Restoran favorit kami menyediakan seven course dinner. Artinya ada tujuh jenis makanan yang disajikan tidak sekali gus dan dalam porsi kecil-kecil. Tidak semua restoran menyajikan seven course ini dengan urutan yang sama. Hidangan pertama restoran yang biasa kami kunjungi adalah appetizer, hidangan pembuka berupa makanan kecil yang dilanjutkan dengan antipasto (antipasto berarti “before the meal”). Hanya setelah kita menghabiskan antipasto kita, baru course berikut disajikan, yaitu salad pilihan kita. Setelah salad, menyusul sup. Kita bisa memilih sup bening atau sup kental. Setelah sup ludes dan mangkuk kecilnya dibawa pergi, baru keluar main course. Biasanya bagi yang tidak biasa makan banyak, sudah mulai merasa kenyang bahkan sebelum main course disajikan. Dessert (cuci mulut) kemudian dihidangkan yang dilanjutkan dengan minuman ringan.
Bila kita makan satu jenis makanan yang sama dalam jumlah yang banyak, kita akan merasa bosan, tidak terasa enaknya lagi, karena itulah di restoran seven course meal ini, makanan disajikan dengan porsi yang rasanya lebih cocok untuk makanan anak-anak. Meskipun begitu, karena bukan hanya satu jenis saja, akhirnya toh sangat mengenyangkan.
Rose, katamu kita hanya merasa makanan enak kalau disajikan dalam porsi kecil, mengapa ada makanan tertentu yang kalau kita makan rasanya tak bisa berhenti, seperti kacang tojin, keripik kentang, popcorn, segala macam kerupuk, goreng-gorengan dan lain-lain?
Kalau kita memperhatikan jenis makanan yang disebut itu, ternyata semuanya adalah makanan yang renyah (garing). Makanan renyah…bayangkan saja, waktu mengucapkan kata “re - nyah”, kita sudah merasakan / membayangkan enaknya me - ngu - nyah yang re - nyah itu, bukan? Suara yang ditimbulkan bergabung dengan rasa makanan tersebut membuat kita tidak cepat bosan.
Makanan renyah biasanya ringan, tidak cepat membuat kenyang, karena itu kita cenderung terus makan sebab tidak merasa kenyang. Selain itu waktu mengkonsumsi makanan renyah seperti ini terasa santai, mungkin sambil nonton, membaca atau bercerita ngalor ngidul dengan teman, tak terasa tempat sampah sudah penuh dengan bungkus keripik kentang.
Di iklan-iklan maupun resep-resep yang bertebaran di internet, kata-kata: crispy, renyah dan garing selalu menarik minat. Apakah enaknya makan kerupuk yang sudah melempem? Apel yang tidak garing? Crackers yang sudah “masuk angin”? Sayur mentah yang kurang segarpun akan kehilangan kerenyahannya. Buncis yang dimasak dengan cara yang kurang tepat akan kehilangan kerenyahannya dan tidak enak lagi bagi penikmat kuliner.
John S. Allen, seorang peneliti dari University of Southern California menulis dalam bukunya “The Omnivorous Mind: Our Evolving Relationship With Food” bahwa manusia menyukai makanan yang renyah sejak zaman purbakala. Menurutnya, kemungkinan besar, makanan utama manusia zaman purba terutama adalah serangga. Zaman sekarang, di banyak daerah di dunia ada pemakan serangga, misalnya India. Di Indonesia, belalang goreng adalah oleh-oleh utama dari Gunung Kidul.
Natural Gourmet Institute di NYC mengajarkan bahwa keinginan makan makanan berlemak berawal dari kesedihan sedangkan keinginan makan yang renyah adalah dari kemarahan dan kegelisahan. Well, saya pikir sedikit banyak ada benarnya. Bayangkan perasaan yang melegakan di saat anda menggigit sekeping kerupuk dengan kuat: KRIIUUKKKK! KRIUK! KRESSS! KRESSS!
Saya pribadi sangat menyukai bunyi yang dihasilkan ketika di musim panas, sepatu saya menginjak daun kering yang diterbangkan angin dan jatuh di jalan yang saya lalui. Mungkin bagi banyak orang bunyi saat mengunyah makanan yang renyah sama mengasyikkannya dengan perasaan saya waktu menginjak daun kering itu. KRESSSS!!!
Sumber: PopMatters
Add new comment