Anak saya ingin tahu, bagaimana buku dibuat. Pertanyaan seperti ini biasanya lebih banyak diutarakan anak-anak daripada orang dewasa. Bukan karena kita sudah mengetahui lengkap proses pembuatan buku dan segala hal yang berkaitan dengannya, tapi lebih karena kita lebih mengutamakan menikmati buku itu, atau mungkin tidak (menikmatinya).
Walau banyak buku pelajaran anak-anak yang akhirnya di-recycle karena pertimbangan keterbatasan ruang, saya selalu berusaha untuk tidak membuang buku. Dengan kemajuan tehnologi dan munculnya buku elektronik, saya semakin jarang membeli buku. Bagi orang yang suka membaca, buku tradisional yang terbuat dari kertas mungkin tidak dapat digantikan oleh buku elektronik. Alasan yang diberikan bervariasi mulai dari mata yang lebih nyaman membaca buku tradisional, perasaan tertentu sewaktu membalik halaman kertas, hingga “bau” buku yang khas yang tidak dapat ditemukan bila membaca dengan ereader.
Secara sederhana, pembuatan buku mencakup pembuatan tiga jenis bahan, kertas, tinta dan perekat (lem).
Bahan utama pembuatan kertas adalah pulp kayu, tetapi bisa juga dari kapas atau tekstil. Zat kimia seperti natrium hidroksida atau biasa disebut soda kaustik / soda api ditambahkan untuk meninggikan pH pulp dan membuat serat pulp mengembang. Serat ini kemudian diputihkan dengan hidrogen peroksida, lalu dicampur dengan air yang telah diberi berbagai bahan kimia lain seperti AKD (alkyl ketene dimer) yang berfungsi agar kertas lebih tahan air. Bahan kimia yang dipakai dalam proses pembuatan kertas, tinta dan lem inilah yang membuat aroma khas buku baru. Bahan kimia yang berlainan membuat setiap buku baru memiliki aroma yang berlainan pula.
Buku dan dokumen tua perlu dilestarikan. Untuk itu perlu diketahui usia dan bahan pembuat buku tersebut. Cara yang dipakai dulu adalah dengan mengambil sampel dari dokumen dan mengujinya dengan alat laboratorium, tetapi sekarang para ahli menekankan pentingnya untuk tidak merusak dokumen. Karena itu, mereka menggunakan gas yang dihasilkan oleh buku dan dokumen tua tanpa mengganggu fisik dokumen.
Matija Strlic, ahli kimia dari University College London yang memimpin penelitian terhadap buku tua, mengatakan aroma khas yang tercium sewaktu kita membalik halaman buku tua dihasilkan oleh ratusan senyawa VOC (volatile organic compound = senyawa organik yang mudah menguap) di dalam lembaran buku, tinta dan lem, yang seiring berjalannya waktu, terpecah dan melepaskan zat kimia ke udara. Matija Strlic mengatakan, umur buku dan dokumen tua dapat diperkirakan dari aromanya.
Dari 72 buku tua yang dianalisa, mereka menemukan 15 jenis VOC yang terurai lebih cepat dari VOC lainnya. Tahun 2009, hasil penelitian mereka diterbitkan dalam “Analytical Chemistry”. Kini para ahli menggunakan 15 jenis VOC itu sebagai marker dalam memperkirakan seberapa jauh penuaan kertas untuk mengoptimalkan pelestariannya.
Perpustakaan tua dan toko buku bekas memiliki aroma tersendiri. Hal ini dikarenakan buku yang lebih modern proses pembuatannya berbeda dari buku yang diproduksi seabad yang lalu. Pembuatan buku modern menggunakan kertas bermutu tinggi yang tidak mengandung lignin. Kertas dari pulp kayu mengandung selusosa dan lignin. Lignin adalah zat pengikat serat selulosa agar batang kayu pohon lebih keras. Proses oksidasi menyebabkan lignin terurai menjadi asam yang memecah selulosa dan mengakibatkan buku lama menguning. Selusosa dalam buku modern juga bisa terurai karena adanya asam di udara sekitar, walau jauh lebih lambat. Reaksi inilah yang menghasilkan VOC dan memberi bau khas buku-buku tua.
Aroma buku tua, adalah gabungan wewangian senyawa benzaldehid (aroma almond), vanillin (harum vanila), ethyl benzene dan toluene (aroma manis), dan 2-etil heksanol (harum bunga). Selain itu masih banyak aroma lain yang tidak setajam aroma zat-zat ini. Buku juga bisa mempertahankan aroma yang diserapnya selama perjalanan “hidup”nya seperti asap rokok, kopi dan harum kelopak bunga yang dijepit antara halamannya.
Sumber:
Add new comment