KITA lebih suka membuat anak-anak Indonesia mengenal bangsa dan negeri asing, lewat pertukaran pelajar atau mahasiswa, misalnya, tetapi tidak merasa perlu membuat mereka mengenal Indonesia yang bukan kampung halaman dan bukan masyarakat tempat mereka dibesarkan. Tidak pernah ada kelompok pelajar Jawa Barat dititipkan dan menetap--boleh jadi selama enam bulan--di Sumba, atau pelajar Ambon dititipkan dan tinggal sementara waktu di Banten.
Tak ada anak-anak Yogyakarta yang dikirim ke sekitar Danau Toba, dan anak-anak Aceh tidak mengenal serta tidak merasakan hidup sementara di Minahasa. Mereka dibiarkan menjadi dewasa sebagai orang yang menyimpan persepsi dengan stereotype bersifat negatif tentang masyarakat yang lain yang terbentuk bukan atas pengenalan tentang Indonesia yang bukan dirinya.
Indonesia miskin akan ide untuk membangun kesadaran tentang kesamaan dalam perbedaan buat mengikat bangsa ini dalam satu kesatuan. Kita menelantarkan fondasi Bhinneka Tunggal Ika yang oleh sebagian orang dinilai tengah dalam proses pelapukan, atau luntur.
Tetapi benarkah penghayatan atas kebinekaan itu luntur? Mungkin tidak. Boleh jadi “warnanya” dari dulu tak pernah pekat. Kecemburuan ras, ketidaksukaan bernuansa suku, dan konflik bernuansa agama bukanlah cerita baru. Selepas masa penjajahan kita sibuk menarik garis pembeda antara “aku” dan “kami” dengan “kamu”, antara “kita” dengan “mereka”, yang membuat setiap dekade yang dilewati diwarnai rapuhnya persatuan.
Indonesia melintasi 1950-an dengan pertikaian politik. Kegagalan Konstituante merumuskan konstitusi baru antara lain pun dilatarbelakangi ketidaksepakatan antara pendukung Pancasila dengan pendukung syariat Islam sebagai dasar negara. Juga ada ketegangan pusat dengan daerah. Dekade 1960-an diwarnai kerusuhan rasial di beberapa kota. Dasawarsa 1970-an sama saja. Hanya larangan terhadap media massa untuk melaporkan peristiwa bersifat konflik bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang membuat berbagai kejadian itu tidak berkembang luas sebagai issue. Orde Baru meniadakan gejolak api dengan cara mengubur bara, dan untuk selanjutnya terpelihara sebagai api di dalam sekam.
Setelah Orde Baru runtuh dan peran negara dalam memelihara keamanan serta ketertiban melemah, berletupan berbagai konflik berlatar agama, suku, kedaerahan, dan antarkelompok sosial. Semuanya menunjukkan bahwa interaksi antarkelompok di dalam masyarakat kehilangan rasa hormat dan toleransi. Desentralisasi kekuasaan berkembang ke arah bernafsi-nafsi. Terbitnya peraturan berbasis syariat di beberapa daerah menjadi hal yang biasa. Ketika kewibawaan negara sebagai penjaga keamanan dan ketertiban merosot, kehadiran organisasi massa berdasarkan agama dan etnis seakan-akan menjadi otoritas baru yang lebih dominan dari otoritas negara.
Tidaklah mudah untuk menjawab, apakah Sumpah Pemuda (1928) hanya efektif menyatukan Indonesia ketika berhadapan dengan penjajah. Tapi sudahlah pasti, belum satu pemerintahan pun di Indonesia yang punya kebijakan jelas, berkelanjutan, dan jitu dalam membangkitkan kesadaran akan kebersamaan dalam kebinekaan, lebih dari sekadar mantra “NKRI adalah harga mati.”
Ada tiga periode pemerintahan yang dapat membuka sekat yang membuat masyarakat Indonesia terkotak-kotak, sebelum Sumpah Pemuda berusia satu abad. Hendaknya kelak, peringatan 100 tahun Sumpah Pemuda dilakukan oleh masyarakat yang menghayati kebinekaan sebagai warna-warni yang harmonis dalam satu kesatuan. Kabinet Presiden Joko Widodo baru berumur satu hari. Alangkah baiknya dia mulai bekerja dengan kesadaran bahwa kerapuhan maupun pelapukan fondasi kesatuan Indonesia itu harus dicegah, lewat program yang menyentuh nalar dan perasaan manusia Indonesia, bukan dengan slogan serta simbol yang sama sekali tak berhasil mengubah perilaku.
Catatan: Tulisan ini pertama muncul di halaman Editorial Prisma pada tanggal 28 Oktober 2014.
Tambah komentar baru