Seperti hari-hari biasa, daerah pertokoan Jl. Sabang (Jl. H. Agus Salim), Jakarta Pusat, tadi siang begitu bising. Matahari bersinar memancarkan panas yang agak terik. Ada suara yang memanggil saya, dan saya menoleh ke arah suara itu. Seorang kawan lama berdiri sembari tersenyum. Kepalanya agak dia miringkan. Kami bersalaman menguncang-guncangkan tangan. Sebagaimana lazimnya, dialog dalam perjumpaan adalah bertanya satu sama lain tentang ikhwal masing-masing.
Ini adalah kawan semasa mahasiswa. Untuk ukuran Jakarta yang padat akan manusia dengan aneka kesibukan yang menyita waktu, kami cukup “sering” bertemu. Paling tidak sekali setahun. Saya banyak tahu tentang dia, mantan pegawai negeri yang rasanya tak pernah menduduki jabatan penting, tinggal di rumah mungil Perumnas, di Jakarta Timur. Dua anaknya bersekolah sampai lulus ITB. Katanya, kini cucunya ada tiga. Kawan ini adalah orang periang, dan menyenangkan. Ubannya belum sebanyak uban saya, tetapi dalam hal frekuensi senyum dan jumlah ketawa mungkin dia lebih unggul.
Rupanya dia baru saja keluar dari sebuah restoran, memenuhi undangan makan siang kawannya yang baru datang dari daerah dan memulai masa pensiun. Kami bertukar cerita singkat mengenai kawan-kawan lama. Dia memegang dan menarik lengan saya untuk berjalan menuju sebuah toko kecil penjual kue kering, aneka penganan. Dia membeli kue moci. Maka dia sebutlah nama isterinya –kawan saya juga semasa mahasiswa– dan berkata bahwa sang isteri suka sekali kue moci.
“Ini pesanan?” saya bertanya.
“Nggak,” katanya, “cuma ingat … dan gua tahu di sini ada moci.”
Tidak lama kami di sana, dan keluar dari toko itu. Dia harus kembali ke kantor tempat dia bekerja part time, di Jl. Abdoel Moeis. Saya akan membeli alat pertukangan di Glodok Elektronik, di kompleks Sarinah. Kami kembali bersalaman, berpisah, dan berjalan dengan arah berlawanan.
Jl. Sabang masih saja bising. Terik matahari belum surut. Beberapa langkah berjalan saya menoleh ke belakang. Saya lihat kawan itu menjinjing kantong plastik kue moci, menuju Jl. Kebun Sirih untuk menunggu bus. Sore harinya kue moci yang murah itu akan sampai di rumah sebagai barang “mewah” — penjelmaan perhatian, cinta, dan kasih sayang.
Tulisan ini sebelumnya muncul sebagai note di akun facebook penulis.
Foto kue moci dari situs ini. Terimakasih.
Tambah komentar baru