Mengubah Cara dan Tujuan Berjalan

Ada seorang profesor sosiologi dari City Univerity of New York  bernama William Helmreich, menulis buku berjudul “The New York Nobody Knows” hasil dari berjalan kaki mengelilingi New York selama empat tahun. Dia berjalan hampir 10 ribu km dan mewawancarai ratusan orang. Tidak peduli salju, hujan, maupun panas, dia tetap disiplin berjalan sesuai jadwal yang dia buat. William melakukannya sebagai bagian dari penelitian sosial dan juga karena dia menyukainya. Bukunya memenangkan dua penghargaan, dari Association of American Publisher dan dari The Guides Association of New York City.

Ada seorang lain yang melakukan hal yang sama, namanya Matt Green. Matt bukan sosiologis. Dia adalah seorang insinyur Tehnik Sipil. Merasa bosan bekerja di depan komputer, pada tahun 2010, dia memutuskan untuk berhenti kerja dan berjalan kaki melintasi Amerika dari Queens hingga Oregon. Dia berjalan kira-kira 32 km setiap hari selama lima bulan. Selama itu dia tidur di tenda atau menginap di rumah teman. Setelah perjalanan itu, dia bekerja serabutan dan akhirnya memutuskan untuk mengelilingi New York. Semua perjalanan yang dia lakukan dia catat dan diunggah ke situs pribadinya. Dia menjatah pengeluaran hariannya dan biaya hidupnya didapat dari sumbangan. 

William berjalan untuk penelitian sosial, “Katanya orang New York tidak suka berbicara kepada orang lain, tapi saya menemukan itu salah.” Matt mengatakan, dia berjalan untuk lebih mengenal satu daerah. “Orang menggambarkan berbagai daerah di New York sebagai daerah yang cool, miskin, buruk, atau gersang. Saya berjalan untuk melihat kenyataan tentang satu daerah, bukannya hanya percaya saja gambaran orang lain.”

Membaca tentang orang-orang yang suka berjalan ini dan alasan mereka berjalan, saya teringat khotbah seorang pendeta, “ Ketika Yesus mendarat, Ia melihat sejumlah besar orang banyak, maka tergeraklah hatiNya oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala. Lalu mulailah Ia mengajarkan banyak hal kepada mereka.” (Markus 6 : 34)

Saya bukan petualang, bukan sosiologis, bukan insinyur yang bosan, terlebih lagi, saya bukan Yesus. Tapi saya sering berjalan kaki; waktu shopping di mal, berjalan dari stasiun bus ke rumah sakit, mengantar anak dari rumah ke sekolah, dari klinik ke kantin, bawa anjing jalan malam hari atau waktu berjalan dari tempat parkir ke restoran. Apa yang saya lihat sewaktu berjalan itu? Apa saya ada melihat ke sekeliling? Tentu saja selain lalu lintas agar tidak ketabrak atau salah jalan. 

Mengapa saya tidak “melihat” manusia di sekitar saya? Nurani saya sudah mati terbunuh oleh masalah sendiri, masalah rumah tangga, keuangan maupun masalah sosial lainnya. 

Saya berjanji akan lebih banyak “melihat” orang lain, tersenyum, mengajak bicara, mempelajari “kebutuhan” mereka, membantu bila sanggup. Saya akan mengajari anak-anak saya untuk memiliki cinta kepada semua orang, tidak peduli penampilan fisik mereka atau dari kelas sosial apa.

Walk

Saya bertekad untuk menjadi dokter bagi hati yang luka, biarlah hidup saya menyembuhkan. Hidup kita di dunia hanya sementara, saya mau hidup saya berarti bagi orang lain. Saya ingin menjadi nasi bagi yang lapar, air bagi yang haus. Kalau saya berjalan seperti William dan Matt, saya akan berjalan untuk kemanusiaan, bukan untuk penelitian maupun untuk mencari inspirasi bagaimana melanjutkan masa depan.

Walk

Mengutip khotbah pendeta tadi, “Kita semua adalah pengemis, yang bisa kita lakukan adalah memberikan informasi pada orang lain, di mana toko roti yang membagikan roti gratis.”

Walk

 

SaveSave

Add new comment

Plain text

  • No HTML tags allowed.
  • Lines and paragraphs break automatically.