Just say it. Kata orang, segala sesuatu akan lancar dan jauh dari prasangka jika kita saling terbuka dan mengkomunikasikan segala hal, tidak perlu ada rahasia apapun. Benarkah?
Saya termasuk pribadi yang blak-blakan dan cenderung bicara to the point, terlebih jika ada hal yang perlu diklarifikasi. Apakah untuk setiap hal saya harus blak-blakan dan bicara apa adanya? Tidak tuh, terlebih jika saya berhadapan dengan orang yang baru dikenal atau orang yang sifatnya agak tertutup. Ada hal tertentu yang harus saya saring agar tidak memicu pertengkaran atau menyinggung perasaan lawan bicara saya karena setiap orang punya hot buttons yang berbeda. Misalnya, ada orang yang tersinggung atau langsung marah jika kita bertanya berapa usianya saat ini, sudah menikah atau belum, punya berapa anak, bagaimana kabar pasangannya. Teman yang sedang berjuang melawan sakit, kadang-kadang juga tidak suka dan tidak nyaman ketika ada yang bertanya bagaimana kondisinya saat ini. Ada teman yang berusia lebih tua dari pasangannya dan selalu tersinggung ketika ada yang bertanya berapa usianya dan usia suaminya karena jelas terlihat suaminya lebih muda. Ada suami yang selalu tersinggung ketika isterinya bercerita tentang teman yang sedang pergi berlibur bersama keluarga. Dianggap ada unsur menyindir dan membanding-bandingkan dengan keluarga mereka. Orang yang lanjut usia sering merasa kurang nyaman ketika ada pembicaraan yang menyinggung soal panti jompo, pikun, sakit menahun, dan lain sebagainya. Bahkan putera saya yang baru berusia 9 tahun juga akan terlihat sedih dan ekspresinya berubah ketika saya tanpa sengaja bercerita dengan riuh soal prestasi temannya atau memuji-muji tulisan temannya yang lebih rapi. Dari kejadian sehari-hari seperti inilah saya belajar bagaimana harus menyusun kata-kata yang tidak tendensius, tidak asal nyerocos di depan orang dan menyinggung perasaan lawan bicara saya.
Dalam konteks suami isteri, pembicaraan soal uang, mantan pacar, hubungan dengan ipar atau mertua, pembagian kerja rumah tangga, soal siapa yang antar jemput anak, atau bahkan urusan ranjang, semua bisa menjadi hot buttons. Cobalah anda perhatikan apa yang sering menjadi pemicu pertengkaran setelah sesi saling tukar cerita, itulah yang disebut hot buttons.
Bagi orang tertentu, dengan mengetahui masa lalu pasangannya seperti: siapa yang pernah menjadi pacarnya, apa alasan mereka putus hubungan, mantan pacarnya sekarang ada di mana, bisa membuat hubungannya lebih nyaman daripada tidak tahu sama sekali. Anda tidak perlu tahu hal yang detil dan pribadi seperti di mana mereka pernah berkencan, apa yang mereka lakukan setiap kali bertemu, prestasi atau bakat apa saja yang dimiliki si mantan. Detil-detil ini suatu saat bisa jadi bumerang karena tanpa sengaja akan muncul dalam salah satu perselisihan.
Terbuka vs Dihindari (Disclosing vs Avoiding)
John Caughlin, professor ilmu komunikasi dari University of Illinois mengatakan bahwa kita cenderung untuk (berbicara) terbuka, namun jika kita lihat hubungan-hubungan yang sehat dan memuaskan, ada topik tertentu yang dihindari dalam berkomunikasi. Topik yang dihindari (topic avoidance), bukan maksudnya merahasiakan sesuatu. “Tidak perlu setiap hal didiskusikan dengan pasangan atau lawan bicara”, demikian pendapat Jenniver Bevan, professor dari Chapman University di Orange, California. Pertengkaran kecil yang kerap timbul karena masalah komunikasi ini akan menjadi batu sandungan dan mengganggu hubungan. Ada batas-batas privacy tertentu dalam setiap hubungan tentang apa yang perlu dibicarakan.
Akan tetapi kadang kala menghindari topik tertentu yang dianggap bisa menjadi hot buttons, justru bisa memicu ketidakpuasan dan kecemasan. Individu perlu bersikap bijaksana dalam menentukan apa yang sebaiknya dihindari dan apa yang dibicarakan secara terbuka.
Menyaring dan meredam apa yang ingin dikomunikasikan juga bisa berdampak pada kesehatan. Dalam penelitian yang dilakukan Bevan, terlihat bahwa ada hubungan antara menghindari topik tertentu dalam pembicaraan dengan sindrom konstipasi. Dari satu studi tentang keluarga, dimana salah satu anggota keluarganya sedang berjuang melawan kanker dan yang cenderung menghindari segala topik yang berhubungan dengan kanker, justru menunjukkan kondisi psikologis pasien yang lebih tertekan dan rasa sakit yang lebih kuat.Ketika pasien dan keluarga bersifat terbuka dalam menghadapi penyakitnya, ini sudah merupakan salah satu bentuk terapi diri. proteksi diri dan mengenal lawan bicara dengan baik, agar tidak asal ceplas-ceplos saja.
Suatu hubungan romantik akan menjadi semakin dekat dan chemistry yang timbul akan makin kuat ketika keduanya saling terbuka karena bertukar informasi adalah penting untuk perkembangan suatu hubungan. Caughlin menyebutnya dengan istilah cycle of disclosure (siklus keterbukaan). Kedua individu akan bergantian membuka diri dan hal-hal pribadi. Namun perlu kepiawaian memilah sejauh mana kita harus terbuka dan apa yang tidak perlu dibicarakan agar hubungan terjalin dengan optimal. Ada poin tertentu di mana bercerita hingga hal yang detil, tidak lagi bermanfaat.
Jadi jelas bahwa berkomunikasi lebih dari sekedar menyampaikan atau mengabarkan tentang satu hal. Lebih dari soal katakan saja atau tidak usah katakan. Dalam salah satu studi Caughlin tentang anak remaja dengan ayah yang mengidap kanker paru-paru, menunjukkan bahwa cara yang paling ‘sehat’ dalam menghadapi situasi ini adalah dengan saling terbuka tentang banyak topik dan menghindari topik spesifik tertentu seperti tidak mengungkit soal kebiasaan merokok si ayah. Keluarga dapat membuat semacam aturan main tentang humor atau topik apa saja yang boleh dan yang tidak boleh dibicarakan. Aturan main ini sifatnya fleksibel karena bisa dimodifikasi ketika ada perubahan situasi dalam keluarga.
Kapan Harus Bicara Atau Diam?
Ada beberapa poin yang perlu diperhatikan sebelum menentukan apakah satu topik perlu atau tidak untuk diangkat dan dibahas:
- Tanyakan pada diri anda sendiri apakah kali ini bicara terbuka perlu untuk diri anda atau untuk kebaikan dari hubungan anda dengan orang lain? Menurut Prof. Melanie Booth-Butterfield, alasan demi kebaikan hubungan kita dengan orang lain itu lebih penting.
- Kadang-kadang kita ragu, apakah layak untuk membicarakan topik tertentu atau tidak. Misalnya enak atau tidak menegur teman, memberi komentar tentang pakaian yang dia kenakan hari ini, atau mengkritik hasil kerjanya. Menurut psikolog klinis, Ryan Howes, jika hal ini berkenaan dengan hubungan yang dekat (close relationship), anda harus membicarakannya. Jika anda masih merasa ragu untuk berbicara terbuka, artinya hubungan anda dengan orang tersebut masih belum dekat/akrab.
- Tes situasi dan kondisi. Anda bisa mengangkat satu topik yang tidak terlalu pribadi misalnya dengan mengatakan: Sepupuku melakukan aborsi, lho. Dari reaksi orang yang diajak berbicara, anda dapat menilai apakah topik ini layak untuk dibahas atau tidak dengan orang tersebut.
- Tunggu saat yang tepat untuk membahas topik spesifik tertentu. Menurut Noam Schpancer, psikolog klinis lainnya, jika kita mengangkat satu topik tertentu pada saat yang tepat, saat seseorang siap dan berminat mendengarkan anda, kemungkinan besar anda akan mendapatkan respons positif.
- Hindari menyampaikan sesuatu topik pada orang lain saat anda sedang dalam kondisi bad mood. Suasana hati yang tidak tenang akan mempengaruhi apa yang akan anda katakan pada orang lain. Pernah suatu ketika saya harus menyampaikan berita yang sangat tidak mengenakkan pada keluarga besar. Saya membutuhkan waktu beberapa minggu untuk menyiapkan hati dan menyusun kata-kata yang tepat agar berita yang saya sampaikan tidak menimbulkan gejolak yang besar dalam keluarga karena ini akan menjadi berita yang membuat shock.
- Jangan bertele-tele menyampaikan sesuatu, jadi anda tidak perlu harus bolak-balik membahas satu topik. Ini yang disebut berbicara produktif (productive talk), yakni menyampaikan inti pembicaraan dengan seksama dan jelas.
- Empati. Coba bayangkan anda sebagai orang yang menjadi pendengar dari apa yang akan disampaikan. Reaksi yang anda pikirkan mungkin juga berbeda dengan reaksi orang lain tentang topik yang sama. Jadi, siapkan diri menerima berbagai macam respons pihak yang mendengarkan anda.
- Lawan bicara mengalihkan pembicaraan mungkin saja terjadi ketika anda sedang menyampaikan sesuatu. Bisa saja lawan bicara anda mengatakan seperti ini: Ntr aja deh dibahas lagi. Masalah ini terlalu serius untuk dibicarakan saat ini. Usahakan tetap fokus pada apa yang ingin disampaikan. Jika perlu, persempit scope bahasan atau meminta bantuan pihak ketiga untuk menengahi.
Topik Yang Sensitif
- Seks: Menyampaikan hal apapun yang menyangkut masalah seks pada pasangan anda, sering menjadi pemicu pertengkaran karena bisa saja timbul salah persepsi. Urusan seks banyak berhubungan dengan ego dan setiap orang ingin diyakinkan bahwa ia adalah pencinta sejati dan sempurna. Jadi jangan sampai pasangan anda bisa membaca jika anda sebenarnya tidak puas dengan kehidupan seks dengannya. Jangan mengeluh dan mengkritik secara frontal.
- Kematian: Tidak ada yang ingin orang yang dicintainya meninggalkannya untuk selamanya. Jika misalnya anak teman anda sedang dalam kondisi koma atau berada pada stadium akhir penyakitnya, sebaiknya tidak mengangkat topik ini dan membahasnya secara gamblang di depan orang yang bersangkutan. Suasananya sangat tidak kondusif.
- Status hubungan: Ada orang yang merasa tidak nyaman, terlebih laki-laki, ketika ditanya secara langsung status hubungannya saat ini atau ditodong dengan pertanyaan: Ini pacar terbarumu ya? Kapan menikah? Kamu sudah resmi menjanda?
Atau misalnya ketika kita bertanya: Kamu ngapain aja kalau akhir minggu? Jika lawan bicara kita menjawab pertanyaan itu seperti ini: Aku agak sibuk akhir-akhir ini. , ini adalah pertanda bahwa ia tidak nyaman dan tidak berminat untuk memberi jawaban yang sebenarnya tapi memilih jawaban yang bersifat terbuka untuk mengalihkan topik pembicaraan.
Jika anda telah berkencan dengan seseorang selama beberapa waktu dan ingin mengetahui kelanjutan dari hubungan anda, boleh saja anda menyampaikan pertanyaan yang lebih spesifik mengenai status hubungan anda. Dari jawaban calon pasangan tersebut, anda dapat menilai apakah hubungan anda bersifat eksklusif atau tidak, apakah anda memang seseorang yang spesial bagi dia atau sekedar teman biasa. Menurut Jennifer Bevan, setiap orang punya aturan dan batasan pribadi dan anda perlu untuk mengutarakan kepada lawan bicara anda apa tujuan dan harapan anda dari pertanyaan itu.
Tambah komentar baru