Rasa bersalah timbul jika kita merasa bahwa apa yang kita lakukan atau tidak lakukan telah membuat orang lain terluka secara fisik ataupun emosional.
Rasa bersalah ini penting untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain. Orang yang tidak pernah merasa bersalah membuat kita sebal bukan? Tidak memberitahu bahwa tidak bisa datang waktu janji ketemu, membiarkan kita menunggu dan waktu kita telpon dengan tenangnya mengatakan,”Aduh, sorry ya, tiba-tiba pacarku minta ditemani makan di Kentucky.”
Bayangkan jika dia menelpon sebelum kita berangkat, “Maaf ya Rose, lain kali saja kita makan barengnya, pacarku minta ditemani karena besok dia sudah harus berangkat tugas dua minggu di Malaysia.”
Saya kenal seorang teman yang setiap kali setelah memarahi anaknya, masuk ke kamar, menangis dan membenturkan kepalanya ke dinding. Rob Nelissen dari Tilburg University di Belanda, menamakannya “Dobby Effect”. Menurutnya menghukum diri sendiri dengan cara ini bisa membuat pelakunya merasa lebih lega pada saat tidak mampu memikirkan cara lain.
Ada juga orang yang berusaha menghindar dari sumber rasa bersalahnya. Bekas suami teman saya yang mengkhianatinya, tidak pernah mau ketemu dengan teman saya lagi walau dia (si mantan suami) akhirnya tidak menikah dengan pacar gelapnya setelah mereka cerai.
Anda tentu kenal beberapa orang yang mudah sekali merasa bersalah. Rasa salah yang normal saja sudah membuat kita kepikiran terus, bayangkan jika rasa bersalah itu berlebihan, pasti sangat membuat stres.
Susah untuk mengabaikan rasa bersalah. Dan sebaiknya jangan diabaikan. Kalau kita terus berusaha membunuh rasa bersalah, kita bisa jadi orang yang mati rasa. Rasa bersalah membuat kita tidak bisa konsentrasi berpikir, bekerja, beraktivitas dan menikmati hidup.
Apa yang harus dilakukan untuk mengatasi rasa bersalah?
Minta maaf, tentu saja! Tapi ternyata minta maaf tidak selalu berhasil mengusir rasa tak tenang, karena dilakukan tanpa pengertian apa tujuan minta maaf yang sebenarnya. Kita berpikir bahwa sudah seharusnya kita minta maaf karena kita bersalah tapi kita mengabaikan, bahwa tujuan utama kita bukan agar kita terbebas dari rasa bersalah melainkan agar hati orang yang kita lukai merasa damai dan bisa dengan tulus memaafkan kita. Hanya bila dia sudah tenang dan damai, rasa bersalah kita bisa hilang. Karena itu, saat meminta maaf, fokus kita adalah perasaan orang lain itu, bukan perasaan kita.
Saat meminta maaf, selain mengucapkan kata maaf, kita harus menunjukkan penyesalan atas apa yang terjadi, menjelaskan penyebab tindakan kita, menerangkan bahwa kita mengerti akibat dari tindakan kita terhadapnya dan kemudian meminta maaf dengan tulus.
Guilt Trip
Guilt trip adalah rasa bersalah yang ditanamkan seseorang kepada orang lain dengan maksud mengontrol sikap orang tersebut. Artinya, guilt trip adalah suatu taktik manipulasi. Seorang kekasih yang merajuk kepada pasangannya yang sangat sibuk bekerja dengan mengatakan,”Kamu tak sayang padaku lagi, dulu sehari kamu bisa menelpon aku sepuluh kali, sekarang sehari kamu menelpon aku hanya sekali. Itupun hanya lima menit sebelum kamu tidur.” akan membuat pasangannya merasa bersalah dan berusaha melakukan apa yang dikehendaki oleh si kekasih. Tapi kadang guilt trip ini bisa jadi ‘senjata makan tuan’, pasangan tersebut jadi semakin malas menelpon, karena yang didengar hanya pacarnya yang mengirim dia ke “perjalanan sarat rasa bersalah”.
Guilt trip biasanya dilakukan oleh orang yang dekat satu sama lain, teman baik, sepasang kekasih, suami istri, orangtua dan anak. Walau biasanya berhasil, guilt trip sering merusak hubungan yang tadinya dekat karena bila terlalu sering diterapkan, lama kelamaan yang dimanipulasi akan semakin jengkel. Siapa sih yang suka dimanipulasi?
Hindari Guilt Trip
- Jangan menjadi pengirim guilt trip dan jangan mau menjalani guilt trip.
- Bila sakit hati, jangan membesar-besarkannya sehingga yang lain merasa bersalah dan anda ketawa dalam hati melihat dia menyesal setengah mati.
- Jelaskan bahwa anda sakit hati dengan perbuatan / perkataannya, tetapi berusaha mengerti latar belakangnya.
- Tenang dan pikirkanlah mengapa kata-kata itu terlontarkan. Pertimbangkan apakah tuduhannya benar atau tidak. Setelah tenang, jelaskan padanya apa yang anda akan lakukan agar anda dan dia sama-sama puas, tenang dan damai.
sumber : Psychology Today
Tambah komentar baru