Gondrong Berewok? Apa kata dunia?

Saya pikir ketika masa Orba sudah berlalu, kemerdekaan berekspresi akan makin terjamin, masyarakat berangsur-angsur bisa menghargai otonomi pribadi. Ternyata tidak demikian. Tirani stereotip mayoritas masih berlaku. Kejadian mengejutkan terjadi di awal tahun 2016 ini, seorang teman berkata kepada suami, “Kamu sebaiknya potong jenggot kalo mau kerja di perusahaan besar. Mereka ngga akan terima orang berewokan, apalagi gondrong. Mereka pikir gimana bisa orang ini bertanggungjawab kalo ngontrol dan ngatur dirinya sendiri aja ngga bisa. Di Jepang, Jerman, Hong Kong, begitu juga. Mereka bilang muka itu penting. Maka jaga muka.”

Orang gondrong apalagi berewokan masih saja jadi bahan sindiran. Teman ini menambahkan, “Kalo kamu seniman, silahkan saja.” Fenomena ini bisa dikaji dari dua sisi, pertama dari sisi deskriptif, dan kedua kajian wacana. Di sini saya akan membahas lebih banyak dari sisi deskriptif dengan sudut pandang fenomenologis karena saya dan suami melakukan sebuah eksperimen sosial.

Percobaan kami dimulai ketika suami saya memutuskan untuk tidak memotong rambut dan jenggotnya. Kami tidak menyangka keputusan yang kami anggap “sepele” ini akan menuai tantangan yang serius. Kami anggap sepele karena berpikir bahwa itukan rambut dia, suka-suka dia mau diapain. Saya sendiri, waktu itu masih berstatus calon istrinya, tidak keberatan tapi justru mendukung. 

Sehari sebelum pernikahan kami, Pakdhe mengajak saya bicara empat mata. Saya curiga karena hal ini di luar kebiasaan. Ternyata Pakdhe hanya ingin menyampaikan pesan Bapak agar calon suami saya memangkas rambutnya. Katanya, Bapak mohon kami menjaga mukanya di hadapan para tamu. Saya bilang saya tidak mau suruh dia potong (rambut), tapi akan minta untuk dirapikan.

Betul saja, esok harinya saat resepsi berlangsung ada yang berkomentar, “Rambut pengantin prianya gondrong ya?” Lalu yang lain menimpali,“Kerja apa sih?”. Kami tahu komentar yang terakhir ini setelah pesta usai.

Tak lama berselang, ngunduh mantu berlangsung di kampung suami saya. Seorang tetangga bergurau dengan mengatakan, “Dek, potonglah rambutmu, nanti kalo anakmu liat fotomu gondrong, dia pikir bapaknya dulu dukun. Tinggal pakai cincin akik aja haha…” 

Gondrong
Apa dan siapa saya tidak ditentukan oleh panjang rambut saya atau bagaimana juga saya memutuskan untuk tampil.
Model: Ricky Christanto dan Ela Chen

Waktu berlalu, rambut dan berewok suami saya bertambah panjang. Seorang staf di tempatnya belajar mengujarinya “Tampangmu kayak gelandangan (homeless) deh.”

Penilaian ganjil seperti itu terus berlanjut. Kira-kira dua tahun setelahnya, tampang suami saya makin kontras dengan lingkungan kami. Seorang tetangga kami menyampaikan rasa penasarannya pada seorang teman, “Dia itu kok gondrong berewokan sih, dia bisa bunuh orang ya?”

Hingga setelah anak kami lahir, suami akhirnya ke tukang cukur. Bukan karena semua pendapat itu, tapi karena mau kembaran sama anak, katanya. 

Setelah rambut gondrongnya dan hanya berewok yang tersisa, masih ada juga yang berkomentar miring. Sempat ada yang berkomentar seperti ini saat melihat dia masuk ke laboratoriumnya: "Ada tukang yang kuliah di sini ya?”

Gondrong

Dari berbagai reaksi tersebut, kondisi gondrong berewok diartikan sebagai berikut:

  1. Tidak biasa dan menarik perhatian orang (terutama dalam acara resmi) - Gondrong dianggap sama dengan tidak resmi atau selengekan, semau gue, tipe pemberontak yang susah diatur.
  2. Berkaitan dengan jenis pekerjaan tertentu - Stereotip yang berkembang rata-rata mengharuskan pekerjanya untuk berambut cepak. Bila ada orang berambut gondrong, dia akan diasumsikan memiliki pekerjaan yang tidak umum, misalnya dukun atau tukang. Atau, lebiih buruk lagi, pengangguran. 
  3. Salah satu tanda kemiskinan -  Tidak memiliki rumah dan berambut panjang umumnya dianggap sebagai ciri kemiskinan. Rumah saja tak punya apalagi ongkos cukur rambut
  4. Bermoral buruk, tak dapat dipercaya dalam pekerjaan - Ini terbukti dari komentar terhadap suami saya, bahwa karena gondrong dan berewokan, ia diasumsikan sebagai jahat sekali, bahkan mungkin bisa membunuh. 

Mengapa rambut di kepala dan di wajah dijadikan sebagai cerminan sikap dan karakter seseorang? Inilah yang disebut kajian wacana. Masyarakat punya pemikiran tentang apa yang baik dan tidak baik (nilai), serta bagaimana harus berperilaku (norma), sebagai kontrol demi berlangsungnya keteraturan sosial. Nilai dan norma ini tidak selalu tertuang dalam hukum tertulis, tetapi bisa ditemukan dalam komentar, tutur kata, bahkan kelakar dalam pergaulan sehari-hari. 

Komentar dan kelakar yang muncul selama masa percobaan kami tersebut merupakan representasi dari stereotip yang beredar dalam masyarakat mengenai rambut gondrong dan berewok. Mereka sarat dengan muatan sosial mengenai aturan kelaziman rambut yang tumbuh di kepala dan wajah, sejauh mana wajah mewakili karakter seseorang. Kesamaan pendapat soal seberapa penting wajah perlu diatur penampilannya agar sesuai dengan norma yang berlaku.  

Saya tergelitik soal ini karena menyadari bagaimana tubuh kita pun menjadi ajang pertarungan politik ideologi yang “menjerat dan mengatur” masyarakat dan bahwa kita dengan sukarela tunduk pada ideologi ini. Hal ini bisa dianalogikan dengan atlet yang harus tunduk pada aturan-aturan permainan dalam cabang olahraga yang ditekuninya bila ingin ikut berpartisipasi. Disadari atau tidak, kita melakukannya setiap hari. Contohnya, perempuan berambut panjang lurus dianggap lebih cantik, maka banyak perempuan ingin berambut panjang dan meluruskan rambutnya. Mereka akan berusaha tampil dengan rambut panjang meski sebenarnya tidak nyaman dan terlalu ribet mengurusnya. Kenapa? Karena kita mau jadi cantik dan “diterima” oleh orang-orang di sekitar kita. Apakah kita masih bisa mengatakan bahwa tubuh kita adalah milik kita sendiri? Kenyataannya, orang lain yang menentukan apa yang sebaiknya dilakukan terhadap badan kita. Our personal is political. Untuk menentukan apa yang akan kita lakukan atas tubuh kita, kita selalu merasa perlu untuk mempertimbangkan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat di mana kita tinggal.

Saya mencoba melihat dari sudut pandang lain komentar teman saya bahwa orang berewok, apalagi gondrong itu berarti orang yang tak mampu mengatur dirinya. Orang yang bercukur rapi dan bermuka klimis, bisa jadi, melakukannya karena “terpaksa”, sebab kalau tidak demikian, ia akan sulit mendapatkan pekerjaan. Bila ditarik lebih jauh, bukankah ini menunjukkan kesukarelaan “tunduk” pada aturan main yang berlaku secara luas di dunia kerja? Jadi bisa dikatakan, kerapian dan keklimisan itu merupakan hasil dari sikap merelakan tubuhnya (baca: rambut dan berewoknya) untuk diatur dan dikontrol. Oleh siapa? Oleh industri yang digerakkan roh kapitalisme. 

Berewok
Model : Ricky Christanto

Untuk pernyataan - kamu boleh gondrong, kalo seniman- bisa diartikan kalau enggan cukur rambut, jangan kerja di perusahaan besar apalagi internasional. Jadi seniman saja. Kenapa? Karena di dunia seni ada kelonggaran mengenai kemerdekaan seseorang mengelola tubuhnya, termasuk rambut. Jika para seniman berambut gondrong atau botak, semua memakluminya. Mereka memiliki otonomi atas tubuhnya. Gondrong dan berewok bisa diartikan sebagai ekspresi kemerdekaan seseorang untuk mengelola dan mengontrol tubuhnya. 

Kasus gondrong dan berewok ini hanyalah salah satu contoh bagaimana kita tunduk pada stereotip dan norma dalam masyarakat. Kita memiliki kemampuan untuk berpikir lebih kritis dan juga hak untuk menentukan apa yang baik dan cocok bagi diri kita, bukan hanya tunduk pada stereotip yang belum tentu ada dasar logikanya.

SaveSave

Add new comment

Plain text

  • No HTML tags allowed.
  • Lines and paragraphs break automatically.

Mungkin Januari bukan bulan yang baik untuk berlibur ke Bali, apalagi jika tujuan pertama adalah…

Rose Chen

Air Terjun Shifen 

Rose Chen

Kuil ini terletak di distrik Zhungli, kota Taoyuan. Tempat ibadah seperti ini ada di setiap…

Rose Chen