Seminggu terakhir di bulan Agustus, ada kabar buruk dari seorang sahabat. Belum reda rasa shock dan sedih di hati, muncul lagi kabar buruk lainnya. Hingga awal minggu pertama bulan September ini, sudah lima kabar buruk yang disampaikan pada saya dan membuat hati ciut karena menyangkut kabar tentang orang-orang yang saya kenal dekat.
Sahabat saya bercerita tentang ibunya yang dipanggil Tuhan beberapa tahun yang lalu setelah menjalani kemoterapi untuk kanker paru-paru. Satu hal yang ia ingat dengan jelas, bagaimana sikap dokter ketika menyampaikan hasil pemeriksaan laboratorium kepada sang ibunda. Dengan suara yang tenang, senyum tipis dan kata-kata yang simpatik sambil menggenggam tangan pasien, dokter mengatakan bahwa hasil sudah keluar dan ada semacam selaput di paru-paru. Positif kanker. Tidak perlu terlalu khawatir karena akan dibantu semaksimal mungkin dengan pengobatan dan lain-lain. Ibu dan mereka semua yang berada dalam ruangan itu tidak shock, tidak menangis histeris, hanya menggangguk perlahan dan dengan tenang mendengarkan penjelasan dokter selanjutnya.
Bisa anda bayangkan bagaimana reaksi pasien dan keluarga jika dokter menyampaikan berita yang tidak ingin kita dengar dengan suara datar, wajah tegang, dan tatapan mata yang dingin dan dengan kalimat: Kanker Ibu anda sudah berada di stadium akhir dan tidak banyak yang dapat kami lakukan lagi. Kemungkinan sembuh hanya sekian persen bla bla bla. Dapat dipastikan suasana dalam ruangan dokter terasa makin mencekam.
Setiap kali mendapat tugas sebagai messenger untuk menyampaikan kabar buruk kepada teman atau saudara,, membuat saya tidak bisa tidur sepanjang malam, memikirkan dan menyusun kata-kata yang harus saya ucapkan pada orang yang bersangkutan. Suara tersendat dan kata-kata terasa tercekat di tenggorokan dan telapak tangan dingin. Tidak tega untuk menyampaikan berita yang membuat hati ciut, namun tetap harus disampaikan.
Setiap informasi negatif yang dapat mempengaruhi kondisi orang yang menerima, membuat orang shock dan tidak siap untuk mendengarkan, dikategorikan sebagai kabar buruk. Misalnya pasien yang diberitahu tentang sakit punggung yang selama ini mengganggu ternyata adalah efek dari kanker payudaranya yang kembali aktif. Berita tentang kecelakaan atau keputusan top management menghapus departemen tertentu sebagai langkah efisiensi kantor dan itu berarti akan ada pemutusan hubungan kerja. Kabar tentang putera kita yang gagal dalam saringan masuk universitas idamannya atau gagal terpilih sebagai anggota tim inti di kampusnya dan juga kabar pacar yang memutuskan hubungan dengan alasan apapun.
Kita jauh lebih senang menyampaikan berita gembira; sebaliknya, secara psikologis lebih tertekan ketika menyampaikan kabar buruk. Kesulitan menyampaikan kabar buruk atau negatif sering disebut dengan istilah MUM effect (merahasiakan berita buruk dari ibu). Dalam penelitian tentang MUM effect, Jason Dibble dan koleganya dari Hope College, mendefinisikan kabar buruk sebagai informasi yang belum diketahui oleh si penerima, berita yang dihindari dan membawa efek negatif bagi si penerima. Tesser dan koleganya menyimpulkan bahwa orang yang menjadi messenger sering mengalami kecemasan, merasa terbebani oleh tanggung jawab menyampaikan kabar buruk dan takut akan efek negatif sebagai pembawa kabar. Akhirnya timbul stres.
Para peneliti dari Hope College melakukan dua penelitian yang meliputi penyampaian kabar baik vs kabar buruk dan kabar yang disensor/diedit vs kabar yang tidak disensor/tidak diedit. Menurut hipotesa para peneliti, kabar buruk yang tidak disensor/tidak diedit membutuhkan persiapan lebih lama sebelum disampaikan dan akan memberi dampak terburuk bagi si penerima.
Menurut ‘teori kesopanan’ (politeness theory), ketika menyampaikan kabar buruk, individu akan memperlihatkan ekspresi wajah negatif. Pembawa kabar buruk takut disalahkan, merasa cemas karena membuat orang lain sedih.
Studi lain yang dilakukan oleh Valerie Igier dan kawan-kawan di Mirail University, meneliti tentang bagaimana persepsi pasien, keluarga pasien dan tenaga medis dalam proses penyampaian kabar buruk mengenai prognosis kesehatan pasien. Dari 140 responden dari pihak pasien dan 50 perawat yang disurvei, hanya seperempat dari jumlah keseluruhan responden yang lebih setuju jika pasien diberitahu dengan transparan kondisi yang sebenarnya. Lebih dari sepertiga responden ingin agar keluarga pasien diberitahukan terlebih dahulu, sebelum pasien. Hanya 13% responden yang berpendapat kondisi kesehatan pasien yang sebenarnya tidak perlu disampaikan pada pasien. Jadi nampak jelas bahwa kebanyakan orang tetap ingin mendengar kabar seburuk apapun dan keterlibatan anggota keluarga sangat penting sebagai pemberi dukungan dan mengurangi ketegangan dalam situasi yang tidak nyaman.
Tidak ada cara terbaik untuk menyampaikan kabar buruk karena setiap berita buruk berpotensi membuat si penerima sedih dan merasa tidak nyaman. Beberapa pedoman di bawah ini diharapkan dapat menjadi acuan:
- Sampaikan setidaknya sebagian dari kabar yang sebenarnya kepada orang bersangkutan, apakah itu mengenai prognosis kesehatan yang buruk, atau sekilas kabar tentang pegawai yang akan dipecat karena dianggap tidak memenuhi kualifikasi.
- Jika anda merasa orang tersebut tidak sanggup menerima kabar buruk yang hendak disampaikan, cobalah mempermanis atau memoles beritanya dengan melihat dari sisi positif.
- Ikuti prinsip dari teori kesopanan. Jika kabar buruk yang akan disampaikan menyangkut reputasi seseorang yang berpotensi menyinggung harga dirinya, ada baiknya kita membantunya dengan mengarang cerita agar ia tidak kehilangan muka di depan orang lain. Jadi yang tahu kejadian sebenarnya hanya anda dan orang yang bersangkutan. Orang luar tidak perlu tahu semua detil.
- Siapkan diri anda dengan baik sebelum menyampaikan kabar buruk tersebut. Pikirkan bagaimana penyampaiannya agar tidak membuat orang yang menerima kabar buruk salah pengertian, tersinggung, membuat suasana makin runyam.
- Pilih waktu yang tepat untuk menyampaikan kabar buruk. Pemutusan hubungan kerja biasanya diberitahukan pada pegawai yang bersangkutan pada hari Jumat sore. Memutuskan suatu hubungan, misalnya, sebaiknya tidak dilakukan pada saat liburan atau pesta keluarga karena jelas akan merusak suasana yang menyenangkan saat itu. Lakukanlah sebelum atau sesudahnya agar setidaknya masih ada kenangan indah yang dinikmati bersama sebelum semuanya berlalu.
- Ajak teman atau anggota keluarga yang mengenal dengan baik dan mengerti kondisi orang yang bersangkutan untuk membantu anda menyampaikan kabar negatif ini.
- Sampaikan kabar dengan kalimat sederhana, tidak bertele-tele dan jelas.
- Menyampaikan kabar buruk bisa juga dengan tulisan karena tidak perlu melihat reaksi si penerima setelah itu. Jika si penerima kabar adalah orang yang dekat dengan kita, seseorang yang spesial, ada baiknya disampaikan secara langsung dengan bertemu muka.
Tidak ada orang yang senang menerima kabar buruk meskipun hanya sekedar kabar pesanan makanan favorit anda sudah habis atau kiriman paket anda hilang atau rusak. Rasa sedih dan tidak nyaman selalu muncul meskipun pacar anda telah mencari alasan paling netral dan ‘semi positif’ untuk menyelamatkan wajahnya ketika ia memutuskan hubungan, seperti: Kamu terlalu baik untuk menjadi pasanganku. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik dari aku. Ini salahku, aku yang bermasalah, aku yang belum matang dan belum siap untuk berkomitmen bla bla bla. Atau atasan yang menyampaikan berita pemutusan hubungan kerja dengan kalimat: Perusahaan defisit dan pihak manajemen memutuskan untuk mengurangi karyawan dan memangkas biaya. Kalimat seperti itu akan terasa lebih netral daripada kata-kata: Kinerja anda tidak memenuhi standar kerja di perusahaan ini. Maaf, kami tidak dapat memperpanjang kontrak anda.
Jadi, apapun reaksi dari orang yang menerima kabar buruk tersebut, setidaknya sudah dapat diantisipasi dan sebagai pembawa kabar, anda lebih siap mental dan tahu bagaimana mengatasi situasi sulit yang mungkin timbul.
Add new comment