April memang waktu yang tepat untuk bepergian. Udara sejuk awal musim semi dengan matahari yang bersinar lembut, bunga-bunga yang bermekaran. Bahkan di negara tropis juga, udara masih bersahabat.
Tahun lalu, saya dan Karin, putri kedua saya, berkeliling Eropa selama satu bulan. Perjalanan ini merupakan perjalanan terlama saya, dengan negara terbanyak yang dikunjungi. Total ada 10 negara dan 12 kota, dimulai dari London (Inggris), Amsterdam (Belanda), Berlin (Jerman), Prague (Chekoslovakia), Budapest (Hungaria), Vienna (Austria), Venezia (Itali), Milan (Itali), Normandy (Perancis), Luxembourg (Luxembourg), Brussels (Belgia) dan berakhir di Bournemouth (Inggris).
Terlalu ambisius sebenarnya dengan waktu sesingkat itu menjelajahi 12 kota. Sebelum berangkat kami membagi tugas, saya mencari akomodasi sementara Karin membooking dan membeli tiket kereta api untuk keseluruhan perjalanan setelah itinerary selesai dibuat. Kami membutuhkan hampir dua minggu untuk mempersiapkan itu semua di sela kesibukan belajar Karin dan pekerjaan saya.
Akhirnya visa Schengen saya keluar dua minggu sebelum berangkat, sedangkan visa Karin tiga hari sebelum berangkat baru selesai.
Saya percaya kota-kota yang kami kunjungi ini sudah tidak asing lagi bagi sebagian orang, namun ada banyak kejadian selama perjalanan yang memberi kenangan indah dan bernilai sebagai pelajaran hidup bagi kami.
Kenangan saya berawal saat saya sedang duduk sendirian di keramaian Changi Airport. Saya sudah terdampar di sini sejak delapan jam yang lalu, menanti panggilan boarding menuju Dubai, dan akan tiba di London keesokan paginya. Sepertinya penerbangan malam ini tidak begitu ramai, hanya ada segelintir orang menunggu dengan keasikan masing-masing. Tak ada yang mengobrol, wanita India di sebelah saya meringkuk kedinginan sambil menahan kantuk. Untunglah semuanya berjalan lancar mulai dari checkpoint imigrasi, pengambilan bagasi, hingga saya duduk dalam bus National Express. Dua jam lagi baru sampai di kota Bournemouth (Inggris Selatan) dimana Karin sudah menunggu. Tanpa sadar saya tertidur dan terbangun tiba-tiba dalam keheningan yang dalam, bahkan dering telepon atau suara bisik-bisikpun tidak ada. Supir seakan membawa bus tanpa penumpang. Saya merinding dan memutuskan untuk tidak tidur lagi.
Bournemouth, United Kingdom
Ditunjuk sebagai World Heritage Site tahun 2001, kota ini terletak 151 km selatan London, dengan garis pantai sepanjang 155 km yang membentang mulai dari Sandbanks sampai Pelabuhan Christchurch.
Sinar matahari panas menembus jendela pagi ini. Hari yang menyenangkan. Saya merasa segar kembali setelah tidur lelap hampir 10 jam. “Mama mendengkur luar biasa,” kata Karin. Haduh Karin, seperti biasalah…
Kami menuju kota dan berusaha melewatkan waktu dengan santai, duduk di taman melihat orang lalu lalang. Kebetulan hari ini weekend, ditambah matahari yang bersinar cerah, angin yang masih cukup dingin, dan liburan paskah, jadi tak heran jika taman kota cukup ramai. Ada remaja ngamen dengan keyboard dan boneka monyetnya yang bisa menari sesuai irama lagu. Anak-anak bermain skateboard, carousel berputar-putar menunggu tumpangan, balon udara naik turun mengantar penumpang yang ingin melihat kota Bournemouth dari atas. Manusia dari berbagai suku bangsa lalu lalang di depan kami. Sementara kami lebih suka duduk menikmati musik gratis dari pengamen keyboard sambil melepaskan pikiran kami mengembara sendiri. Setiap kota, setiap tempat, setiap kehidupan memiliki ceritanya sendiri.
Sallisbury, United Kingdom (Stonehenge)
Dari pusat kota kami naik bus X3 ke kota Sallisbury melewati padang rumput yang luas dengan domba, kuda dan sapi yang asik merumput. Bunga dan dedaunan hijau muncul dimana-mana membuat pemandangan jadi lebih indah. Setelah lebih kurang satu jam kami diturunkan di halte bus pusat kota Sallisbury. Kami harus mencari halte bus khusus untuk tour Stonehenge.
Semua informasi tertulis jelas di halte; nomor, jadwal, dan rute bus. Traveling terasa begitu mudah di sini. Bus berjalan sesuai jadwal, walaupun hanya kami berdua penumpangnya. Alhasil, dengan £56 kami mencarter bus pariwisata bertingkat dua ke Stonehenge.
Pemandangan di sini lebih menakjubkan lagi. Sejauh mata memandang, yang terlihat adalah hamparan rumput hijau dan lautan bunga kuning. Dikombinasikan dengan langit biru cerah dan sinar matahari terlihat bagai sebuah lukisan yang sempurna.
Hingga saat ini, setelah 4.500 tahun Stonehenge berdiri, para arkeolog belum berhasil menemukan tujuan didirikannya tumpukan batu raksasa yang disusun berkeliling searah dengan matahari terbit itu. Berbagai dugaan muncul, seperti kuil, pemakaman, tempat berkumpul dan sebagainya. Ada juga yang menduga bahwa tumpukan batu itu sebenarnya hanya sebuah keisengan belaka, tanpa maksud apa pun. Who knows? Kejadiannya sudah 4.500 tahun yang silam. Terletak di tengah-tengah padang hijau tidak berpenghuni, peninggalan sejarah yang kami saksikan hari ini tinggal reruntuhan dan hanya tersisa separuhnya. Bukan tidak mungkin satu hari Stonehenge akan lenyap sama sekali.
Tempat ini benar-benar tidak berpenghuni dan kami lalai memperhatikan bahwa supir bus tadi sudah berpesan, dua kali malah, bahwa bus terakhir adalah jam enam sore. Ketika kami kembali ke halte bus pada pukul 6.15 (untuk ke lokasi Stonehenge berdiri kami harus ganti bus yang lebih kecil lagi selama 10 menit), tentu saja tidak ada lagi bus yang datang.
Dengan panik kami mendatangi museum yang bangunannya hi-tech, bergaya minimalis dan penuh rasa seni. Petugas menyarankan kami untuk memanggil taksi ke pusat kota Sallisbury.
Taksi ke Sallisbury | £25 | Rp. 500.000,00 |
Bus x3 pp ke Ringwood (satu kota sebelum Bournemouth)
|
£17 | Rp. 340.000,00 |
Taksi dari Ringwood | £25 | Rp. 500.000,00 |
Tour ke Stonehenge | £56 | Rp. 1.120.000,00 |
Alhasil, ini adalah tour termahal, hanya untuk menyaksikan susunan batu yang bisa jadi didirikan tanpa maksud apa pun. Tapi begitupun, Stonehenge bagi saya tetap worth to visit. Sebuah warisan budaya yang satu hari nanti, entah kapan, mungkin hanya akan tinggal nama saja.
Amsterdam, Belanda
Kota dengan banyak julukan karena berbagai kekhasannya; kincir angin, sepeda, kanal, tulip, cannabis coffee shop.
Pagi begitu dingin ketika kami sampai di terminal bus yang lebih tepat disebut lapangan parkir. Tidak ada abang-abang yang berteriak “Sambu, Sambu…!” atau “Gambir… Gambir!” atau ibu-ibu dengan tampah dikepalanya menawarkan telur rebus, kacang, jengkol. Bahkan anak-anak ngamen dengan lagu yang tidak jelas pun tak ada. Sepi… Yang ada hanyalah penumpang bus dari London yang turun kebingungan setelah sepanjang malam diayun bus dan dibawa ferry menyeberangi selat. Juga tidak ada antrian stempel paspor kecuali tadi malam di Dover, Inggris.
Turis-turis seperti dilempar keluar dari pesawat luar angkasa. Semua serentak menuju halte, membaca dan mencoba memahami dengan sia-sia apa yang tertulis di papan jadwal. Tidak lama kemudian, seorang petugas keluar dan menghalau kami ke halte tram di seberang sambil berteriak : “Ticket buy on tram..”
Seperti rombongan anak ayam semua dengan patuh menuju halte tram di seberang.
Tiket tram €2,8 sekali jalan. Bisa pilih yang satu jam atau seharian. Jangan lupa check in dan check out tiket. Semua berpusat di Amsterdam Central Station, kita mau pergi ke mana tinggal pilih. Ternyata traveling di Amsterdam begitu mudah. Bebas dan gampang…
Keukenhof atau Zaanse Schans ? Kami harus pilih salah satu. Tulip tidak ada sepanjang waktu, tapi rumah dengan kincir angin tetap berada di sana sepanjang musim. Ok, Keukenhof saja. Satu jam naik kereta ke Leiden. Masih di pertengahan perjalanan saja sudah terlihat hamparan tulip beraneka warna bagaikan permadani, kadang seperti pelangi di kejauhan. Ya Tuhan, apalagi yang bisa seindah ini?
Tiket bus Keukenhof dijual di toko buku di depan stasiun Leiden. €23 pulang pergi plus tiket masuk. Sebaiknya kita menyiapkan waktu seharian di sini. Walaupun di sini banyak dijual makanan dan minuman, tapi membawa bekal sendiri terasa seperti piknik di masa kecil; ngemil sambil melihat aneka ragam bunga. Anak-anak mengelus sapi yang duduk malas, mengejar ayam dan kalkun yang akan disembelih November yang akan datang pada Hari Thanksgiving. Bagi yang sedang honeymoon, naik boat menyusuri kanal mengelilingi ladang tulip pasti terasa romatis sekali. Sekedar melihat turis berfoto-ria pun merupakan hiburan tersendiri.
(Turis Cina paling suka berfoto di kerumunan bunga, sampai dibela-belain untuk masuk ke semak-semak. Turis Jepang suka duduk di kursi taman, kalau turis bule cukup satu kali shoot tapi mantap. Kalau foto berjongkok di kerimbunan tulip itu adalah pose semua orang.)
Sisa waktu setengah hari kami habiskan dengan naik boat menyusuri kanal. Umumnya rumah di Amsterdam berusia ratusan tahun. Tangga mereka sempit dan curam, karena itu selalu ada hook di depan rumah untuk mengangkat perabotan dan memasukkannya lewat jendela. Bentuk rumah mereka mengingatkan saya pada gingerbread cookies waktu Natal. Selama satu jam kami dibawa keliling kanal. Boat trip tersedia di sepanjang jalan depan stasiun pusat.
Suasana di pusat kota ramai sekali walau udara dingin menusuk. Malam ini ada pertandingan bola kaki antar kesebelasan lokal Amsterdam. Para fans klub membuat parade dengan yell-yell dan tabuhan drum. Kelompok yang lebih besar membakar petasan. Di belakang mereka terlihat polisi mengawal dengan senapan. Sesekali tercium bau rokok yang tidak biasa dari coffee shop di pinggir jalan. Banyak toko yang menjual magic mushroom atau permen/coklat cannabis yang legal di Amsterdam. Kami hanya membeli kentang goreng manneken pis yang dimakan dengan aneka saus yang bisa kita pilih. Ada saus kacang, saus keju, saus cabai dan sebagainya. Dengan cara baru menikmati kentang goreng ini, kentang goreng biasa di kampung halaman terasa kuno.
Tambah komentar baru