Kalimat “masyarakat sekarang sudah pintar” adalah pernyataan yang sifatnya “mengangkat” sekaligus “menjatuhkan” atau melecehkan. Masyarakat “sekarang” yang punya kesempatan mempergunakan hak-hak politiknya, mau mengemukakan pendapat, punya kesempatan memberikan pertimbangan mengenai anggota badan perwakilan dan pejabat pemerintah, serta punya kebebasan mengemukakan penilaian tentang kebijaksanaan negara disimpulkan sebagai “sudah pintar”.
Kata “sudah” mengisyaratkan keadaan masa “sekarang” yang membandingkannya dengan keadaan yang mendahuluinya — yang “belum”. Maka dengan begitu pernyataan “masyarakat sekarang sudah pintar” adalah kalimat yang secara implisit menganggap masyakarat yang dulu belum pintar. Apa, iya? Siapa saja yang mengatakan “iya”, sebetulnya layak mendapat cap bodoh.
Masyarakat tidak pernah bodoh. Setiap masyarakat punya kemampuan nalar dan punya nilai-nilai. Setidak-tidaknya, di dalam masyarakat selalu ada orang-orang pintar.
Kebangkitan nasionalisme Indonesia tidak akan pernah terjadi jika masyarakat begitu bodoh dan tidak ada manusia-manusia cendekia yang mendirikan Budi Utomo pada 1908. Pemikiran yang kian maju tak akan muncul berupa semangat persatuan –yang ditandai Sumpah Pemuda, 1928– jika masyarakat Indonesia memang belum pintar pada masa itu. Proklamasi kemerdekaan 1945 mungkin tak akan pernah ada kalau yang namanya masyarakat tidak pintar dan tak punya kesadaran tentang arti buruk penjajahan. Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpin Bung Karno yang menggabungkan semua kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) di bawah kendali Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno Pemimpin Besar Revolusi tak akan ambruk kalau masyarakat pada masa itu masih bodoh.
Dalam satu setengah dasawarsa belakangan ini, ada kecenderungan memakai pernyataan “masyarakat sekarang sudah pintar” dimaksudkan sebagai perbandingan dengan masyarakat pada masa Orde Baru. Segeralah disadari, Orde Baru tak akan runtuh, kalau masyarakat memang “belum pintar” menjelang berakhirnya abad XX itu. Sebagian besar masyarakat sekarang adalah masyarakat pada masa Orde Baru itu, dan keadaan atau kenyataan tentang masyarakat itu sendiri tidak dapat dibicarakan dalam perbandingan “belum” dan “sudah”. Keadaan yang penuh pembatasan, tekanan, dan bahkan ancaman pada masa Orde Baru membuat orang takut kehilangan kebebasan pribadinya, dan bahkan takut kehilangan kehidupan. Jika kesadaran menjadi bangkit dan keberanian tumbuh, janganlah diartikan sebagai sudah pintarnya masyarakat itu.
Pernyataan “masyarakat sekarang sudah pintar”, pada mulanya mungkin diucapkan oleh orang yang tak paham –tetapi sok tahu– dalam menilai masyarakat itu sendiri. Kemudian secara latah sering dikutip dan diulang-ulang oleh mereka yang tidak mengerti membedakan keadaan “adanya kebebasan” dan “tidak adanya kebebasan”, orang yang tak pandai membaca kenyataan tapi berbicara sok pintar.
Arogan dan bodoh sering berbaur menjadi satu. Setiap kali saya mendengar orang berkata “masyarakat sekarang sudah pintar”, saya menyaksikan perpaduan keduanya yang betul-betul buruk pada diri orang yang mengucapkan kalimat itu.
Jangan ulangi lagi pernyataan “masyarakat sekarang sudah pintar”, karena kalimat itu menunjukkan bahwa Anda arogan dan juga bodoh.
Tulisan ini sebelumnya muncul sebagai note di akun facebook penulis pada bulan November 2014. Ada perubahan judul naskah dan struktur uraian sedikit, tanpa mengubah substansi naskah.
Add new comment