Catatan: Tulisan ini pertama muncul sebagai Note di akun Facebook Penulis.
Dua hari lalu saya membaca sebuah feature di media online yang menceritakan seorang murid kelas dua Madrasah Ibtidaiyah (setingkat Sekolah Dasar) Al-Muttaqien, di Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut, Jawa Barat yang berjualan siomay di sekolahnya. Dia hanya mendapat komisi (uang) dari hasil penjualan, dari si pembuat siomay, juragannya.
Namanya Erwin Utama. Usianya tujuh tahun. Badannya kecil. Dia menggendong pikulan siomay itu ke sekolah dan berjual-beli pada jam istirahat. Pikulan siomay itu cukup besar untuk dia. Seperti dikatakan dalam cerita itu jarak antara rumah dengan sekolahnya memang tidak terlalu jauh. Walau begitu, apa yang dilakukan si kecil ini (meringankan beban orangtuanya dalam hal biaya) adalah sesuatu yang belum seharusnya menjadi beban hidup dia. Air mata saya jatuh ke dalam ketika menyaksikan foto Erwin yang ditampilkan oleh media tersebut.
“Air mata saya jatuh ke dalam” adalah peribahasa yang sudah berpuluh tahun tidak saya dengar. Ia kembali ke dalam ingatan sehabis saya mengikuti kisah bocah kecil itu. Ketika saya masih di kampung --Payakumbuh, Kabupaten 50 Koto, Sumatera Barat-- lebih dari setengah abad yang lalu, saya sering mendengar orang-orang tua mempergunakan ungkapan “air mata saya jatuh ke dalam menyaksikan … “ (biasa juga dikatakan “jatuh ke dalam air mata saya menyaksikan …”) ketika bercerita. Kata-kata ini dipakai untuk mengungkapkan kesedihan yang amat sangat, pilu, menyaksikan (juga mengingat) keadaan buruk. Hal buruk itu bisa tentang nasib seseorang, kesengsaraan suatu keluarga, atau suasana daerah yang dilanda bencana.
Air mata jatuh ke dalam (tidak berlinang dan menetes)? Begitulah kiranya bahasa ungkapan. Tangis seperti biasa mungkin dianggap tidaklah cukup. Air mata itu tak sanggup lagi keluar, ia mengalir ke dalam, menyelusup di batin menggoreskan pilu yang bukan kepalang.
*
Dalam kebiasaan berbicara maupun dalam kegiatan menulis dewasa ini sangat mungkin peribahasa “air mata saya jatuh ke dalam” tidak lagi dikenal, seperti peribahasa pada umumnya yang redup dan sebagian bahkan padam. Akankah ia dibiarkan mati? Pertanyaan ini selayaknya dijawab dengan “tidak” atau “jangan”.
Alangkah baik dampaknya buat pelestarian bahasa Indonesia jika para penulis, wartawan, guru-guru di sekolah dan para pemerhati bahasa, menghidupkan kembali tradisi berperibahasa. Peribahasa adalah salah satu bentuk ekspresi (lisan maupun tulis) yang bernilai artistik, kuat, dan terkadang mencakup makna yang harus diterangkan dengan begitu banyak kata. Di masa maraknya penggunaan media sosial seperti sekarang, mengembangkan kembali pemakaian peribahasa agaknya akan lebih mudah, dan boleh jadi akan membawa hasil yang menguntungkan dalam memelihara kebudayaan.
Hal yang perlu diperhatikan di situ adalah “keutuhan” peribahasa. Peribahasa sama halnya dengan idiom, tidak bisa dipreteli manakala dipakai. Beberapa kata yang membentuknya harus tetap berada dalam kesatuan peribahasa itu.
Kini wartawan memperlihatkan kebiasaan mempreteli peribahasa. Salah satu contohnya adalah “bagaikan telur di ujung tanduk” (kondisi yang sangat rawan akan bahaya). Wartawan olahraga misalnya, sekarang dengan entengnya menulis “Kesebelasan X di ujung tanduk”, untuk menggambarkan posisi Kesebelasan X yang terancam tergusur dari puncak klasemen. Sebagai bahasa jurnalistik, kalimat seperti itu memang tetap dipahami publik, tetapi ia membawa kita --terutama generasi muda-- kian jauh dari akar atau bentuk asli ungkapan itu sendiri.
Air mata saya jatuh ke dalam membayangkan kehidupan Erwin sehari-hari di Garut. Adakah di antara kita sekarang yang air matanya jatuh ke dalam menyaksikan tenggelamnya salah satu pembentuk corak budaya --peribahasa-- dalam cara kita berbahasa saat ini?
Tambah komentar baru