Sebelumnya: Melapor
Mobil tua itu adalah satu-satunya mobil yang membawa penumpang umum masuk ke desa S tempat saya bekerja sebagai dokter pegawai tidak tetap (Dokter PTT). Setiap trip jumlah penumpang yang diangkut pasti melebihi kapasitasnya -kadang hingga tiga kali lipat-, belum lagi barang bawaan. Waktu berangkat tidak tetap, sesuka hati pemiliknya —Pak Bollang— yang sangat baik dan humoris.
Mobil Pak Bollang selalu berhenti di depan warung Pak Munthe (dekat simpang jalan lintas Sumatera) yang terkenal dengan sup iga sapinya. Awal rute: Warung Pak Munthe. Akhir rute: Warung Pak Lubis (desa S). Barang bawaan saya tidak begitu banyak karena saya akan menumpang di rumah dinas Kepala Puskesmas (Kapus) sebelum menemukan rumah untuk disewa atau dikasih rumah dinas.
Takut perjalanan akan sangat lama, saya makan nasi dengan sup iga sapi dulu. Betul … sangat enak, tapi sambalnya terlalu pedas bagi lidah saya. Selesai makan, saya ke kamar kecil yang tidak kecil sama sekali. Di dalamnya ada sumur, beberapa ember plastik hitam besar dan di salah satu sudut ada lubang kecil di tengah dua batu pipih sebagai tempat kaki berpijak bagi yang hendak jongkok membuang zat-zat toksik dari tubuhnya. Dinding, atap, dan pintunya dari seng bekas —peot-peot dan karatan. Sebagian dindingnya tidak mencapai atap. “Kunci” pintu kamar “kecil” terbuat dari kayu segi empat kecil berukuran sekitar 7x3 cm. Bukan pemandangan luar biasa.
Perjalanan pertama saya dengan mobil Pak Bollang cukup lancar. Selain jalan yang —menurut saya— lebih sulit dari arena rally, tidak ada hambatan yang berarti. Mungkin karena beberapa hari tidak hujan membuat jalan tidak teramat becek dan “danau-danau perangkap” tidak begitu banyak.
Kapus saya sangat baik dan senang menerima saya. Rasanya bekerja di sini bakal menyenangkan. Saya memang begitu, hal-hal kecil sudah bisa membuat saya gembira. Sayang kegembiraan saya tak berumur panjang.
Keesokan harinya saya mulai sakit perut dan mencret. Malamnya mulai ada darah dalam tinja. Kamar mandi Kapus terletak di luar rumah dinas. Di desa ini belum ada listrik dan air bersih dari PDAM. Setiap beberapa jam saya harus membawa senter keluar rumah dari pintu belakang untuk ke kamar mandi. Bagian belakang rumah dinas hanya dibatasi halaman sekitar 3 meter dan pagar bambu dengan hutan. Saya takut, bukan takut gelap, atau hantu, atau hutan, atau binatang hutan… Saya takut karena saya tahu saya diserang disentri, bukan hal yang saya harapkan, bukan hal yang mencengangkan, tapi sebagai dokter, cukup memalukan.
Selanjutnya: Rendang Asli
Add new comment