Tahun 2016 baru memasuki bulan kelima tapi beberapa kabar dukacita sudah datang beruntun, dari teman-teman dekat yang kehilangan ibu, ayah dan pasangan hidupnya. Hati dan tangan saya selalu bergetar setiap kali menerima telepon atau berita dukacita di timeline saya. Rasa itu begitu kuat karena saya pernah dekat dengan mereka, merasakan ada bagian yang hilang dan ada rasa bersalah kenapa saya tidak meluangkan waktu untuk bertemu sebelumnya karena kita tidak pernah tahu kapan pertemuan itu akan menjadi pertemuan terakhir.
Apa itu Dukacita?
Dukacita (grief) adalah segala macam emosi yang ‘sulit’, ‘berat’, menyakitkan, yang kita rasakan ketika kehilangan seseorang atau sesuatu benda yang sangat kita sayangi atau sukai. Ini adalah reaksi normal pada kehilangan yang signifikan dan mempengaruhi suasana hati. Dukacita yang paling intens adalah kematian seseorang yang kita cintai. Kehilangan lain yang juga menyebabkan dukacita antara lain:
- Perceraian atau putus hubungan
- Penyakit serius
- Kehilangan pekerjaan
- Kehilangan stabilitas ekonomi/finasial
- Keguguran
- Pensiun
- Kematian hewan peliharaan
- Kehilangan harapan
- Seseorang yang disayangi sakit yang serius
- Kehilangan/putus hubungan dengan sahabat
- Kehilangan rasa aman
- Kehilangan tempat tinggal
Semakin signifikan rasa kehilangan, semakin intens rasa dukacita yang dirasakan. Kadang-kadang, rasa dukacita juga akan timbul ketika kita pindah rumah, menjual rumah masa kecil yang penuh kenangan, lulus sekolah dan harus pindah ke tempat lain, berganti pekerjaan dan lingkungan dan bahkan ketika memasuki masa pensiun.
Tahapan Ketika Berduka
Psikiater Elisabeth Kübler-Ross, pada tahun 1969 pernah melakukan penelitian pada pasien-pasien yang menghadapi tahap akhir penyakit yang diderita, orang-orang yang kehilangan pasangan atau orang terdekatnya dan orang yang mengalami putus hubungan.
Menurut Kübler-Ross, ada lima tahapan yang terjadi ketika seseorang mengalami suasana dukacita:
1. Penolakan (denial): Kenapa hal ini terjadi padaku? Kenapa harus aku yang mengalami?
2. Marah (anger): Mengapa hal ini terjadi? Siapa yang salah? Apa dosaku?
3. Menawar (bargaining): Seandainya hal ini tidak terjadi, (sebagai gantinya) aku akan…..
4. Depresi (depression): Aku ga mampu melakukan apa-apa. Aku ga tau harus bagaimana.
5. Penerimaan (acceptance): Aku pasrah. Aku terima apa yang sudah terjadi.
Tidak semua orang akan mengalami kelima tahapan tersebut ketika berduka. Setiap orang punya pengalaman yang berbeda ketika berduka. Bagaimana kita bereaksi dan mengatasi rasa dukacita tergantung pada banyak hal, antara lain kepribadian, kemampuan mengatasi masalah, pengalaman hidup, keyakinan dan asal muasal kehilangan tersebut. Proses kembali ke hidup yang ‘normal’ juga berbeda. Ada orang yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk kembali ‘normal’ dari suasana dukacita, ada yang dapat segera move on dalam waktu yang singkat.
Dalam buku terakhirnya, sebelum Kübler-Ross meninggal pada tahun 2004, ia menyimpulkan bahwa setiap individu memiliki pola yang khas dalam berduka dan tidak ada pola yang baku untuk menjabarkannya. Jadi kelima tahapan berduka tersebut bukanlah kerangka yang kaku dan pasti akan dialami oleh setiap orang. Setiap invividu membutuhkan rentang waktu yang berbeda untuk dapat move on dari suasana dukacita dan memulai hidup baru.
Move On
Menurut pengamatan dan pengalaman saya, hal terpenting ketika kita mengalami suasana dukacita, yang paling dibutuhkan adalah teman curhat. Teman yang bisa kita percayai untuk berbagi rasa dan meringankan beban di hati dan pikiran. Kunci utamanya, jangan menenggelamkan diri dalam suasana dukacita dan membuat kondisi semakin runyam. Jika anda merasa tidak ada teman yang bisa diajak berbagi, carilah seorang profesional, konselor atau terapis.
Stres yang dialami ketika sedang berduka, sering membuat seseorang tidak memperhatikan kondisi fisik dan emosional diri sendiri. Badan menjadi tidak terurus, emosi amburadul. Dengan menjaga kondisi tubuh tetap fit akan membantu kita mengatasi dukacita. Rasa sedih bisa juga dituangkan dalam bentuk tulisan, seperti menulis buku harian, menyusun scrap book atau mengumpulkan foto-foto lama dan menjadikan album kenangan.
Siapkan mental ketika menghadapi pemicu munculnya kembali rasa dukacita seperti ulang tahun, peringatan hari-hari bersejarah, atau liburan. Saat itu bisa jadi emosi anda akan terombang-ambing dan ada rasa kosong yang kembali muncul. Ini adalah reaksi yang normal, jadi nikmati saja semua alunan rasa itu. Semakin anda berusaha menghindar dari perasaaan dukacita, rasa sedih yang mendalam itu, anda akan semakin terperangkap dan sulit untuk move on. Lebih baik lagi kalau bisa melakukan sesuatu yang positif, mengubah rasa duka menjadi sesuatu yang berguna. Untuk mengenang almarhum ayahnya yang semasa hidup suka menderma, teman saya melakukan satu kegiatan sosial di hari ulang tahun sang ayah.
Satu hal yang terpenting, jangan membuat keputusan besar ketika anda sedang dalam suasana berduka. Jika memang harus mengambil keputusan penting saat itu juga, mintalah masukan dari orang terdekat yang anda percayai.
Sering kali orang berkata, waktu akan menyembuhkan luka atau dukacita. Waktu dapat membantu mengaburkan rasa sedih tapi bukan menyembuhkan dan menghilangkan. Kemampuan menerima keadaan dan letting go adalah poin utama untuk kembali menjalani kehidupan ‘normal’ dan rekonsiliasi.
Add new comment