Kata punya “ruh” yang menunjukkan alam pikiran pemakainya dengan memperhatikan konteks ketika kata itu dipergunakan. Ia dapat menyatakan yang tidak ditulis, dan mengungkapkan yang tidak diucapkan. Dalam bahasa lisan “ruh” kata tersebut juga dapat diketahui lewat intonasi dan volume suara yang melafalkannya. Wartawan sebetulnya harus memahami itu, agar subjektivitas dalam penulisan laporan dapat diredam atau dikendalikan, dan tafsiran oleh audience tidak tergiring ke arah yang salah.
*
Berikut ini ada tiga kata yang kerap dipakai dalam laporan tentang kriminalitas.
1. Jeblos -- dijebloskan, menjebloskan
“Menjebloskan” bermakna memasukkan sesuatu sekuat-kuatnya, bersifat memaksa (misalnya dengan mendorong/menekan) ke dalam lubang. Kata ini sering dipakai wartawan untuk merekonstruksi fakta tentang “dimasukkannya/ditempatkannya seorang tahanan ataupun terhukum ke/di penjara” oleh penegak hukum. Pemakaian kata “dijebloskan” dan “menjebloskan” untuk maksud seperti itu dalam bahasa jurnalistik dikenal sebagai pemakaian bahasa yang ekspresif, menimbulkan kesan kuat. Tetapi tidak dapat dibantah bahwa pemakaian kata seperti itu mengandung semangat benci, setidak-tidaknya tidak suka sebagaimana sikap orang pada umumnya dalam melihat kejahatan dan pelakunya.
2. Ringkuk -- meringkuk
Kata ini menunjukkan sikap tubuh seseorang di kala duduk dengan membungkuk dan menempatkan/menyembunyikan wajah di atas atau di balik lutut, maupun rebah di lantai dengan tubuh menggelung seperti kucing tidur kedinginan. “Meringkuk” juga sangat digemari jurnalis untuk laporan kriminalitas buat menggambarkan keberadaan seseorang dalam sel tahanan ataupun penjara. Sama dengan kata “dijebloskan, menjebloskan”, ia dipergunakan sebagai bahasa ekspresif yang juga mengandung semangat benci atau tidak suka.
3. Dekam -- mendekam
Kata ini pun menggambarkan posisi tubuh, berlutut maupun tidur tengkurap yang merapat ke lantai (tiarap). Jurnalis bidang kriminalitas kerap memakai kata ini sebagai kata ekspresif buat menyatakan keberadaan seseorang dalam sel rumah tahanan ataupun penjara. Ia pun mengandung makna tersirat yang dapat menjadi indikasi tentang sikap si pemakai kata itu terhadap fakta yang ia ceritakan.
*
Sejak hari Selasa, 9 Mei 2017 siang, begitu banyak laporan media massa tentang Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang dan kemudian dipindahkan ke Mako Brimob, Kelapa Dua. Seiring dengan banyaknya laporan itu, kata “menjebloskan, dijebloskan, meringkuk, mendekam” pun berhamburan di hadapan publik (lihat gambar, berisikan beberapa petikan berita dari beraneka media massa).
Ada yang terasa kurang patut ketika membaca bahasa yang dipakai wartawan dan media massa untuk kasus ini. Ahok dibicarakan dengan bahasa yang sama dengan bahasa yang mengisahkan narapidana seperti pencopet, perampok, maupun pemerkosa yang harus masuk penjara atau berada dalam penjara. Nadanya negatif. Ia condong ke arah sarkasme ...
Ini bukan persoalan status sosial, atau bukan soal pemakaian bahasa untuk person yang berasal dari strata sosial yang mana. Ini juga bukan persoalan suka atau tidak suka pada tokoh yang diceritakan. Ini semata-mata masalah kelayakan dengan ukuran rasa bahasa.
Pemakaian kata seperti itu terasa kurang patut, karena masalah yang membawa Ahok ke dalam sel tahanan sama sekali berbeda dengan perkara yang mengantar penjahat seperti maling maupun pembunuh (orang yang dalam pandangan umum layak dibenci) ke dalam kamar tahanan. Selayaknyalah pikiran yang berada di belakang pilihan kata yang dipakai bukan pikiran yang membayangi pilihan kata pada saat menulis laporan tentang penodong supir taksi yang tertangkap dan dihukum. Jika dipakai kata-kata yang dapat menyiratkan subjektivitas si penulis berita, condong ke arah sarkasme dan pedas, laporan akan menjadi tidak fair. Terlepas dari suka atau tidak suka pada tokoh yang diceritakan tampilan bahasa laporan akan lebih “arif” apabila kata-kata pembawa kisah kriminalitas yang dilazimkan tidak dipakai dalam kasus seperti ini. Saya tidak akan terburu-buru mengatakan bahwa pilihan kata itu dikendalikan oleh sikap keberpihakan pada kasus yang dialami Ahok, karena saya mahfum bahwa banyak sekali wartawan yang kehilangan rasa bahasa, dan merasa gagah menulis dengan bahasa sensasional. Kini, misalnya, menjadi seperti sangat biasa bagi wartawan untuk memakai kata “meregang nyawa” untuk menceritakan seseorang yang berada di ambang kematian, dijemput ajalnya.
Kata punya “ruh” yang menunjukkan alam pikiran pemakainya. Ia dapat menyatakan yang tidak ditulis, dan mengungkapkan yang tidak diucapkan. Ada tempat untuk kata-kata yang pedas, dan ada saatnya wartawan harus mencegah semangat yang mengarah pada sarkasme dalam berbahasa.
Catatan: Tulisan ini pertama muncul sebagai note di akun Facebook penulis pada tanggal 11 Mei 2017.
Tambah komentar baru