Dalam kurun waktu setahun terakhir ini, ada enam orang yang curhat soal perkawinannya yang gonjang-ganjing dan sudah sampai pada tahap pemikiran untuk bercerai. Ada apa sebenarnya? Belasan tahun sudah mereka hidup bersama, akhirnya menyadari bahwa visi dan tujuan tidak lagi sejalur dan ingin segera berpisah, jalan sendiri-sendiri.
Menurut saya, punya pasangan menawarkan lebih banyak benefit daripada hidup sendiri, namun tidak berarti bebas dari kendala-kendala yang akan timbul sepanjang perjalanan. Adu argumentasi dalam upaya mencari win-win solution dapat membawa kedua individu menjadi lebih mengerti pasangannya dan mampu beradaptasi atau sebaliknya justru memperuncing perbedaan yang ada. Pemicu ketegangan (stressors) pada dasarnya berasal dari perbedaan karakter kedua individu dan dari sumber di luar diri mereka.
Mari kita telaah apa saja yang sering menjadi pemicu ketegangan dalam perkawinan:
1. Uang
Bertengkar masalah uang adalah poin yang paling sering timbul dan menjadi stressor utama terlebih pada zaman sekarang yang segala sesuatunya dihitung berdasarkan uang. Ga cukup makan cinta, kata orang. Ketika kepala keluarga kehilangan pekerjaan utama, ia akan menjadi lebih sensitif dan emosi cepat tersulut jika ada kejadian sepele yang berhubungan dengan uang. Ada juga pasangan yang tidak saling terbuka soal keuangan mereka. Bagi sebagian orang, kondisi seperti ini bisa diterima selama ada kesepakatan mengenai siapa yang membayar tagihan ini itu, bertanggungjawab membayar cicilan rumah atau kendaraan, atau berapa besar uang yang akan disetorkan ke rekening bersama jika keduanya bekerja dan punya penghasilan. Bagi individu yang selalu ingin tahu berapa penghasilan pasangannya dan uangnya dipakai untuk kepentingan apa saja, masalah uang akan memicu pertengkaran jika ternyata ada aliran uang yang tidak ‘dilaporkan’. Isteri yang tidak bekerja dan hanya mengandalkan uang pemberian suami, sering rikuh jika harus meminta uang ketika suami lupa atau terlambat memberi.
Belum lagi masalah uang bulanan yang diberikan kepada keluarga besar: membantu orang tua, saudara, atau keponakan. Ada teman yang memutuskan untuk tidak memberitahu pasangannya berapa total penghasilannya karena ia tidak ingin pasangannya tahu berapa uang yang ia berikan kepada ibunya atau berapa yang ia berikan untuk gereja atau kegiatan sosial lainnya. Agar pasangan tidak tahu berapa yang ia sumbang, di amplop ditulis dari NN (no name).
2. Anak-anak
Kehadiran anak biasanya memberi warna meriah dalam keluarga, akan tetapi cara mengurus dan membesarkan anak-anak sering menjadi sumber pertengkaran. Perbedaan pola asuh, tanggung jawab yang bertambah, perubahan peran menjadi orang tua, berkurangnya waktu untuk berdua sebagai pasangan. Belum lagi jika orang tua, mertua atau ipar ikut campur.
Stressor seperti ini sering luput dari prediksi sebelum punya anak. Kedua individu harus beradaptasi lagi dengan kondisi baru dengan hadirnya anggota keluarga baru tersebut. Jika suami isteri sama-sama bekerja di luar rumah, seperti kondisi yang dialami salah seorang teman saya, setiap pagi anak dititipkan pada mertua dan dijemput lagi ketika pulang kerja. Masalah timbul karena ada banyak perbedaan cara mengurus anak, jadwal dan menu makanan untuk anak, jadwal tidur, standar higienis yang berbeda. Bahkan cara membersihkan pup atau pipis anak bisa menjadi masalah.
3. Stres Harian
Setiap hari ada saja hal yang berpotensi membuat kita stres, seperti asisten rumah tangga yang lupa mengangkat jemuran, buku pe er anak yang ketinggalan di sekolah, tukang sampah yang hari ini tidak datang mengangkut sampah, supir mendadak tidak masuk kerja, dan lain sebagainya. Masalah sepele seperti ini akan memperburuk keadaan jika beberapa stressor muncul pada saat bersamaan.
4. Jadwal Yang Padat
Pasangan yang punya jadwal kerja atau jadwal kegiatan sosial yang padat, terlebih jika waktu istirahat atau jam tidur sangat kurang, cenderung menjadi mudah marah. Waktu untuk pasangan juga akan berkurang dan lama kelamaan keduanya menjadi asing satu sama lain. Setiap hari tidur di ranjang yang sama tapi hati dan pikiran terpencar.
5. Komunikasi yang Buruk
John Gottman dan tim meneliti masalah komunikasi yang buruk pada pasangan-pasangan yang baru menikah. Pada saat penelitian dan survei, mereka mampu memprediksi pasangan mana yang suatu hari nanti akan bercerai hanya berdasarkan cara mereka berkomunikasi dalam jangka waktu beberapa menit saja. Kesimpulannya, komunikasi yang buruk berpotensi merusak hubungan.
6. Kebiasaan Buruk
Kebiasaan buruk pasangan sering membuat kesal apalagi jika tidak disadari oleh yang bersangkutan sehingga dilakukan berulang kali. Kebiasaan menyampirkan baju kotor di bangku mana saja, tidak menutup laci setelah mengambil sesuatu, hobi menimbun barang, malas mandi, dan macam-macam kebiasaan buruk lainnya yang dianggap sepele namun membuat pasangan menjadi tidak nyaman karena tinggal bersama dalam satu rumah.
Poin-poin di atas nampaknya sepele dan sering dianggap bukan masalah sehingga tidak pernah dibicarakan oleh kedua individu. Rasa kesal dibiarkan menumpuk dan terus berakumulasi tanpa ada usaha menyelaraskan karena tidak menyadari jika poin itulah yang menjadi biang masalah. Ada baiknya sebelum satu masalah menggunung dan melebar ke mana-mana, ajaklah pasangan untuk berbicara dari hati ke hati.
Add new comment