) akun orang lain, lalu meminta uang melalui inbox kepada teman dari orang yang dia bajak akunnya. Ada juga yang menjual barang elektronik dengan harga amat murah dengan tujuan agar orang lain mentransfer uang seharga barang dan ongkos kirim, tapi barang yang dipesan tidak akan dikirim karena barangnya memang tidak ada.
Pengirim sms ‘mama minta pulsa’ yang heboh beberapa waktu yang lalu, akan lebih canggih menipu jika masuk ke media sosial.
Jadi, kita semua –orang baik-baik di media sosial ini—tidak akan pernah tertipu bila punya ‘alat membaca media’. Bagi yang tidak kuat iman, mungkin sebagian dari kita memanfaatkan alat itu untuk menipu orang lain...
Add new comment