Kapan Disebut Dewasa?

Saya menerima telepon dari guru biola anak saya pada saat anak saya itu sedang les di rumahnya. Karena katanya, mood anak saya sedang tidak baik dan sulit melanjutkan latihannya, saya meminta untuk bicara dengan anak saya. Dalam pembicaraan tersebut saya mengatakan bahwa dia sudah besar, sudah duduk di SMP. Seharusnya dia berpikir dan bertindak lebih dewasa. 

Setelah menutup telepon saya berpikir, mengapa saya meminta dia untuk berpikir dan bertindak “dewasa” pada usianya yang belum dapat disebut dewasa? Tiba-tiba saya berhadapan dengan masalah umur dan persoalan kematangan pribadi.

Sebetulnya masalah umur dan kematangan pribadi itu pula yang terlihat ketika belakangan ini media massa di Amerika Serikat dihebohkan oleh peristiwa pemerkosaan yang dilakukan seorang atlet renang, mahasiswa sebuah universitas ternama. Korbannya adalah seorang perempuan yang sedang tidak sadarkan diri. Kasus ini masuk pengadilan, dan hakim menjatuhkan vonis. Banyak orang yang marah karena hukuman yang dijatuhkan mereka anggap terlalu ringan.

Kemarahan publik makin menjadi-jadi setelah mereka membaca surat yang dilayangkan oleh bapak atlet renang ini kepada hakim. Si Bapak menyesali vonis pengadilan dan menilai hukuman itu terlalu berat bagi anaknya. Masa depan anaknya, begitu antara lain bunyi surat, hancur hanya karena “aksi 20 menit” anaknya itu. Orang marah terutama karena dalam surat yang panjang itu, tidak sekali pun si bapak menyinggung perihal korban pemerkosaan yang dilakukan anaknya. Seseorang menulis di media sosial, “Pantasan anaknya seperti itu, jika ayah yang mendidiknya seperti ini.”

Kita sering mendengar orang memuji seorang anak dengan mengatakan bahwa anak itu jauh lebih dewasa dari umurnya. Apakah memang ada patokan usia dalam menilai kedewasaan seseorang? Seseorang akan dikatakan “berani” karena ia melakukan hal yang dia yakini benar apa pun konsekuensinya. Lalu kapankah seseorang dikatakan “dewasa”?

Baik anak (si pemerkosa) maupun ayahnya menunjukkan sikap orang yang belum dewasa secara emosional. Anaknya, walau sudah berusia 20 tahun masih belum mampu mengontrol dirinya, tidak mengakui kesalahannya dan menyalahkan alkohol sebagai penyebab dia berlaku demikian. Si Ayah tidak menunjukkan karakter seorang dewasa, terlalu egois, sama sekali tidak memikirkan dampak perbuatan anaknya kepada orang lain dan hanya memikirkan dampak kejadian ini terhadap anaknya, si pelaku kejahatan.

Anak muda pemerkosa itu adalah bagian dari generasi sekarang. Generasi sekarang adalah generasi dengan tingkat pengetahuan tinggi, tetapi dengan tingkat kedewasaan emosional yang rendah. Dari segi informasi, anak-anak sekarang terpapar oleh aneka rupa informasi yang mengalir deras. Informasi masuk dari orangtua, guru, teman, tontonan dan bacaan. Ia ada di mana-mana. Mereka mendapat informasi jauh lebih banyak daripada yang didapat orangtuanya pada waktu seusia mereka. Bukan tidak mungkin sebagian anak SMP sekarang tahu lebih banyak tentang hubungan seksual daripada ibunya.

Di pihak lain, sikap orangtua yang terlalu protektif karena melihat “dunia luar penuh marabahaya” mengakibatkan perkembangan kedewasaan anak menjadi terhambat.

“Dewasa” tidak tergantung pada usia tetapi ia ditentukan oleh kedalaman pikiran seseorang.

Tanda-tanda Kedewasaan Emosional:

Terhadap diri sendiri:

1. Memiliki karakter dan prinsip yang dipakai sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan.
2. Pujian dan kritik tidak memberi pengaruh besar pada suasana hati ataupun menggoyahkan kepercayaan diri.
3. Bertanggungjawab - Bila telah memilih untuk melakukan suatu hal, mampu meneruskan hingga selesai walau sudah tidak menyukai atau tidak menikmatinya lagi. Menyadari bahwa situasi di mana kita berada sekarang adalah hasil dari keputusan yang kita ambil.
4. Menanggapi kesulitan yang ditemui dalam hidup sebagai pelajaran, dan tidak mudah putus asa - Bisa menerima kenyataan bahwa banyak hal adalah di luar kontrol kita.
5. Selalu mau belajar - Mengerti bahwa jauh lebih banyak hal yang kita tidak tahu daripada yang kita tahu. Bersedia mendengar dan merenungkan penjelasan orang lain. Terbuka terhadap pandangan yang berbeda.
6. Mengenali, mengakui dan mau berubah bila ada kesalahan. Berubah demi diri sendiri, berjanji kepada diri sendiri dan memegang teguh janji tersebut.
7. Memiliki kontrol atas diri sendiri - Disiplin dalam menjaga kesehatan, disiplin dalam bekerja. Tahu kapan saatnya beristirahat dan menikmati hidup. Mengetahui kapan harus berhenti, let go, dan kapan harus bertahan dan berjuang.
8. Mengetahui jelas tujuan hidup dan berusaha untuk mencapainya.

Terhadap orang lain:

1. Rendah hati - Rendah hati bukan dalam arti “ah… saya tidak sehebat itu…” tetapi dalam arti tidak mementingkan diri sendiri, memandang kebutuhan/kesejahteraan orang lain sama pentingnya dengan kebutuhan/kesejahteraan diri sendiri. Bisa bertenggang rasa.
2. Tahu bersyukur dan berterimakasih - Mengerti bahwa hidup kita jauh lebih baik dibandingkan dengan hidup banyak orang yang tidak beruntung di bagian dunia lain. Memberi kredit kepada orang yang lebih berhak mendapatkan pengakuan/pujian.
3. Menggunakan standar yang sama dalam menilai perbuatan orang lain dengan menilai perbuatan diri sendiri.
4. Bersikap ramah dan penuh hormat kepada orang lain tanpa membedakan penampilan fisik, usia, gender, kedudukan sosial, ataupun ras - Mengerti bahwa setiap orang berhak bahagia sebagai dirinya sendiri.
5. Jatuh cinta pada kepribadian dan cara berpikir seseorang, penampilan fisik bukan hal yang utama.

Dewasa

Bertanggung jawab, memiliki kontrol atas diri sendiri, mengakui kesalahan, selalu bersikap ramah dan penuh hormat kepada orang lain…. sepertinya sangat sulit dan no fun… Mungkin itu sebabnya banyak orang menyukai kisah Peter Pan karangan J. M. Barrie. Peter adalah seorang anak laki-laki yang tidak bisa tumbuh, selamanya adalah anak-anak. Dia tidak bisa menghormati perasaan orang lain, angkuh, bertindak tanpa berpikir, pelupa, dan egois. Peter Pan memiliki karakter seseorang yang belum dewasa.

Pada akhir cerita, sahabat Peter Pan, Wendy dan adik-adiknya --yang dibawa Peter ke Neverland, tempat dia tinggal-- serta anak-anak lain memutuskan pulang ke rumah dan tumbuh normal. Peter memilih tinggal tapi tetap mengunjungi Wendy. Setiap kali dia melihat Wendy tumbuh dewasa, dia merasa sedih dan berharap dapat mengerti apa yang dikatakan Wendy kepadanya. Pada akhirnya, Peter hanya bisa meniup serulingnya seorang diri.

Karakter Peter Pan pertama ditulis oleh Barrie pada tahun 1902 dalam buku “The Little White Bird”. Kini, setelah lebih dari satu abad, kisah Peter Pan masih terus hidup. Bertentangan dengan karakter Peter yang selalu bertindak tidak dewasa, Barrie menunjukkan bahwa menjadi dewasa adalah lebih baik. Pada tahun 1929 ia menghibahkan hak cipta kisah Peter Pan kepada Rumah Sakit Anak paling terkenal masa itu, The Great Ormond Street Children’s Hospital, London. Dia tahu ada banyak orang lain di luar dirinya yang membutuhkan bantuan. Nama J. M. Barrie dikenang selamanya dalam sejarah literatur Barat.

SaveSave

Tambah komentar baru

Teks polos

  • Tidak ada tag HTML yang diperbolehkan.
  • Baris dan paragraf baru akan dibuat otomatis.

Baca juga tulisan sebelumnya:...

Rose Chen

Hari pertama di Chiang Mai dimulai dengan shopping di Maya Lifestyle Shopping Center...

Rose Chen

Pulau Keelung (Keelung Islet) adalah pulau kecil yang terletak lima kilometer dari...

Rose Chen

Di Taiwan sayur paku sarang burung adalah kegemaran orang lokal. Biasanya mereka tumis dengan...

Rose Chen

Mungkin banyak yang belum pernah makan umbi bunga lily (bunga bakung). Umbi bunga lily bisa...

Rose Chen