Selama tegak dan diam bagaikan patung, saya bisa mendengar suara kertas yang sedang digunting R.W. Mulyadi yang berdiri di sisi kanan saya. Seniman yang kini bermukim di Condet, Jakarta Timur ini bekerja cepat, pasti, tanpa berhenti sambil terus mengajak saya bicara. Tidak sampai dua menit ... Saya serasa tak percaya bahwa siluet saya yang dikerjakan seniman piawai Indonesia ini sudah selesai.
Hasilnya?
Luar biasa!
Tidak sekalipun dia salah mengarahkan gunting di tangannya. Ini hanya dapat dihasilkan oleh orang yang mempunyai dasar sketch drawing yang hebat. Mas Yadi termasuk salah seorang perintis seni gunting siluet di Indonesia.
Sudah lama menjadi niat saya untuk bertemu dengan Mas Yadi --demikian panggilan akrab seniman serba bisa ini-- untuk berbincang-bincang dan melihat langsung rumah yang merangkap studionya di Jl. Jembatan Tiga No 31, Condet, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur. Saya akhirnya mendapat kesempatan pada suatu hari di bulan Agustus untuk mengunjunginya. Saya bertamu bersama dua orang teman Mas Yadi yang lain.
R. W. Mulyadi yang lahir di Jombang, Jawa Timur tahun 1947, adalah tamatan SMAN 6 Surabaya dan termasuk mahasiswa angkatan pertama Institut Kesenian Jakarta (IKJ). “Saya tidak pernah menyelesaikan kuliah saya, dan lebih mengarah pada kerja profesional yang mandiri. Saya belajar banyak dari buku-buku grafis. Grafis menurut saya adalah masalah teknis, teknis cetak mencetak,” katanya.
Dapat dipastikan pengalaman Mas Yadi sangat banyak dalam bidang seni. Mengaku menyukai segala yang menantang, Mas Yadi telah membuktikan bakat seninya mulai dari seni lukis, seni patung, seni grafis, hingga seni keramik.
Sambil makan pisang rebus kami berbincang ngalor-ngidul. Sesekali suara pesawat terbang yang turun maupun naik dari pelabuhan udara Halim Pedanakusuma mengganggu pembicaraan, tetapi tidak mengurangi kegembiraan dan hangatnya pertemuan kami. Rumah Mas Yadi yang didirikan di lereng, dirancangnya sendiri dan sangat ‘nyeni’. Ruang utamanya berbentuk oktagonal. Dari berandanya kami bisa melihat apa yang dia sebut sebagai “hutan saya” dengan bebagai tanaman, termasuk salak Condet di bawah sana. Di sisinya melintas aliran air Ciliwung. Putty, kucing kesayangan Mas Yadi yang baru berusia dua tahun membuat pertemuan kami kian menyenangkan. Dengan kepintarannya “berdansa” bersama tuannya, kucing putih ini menjadi bintang pada sore hari itu.
“Saya juga pernah jadi dosen, tapi kemudian saya tinggalkan,” kata Mas Yadi setelah saya bertanya apakah dia menerima murid. “Saya membagi ilmu saya kepada siapa saja yang mau belajar. Bidang grafis sudah meluluskan banyak sarjana. Ilmu saya dikembangkan murid-murid saya ke mana-mana, sampai tidak tahu sumbernya lagi. Saya menjadi tidak penting lagi.”
Mas Yadi orang yang low profile. “Apa yang harus saya kejar? Hidup saya mengalir begitu saja.”
Sekarang Mas Yadi lebih banyak menghabiskan waktunya menggeluti seni grafis di studionya yang dia sebut “Rumah Cetak Balekambang” sambil mendidik siapa saja yang sunguh-sungguh ingin belajar. Lukisan-lukisannya dicetak di tas dan kaus yang kemudian dia jual. Salah satu objek favoritnya adalah burung hantu. Kukuk Beluk, demikian dia menyebutnya, bukan sembarang burung hantu. Kukuk Beluk memiliki karakternya sendiri. Kita bisa melihat berbagai ekspresi Kukuk Beluk dalam setiap karya Mas Yadi. Selain seni grafis, dia juga membuat patung Kukuk Beluk.
Saya tidak akan melupakan pertemuan yang sangat mengesankan hari itu. Pengetahuan saya tentang seni dan seniman diperkaya. Sebelum saya meninggalkan rumahnya, Mas Yadi memberikan kejutan dengan menyalakan lampu halaman samping rumahnya dan membuka penutup patung sepasang penari berukuran raksasa, pesanan salah seorang pelanggannya. Si pemesan patung itu tidak mengizinkan patung pesanannya dipotret.
Add new comment