Hampir setiap hari di media terbaca dan terdengar bahasa yang keliru dalam pemakaiannya, baik menyangkut makna kata maupun yang bersifat kacau-balaunya logika kalimat. Khalayak penutur bahasa yang awam berbuat kesalahan, dan wartawan yang seharusnya tidak melakukan hal yang sama tidak pula ketinggalan.
Apakah yang salah pada kita? Mungkinkah kita tergolong manusia yang “asal bunyi” kalau menulis dan berbicara? Ataukah kita bangsa cuek yang malas berpikir?
Orang yang bersikap hati-hati dalam menilai mengatakan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa yang dikuasai sejak seseorang masih kanak-kanak dipandang sebagai bahasa yang mudah dan sudah sangat dipahami, karena itu ia dipakai tanpa disertai pertimbangan salah-benar, tepat atau kurang tepat.
Kata “diberikan” --sebagai contoh-- sudah bertahun-tahun hadir di media massa dan sudah bertahun-tahun dipakai penutur bahasa secara salah. Jarang sekali orang yang tahu bahwa kalimat “Calon pengasuh bayi itu DIBERIKAN pengetahuan tentang aneka rupa lotion untuk anak-anak” sebagai kalimat yang tidak logis. Begitu juga dengan kalimat “Selama masa Lebaran keluarga para narapidana DIBERIKAN kelonggaran untuk berkunjung ke lembaga pemasyarakatan”. Demikian pula untuk kalimat “Juara pertama DIBERIKAN hadiah uang tunai Rp 15 juta”.
Karena sudah ditulis dan diucapkan ribuan kali, kata “diberikan” yang salah pakai (yang maksud sesungguhnya adalah “diberi”) tidak lagi disadari sebagai gejala tidak terpakainya pikiran dalam berbicara dan menulis. Kata “diberikan” dipakai dalam kebebalan...
Tidak timbul kesadaran bahwa yang seharusnya ditulis atau dikatakan adalah “calon pengasuh bayi itu DIBERI pengetahuan”; “keluarga para narapidana DIBERI kelonggaran”; “juara pertama DIBERI hadiah”. Hampir tidak pernah muncul pikiran yang jernih yang menyadari bahwa “pengetahuan tentang lotion yang DIBERIKAN kepada calon pengasuh bayi”; “kelonggaran berkunjung yang DIBERIKAN kepada keluarga narapidana”; “uang tunai Rp 15 juta yang DIBERIKAN kepada juara pertama”.
Dalam perangkap kebebalan itu, hampir tak ada kesadaran untuk mengatakan atau menulis; “KEPADA calon pengasuh bayi itu DIBERIKAN pengetahuan tentang aneka rupa lotion untuk anak-anak”; “Selama masa Lebaran KEPADA keluarga para narapidana DIBERIKAN kelonggaran untuk berkunjung ke lembaga pemasyarakatan”; “KEPADA juara pertama DIBERIKAN hadiah uang tunai Rp 15 juta”.
Entah kemana pikiran para pemakai bahasa yang keliru itu sehingga tidak mengerti bahwa imbuhan (awalan maupun akhiran) bukanlah unsur yang ditempelkan asal ditempelkan pada suatu kata, melainkan sebagai unsur yang dimaksudkan untuk membeda-bedakan makna.
Itulah yang ditemukan ketika membaca sebuah judul artikel, berbunyi “KPK, Haruskah Layu Sebelum Benar-benar Bermekaran?”
Jika ada pembaca yang mengerti beda antara “mekar” dengan “bermekaran” bertanya, ada berapa banyak KPK yang mungkin atau mungkin tak jadi bermekaran, jangan-jangan si pembaca itu pula yang dianggap dungu.
*Artikel ini awalnya ditulis sebagai note di account Facebook.
Add new comment