-- Babak Nol
-- babak pendek, Ludruk Pura-pura
*
-- Panggung
Ruangan di kedai kopi
Meja, kursi, cangkir, tatakan, asbak ... waiter
Di dinding ada reproduksi foto Che Guevara, gondrong, dengan baret berbintang satu; foto perwira Vietnam Selatan menodongkan pistol ke pelipis seorang pria Vietcong; foto seorang pria berdiri menghadang empat tank yang bergerak maju dalam peristiwa Tiananmen, dan foto anak jalanan di Jakarta.
Ada lempeng plastik putih di dinding, bertuliskan “Free WiFi”
-- Pemain
Enam pria
Pemain masuk beriringan, memilih satu meja, duduk ...
Pemain 1 (berdiri bertolak pinggang, menoleh ke segala arah).
“Politis sekali kedai kopi ini ... dan keras.”
Pemain 2, 3, 4, 5, dan 6 mengambil kursi masing-masing.
Pemain 2 (duduk, melihat ke arah foto di dinding)
“Cocoklah ... berpolitik harus dengan kopi. Gairah kuasa jadi muncul.”
Pemain 3 (juga melihat ke arah foto)
“Kalau berpolitik dengan bir, omongan ngawur terus, otak kibul yang terangsang, banyak bohongnya.”
Pemain 2 (melihat ke Pemain 3)
“Bicara nggak masuk akal pun bisa, ya!”
Pemain 3 (melihat ke Pemain 2)
“Kalau sudah lewat tiga botol, orang kan kita lihat bego semua.”
Semua Pemain (terbahak-bahak)
Pemain 6 (memperlihatkan muka teler, dan berbicara seperti orang mabuk berat)
“Kalau dengan whiskey, kawan ... politik menjadi huru-hara.”
Semua Pemain (terbahak-bahak)
Obrolan berlanjut tanpa arah, ngalor-ngidul, kocak-kocak serius ... umumnya jokes ... lelucon porno, lelucon rasial, lelucon politik, lelucon yang tidak lucu, dan lelucon dawur-ulang yang sudah seribu kali copy-paste. Para pemain berimprovisasi, ha ha hi hi sembari minum kopi dan mengudap cemilan.
Limabelas menit seperti itu.
Pemain 5 (dengan wajah serius, pemain lain melihat dia juga dengan wajah serius)
“Tapi ... aku ini sekarang muak. Silang pendapat di panggung politik sekarang seperti diskusi bersitegang di forum Konstituante yang gagal menyusun konstitusi baru pada akhir 1950-an dulu. Situasinya seperti situasi yang memancing keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membawa Indonesia ke Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin. Bapakku dulu jadi jatuh miskin nggak punya kerjaan. Aku dan adik-adikku tak terurus ... semuanya kudisan.”
Pemain 4 (melihat ke Pemain 5)
“Suasananya seperti ketika rumor politik ‘Ibu Pertiwi sedang hamil tua’ yang ditiup-tiupkan sebelum Peristiwa 30 September 1965. Kita tak tahu, apa dan bagaimana ... tapi kita curiga dan menunggu. Aku sendiri tak tahu apa yang aku curigakan.”
Pemain 2 (bicara sembari mengetuk-ngetukkan sendok kopi ke meja)
“Aku bilang ... yang sekarang malah lebih buruk! Lihat itu media sosial ... penuh ditunggangi para penghasut, kaum pendendam, dan jurufitnah.”
Pemain 5 (bicara dengan kening berkerut, mengedarkan pandangan ke semua pemain) “Apakah para biang ribut itu kini menyiapkan undangan untuk kembalinya rejim militer?”
“Aaaah ... perlu Kopkamtib lagi?” (sembari membuang sendok ke meja)
Pemain 3 (bicara membeliakkan mata)
“Iya! Bisa jadi! Baru semua tahu ... yang memaksakan kehendak pun akan mampus digulung habis.”
Pemain 6
“Selanjutnya Pulau Buru ramai lagi ... heboh urusan HAM lagi kita!”
(berdiri dari kursi)
“Kita bubar sajalah ... Aku nggak punya uang. Siapa yang bayar kopi ini?!”
-- Panggung
Lampu diredupkan, dan kemudian ... gelap
Tak ada tepuk tangan, karena memang tak ada penonton. Namanya juga ludruk pura-pura.
Catatan: Tulisan ini pertama muncul sebagai status di akun Facebook penulis tanggal 20 November 2016.
Tambah komentar baru