“Anakku ini nempel kayak perangko. Ke manapun selalu ikut aku.” Itu komentar sahabat lama pada saat makan siang bersama, setelah hampir delapan tahun tidak bertemu. Ia hadir dengan puteranya, 10 tahun. Jelas terlihat ibu dan anak ini punya hubungan yang sehat dan menyenangkan.
Dalam psikologi, kedekatan anak dengan orang tua disebut attachment behavior. Dalam bahasa Indonesia, attachment diartikan sebagai kelekatan pada seseorang atau objek tertentu. Ini merupakan keterikatan emosional yang dalam dan kuat, yang menghubungkan satu orang dengan orang lain, lintas waktu dan ruang. Attachment tidak harus bersifat timbal balik antar kedua orang tersebut. Jadi bisa saja hanya sebelah pihak yang merasa sangat attached.
Saya sering menjumpai anak yang lekat dengan pengasuhnya, jadi ketika pengasuh tidak bekerja lagi dalam keluarga tersebut, anak merasa kehilangan. Bisa jadi mogok makan, rewel, sedih, sering menangis, karena ditinggal oleh pengasuh yang selama ini mendampinginya. Pada dasarnya, siapapun yang menjadi pengasuh utama anak (ibu atau suster) pada awal kehidupannya, cenderung menimbulkan kelekatan terlebih jika hubungannya terjalin dengan baik.
Teori Attachment Behavior
Teori attachment behavior pertama kali diutarakan oleh John Bowlby. Pada tahun 1930, Bowlby bekerja sebagai psikiater di Child Guidance Clinic di London di mana ia menangani banyak kasus anak-anak yang punya masalah emosi. Pengalaman ini menuntun Bowlby untuk mempelajari soal pentingnya hubungan anak dengan ibunya dalam hubungannya dengan perkembangan sosial, emosi dan kognitif anak. Anak yang memiliki hubungan dekat dengan ibu atau pengasuhnya, yang responsif terhadap kebutuhan-kebutuhannya, selalu ada pada saat dibutuhkan, memberi rasa nyaman dan aman bagi si anak, akan punya pengalaman yang menyenangkan pada masa kecilnya dan kepribadian yang lebih mapan.
Pada dasarnya teori attachment dikelompokkan menjadi dua:
1. Evolutionary Theory of Attachment
Teori ini menyebutkan bahwa anak lahir dengan program biologis yang sudah terbentuk sejak awal untuk memiliki attachment dengan orang lain sebagai salah satu kondisi yang membantu anak untuk bertahan hidup (survive). Bayi memberi reaksi dengan menangis, berteriak atau tersenyum untuk menarik respons pengasuhnya. Menurut Bowlby, awalnya anak membentuk attachment pada figur satu orang (monotropy) dan menjadikan figur itu sebagai basis yang aman baginya untuk mengeksplorasi dunia luar. Periode paling penting bagi perkembangan anak adalah pada usia 0 – 5 tahun pertama. Jika perilaku attachment tidak terbentuk pada masa ini, anak akan mengalami dampak perkembangan seperti kurangnya kecerdasan atau tambah agresif.
2. Learning / Behaviorist Theory of Attachment
Menurut teori ini, attachment adalah sekumpulan perilaku yang dipelajari. Dasarnya dimulai pada kebutuhan akan makanan, seperti bayi yang butuh makan akan mengembangkan attachment pada orang yang memberinya makan (biasanya ibu). Kenyamanan yang dirasakan ketika diberi makan akan diasosiasikan dengan rasa nyaman dekat dengan si pemberi makan. Proses ini dinamakan classical conditioning. Bayi juga belajar bahwa jika ia menangis atau tersenyum, ia akan mendapatkan balasan respons seperti perhatian, dipeluk atau digendong. Melalui proses yang disebut operant conditioning, bayi akan belajar merespons dengan mengulang perilaku yang sama untuk mendapatkan respons yang diinginkan (digendong, diganti popoknya atau diberi susu).
Tahapan Attachment
Saat ini saya memiliki keponakan yang berusia tujuh bulan, puteri sepupu saya. Tiga bulan pertama sejak lahir, Sera merupakan bayi yang menyenangkan dan sangat murah senyum. Ia akan tersenyum lebar setiap kali diajak bermain cilukba atau disapa dan bahkan kaki tangannya akan bergerak riang ketika kita hendak menggendongnya. Namun sejak masuk usia enam bulan, ia mulai mengernyitkan dahi dan terlihat tidak nyaman setiap kali didekati oleh orang yang tidak serumah atau yang biasa ia lihat. Dan sekarang, ia tidak mau lagi saya gendong. Selalu menangis dan berpaling. Ia hanya mau digendong ibunya atau pengasuhnya.
Banyak peneliti sepakat bahwa attachment behavior terbentuk dalam beberapa tahap. Rudolph Schaffer dan Peggy Emerson mempelajari perilaku 18 bulan pertama perkembangan 60 bayi. Bayi-bayi itu dikunjungi setiap bulannya untuk melihat perkembangan attachment behavior dengan ibu atau pengasuhnya. Hasilnya, ketika si pengasuh pergi atau tidak berada di dekat si bayi, timbul kecemasan pada bayi (separation anxiety).
Tahapan perkembangan attachment behavior yang dikemukakan oleh Schaffer dan Emerson adalah sebagai berikut:
– Usia 0 – 3 bulan : Bayi memberi respons yang sama pada setiap orang yang mendekatinya. Attachment belum spesifik pada orang tertentu (indiscriminate attachment).
– Setelah usia 4 bulan : Lebih suka pada orang-orang tertentu. Bayi mulai dapat membedakan siapa yang lebih sering mengasuhnya (pengasuh primer dan pengasuh sekunder), namun masih mau didekati dan digendong oleh siapa saja.
– Setelah usia 7 bulan : Mulai terbentuk attachment pada satu figur tertentu. Bayi akan selalu mencari figur utama yang dirasa memberikan rasa aman dan nyaman. Akan menangis jika didekati oleh orang yang asing (takut pada orang asing) dan tampak tidak nyaman jika dipisahkan dari figur utama yang paling sering mengasuhnya (separation anxiety).
– Setelah usia 9 bulan : Bayi mulai mandiri dan dapat mengembangkan attachment pada beberapa orang yang sering berada di sekitarnya (ibu,ayah, kakek, nenek, kakak, suster).
Hasil pemantauan kedua peneliti ini menunjukkan bahwa attachment behavior cenderung terbentuk dengan orang yang peka menangkap ‘sinyal’ yang diberikan si bayi. Schaffer dan Emerson menyebutnya sebagai respons yang sensitif (sensitive responsiveness). Ibu adalah figur utama bagi separuh anak di bawah usia 18 bulan. Yang terpenting bukan siapa yang setiap hari memberinya makan atau mengganti popoknya, tapi siapa yang paling sering mengajaknya bermain atau berkomunikasi dengannya. Jadi, jika ingin anak dekat dengan anda, sering-seringlah mengajaknya bermain atau mengobrol. Anak akan selalu ingat dan merindukan anda.
Bagaimana Attachment Mempengaruhi Perilaku?
Menurut Bowlby, anak membentuk suatu model internal dalam dirinya tentang bagaimana suatu relasi terbentuk dari pengalaman masa kecilnya dengan figur lekatnya. Yang menjadi model bagi anak biasanya memberi contoh bagaimana mengatasi suatu masalah, bagaimana berteman, bagaimana berbicara dengan guru atau teman, dan lain sebagainya. Nah, contoh-contoh ini akan menjadi ‘template’ bagi anak dan diaplikasikan pada relasinya kelak dengan orang lain.
Kualitas hubungan antara anak dengan orang tua merupakan salah satu faktor terpenting dalam perkembangan kepribadian anak kelak. Dari 69 penelitian yang melibatkan hampir 6000 anak di bawah usia 12 tahun yang dilakukan di beberapa universitas di Inggris, Belanda dan Amerika, menunjukkan bahwa anak, khususnya anak laki-laki, yang memiliki hubungan tidak harmonis dengan ibunya pada masa perkembangan awal, cenderung punya masalah perilaku pada masa perkembangan berikutnya. Hasil penelitian ini diterbitkan dalam jurnal Child Development, edisi Maret-April 2010.
Anak yang merasa aman dengan figur lekatnya, akan mendapat perlakuan hangat, sensitif dan responsif yang konsisten dari sang figur dan menikmati hubungan yang terjalin. Pengalaman ini akan terpateri dalam dirinya dan kelak akan memiliki beberapa ciri kepribadian sebagai berikut:
– Cenderung memiliki pandangan hidup yang positif
– Tahu bagaimana berinteraksi dengan lingkungan
– Punya relasi sosial yang baik
– Disenangi banyak orang
– Tidak mudah putus asa
– Punya rasa percaya yang tinggi
– Emosi lebih stabil
– Lebih mudah beradaptasi pada lingkungan
– Mampu mengekspresikan perasaan dengan lebih baik
– Memecahkan masalah dengan baik (good problem solver)
– Prestasi di sekolah cemerlang.
Bagi anak-anak yang di masa kecilnya tidak punya figur lekat, cenderung sulit percaya pada orang lain, karena selama ini tidak ada orang yang dirasa dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi dirinya. Anak merasa dirinya tidak layak untuk dicintai dan tidak percaya orang lain perduli pada dirinya. Sebagai mekanisme pertahanan diri, mereka menjadi apatis dan bersikap tidak perduli pada orang lain, tidak punya empati, namun sebenarnya di dalam dirinya ada perasaan terluka, sedih dan marah. Itu sebabnya kenapa mereka cenderung akan memiliki sifat dependen yang tinggi pada orang lain dan suka menuntut. Pemarah, gelisah, impulsif, mudah frustrasi, memiliki rasa percaya diri yang rendah dan sering menjadi target bully. Suka mencari perhatian pada guru dengan menciptakan konflik atau masalah di kelas, menjadi agresif dan bahkan merusak.
Jadi jelas digambarkan pengaruh dari kelekatan hubungan anak dengan orang yang hadir pada masa-masa awal kehidupannya, dalam hal ini pengasuh utamanya (caregiver). Usahakan selalu menjalin hubungan yang hangat dengan anak dan menjadi figur lekat anak.
Tambah komentar baru