Rendang Asli

Sebelumnya: Sup Iga Sapi dan Disentri

Di pusat desa tempat saya bertugas sebagai dokter PTT ada satu masjid, satu warung (Pak Lubis), satu kedai sampah (Pak Mul), satu penjahit (Pak Par), dan duapuluhan rumah penduduk. Semua bangunan ini berjajar seperti sisi satu persegi panjang dengan lapangan di tengah yang berfungsi sebagai “pasar” di hari pekan. Selain petugas kesehatan, penduduknya hampir semua adalah petani atau penderes karet. Hanya ada satu guru. 

Tinggal sementara di rumah dinas Kapus mengingatkan saya pada masa co-schap. Saya dan banyak teman lain tinggal di asrama Rumah Sakit Umum Pematang Siantar. Saya sekamar dengan teman akrab saya yang orang Medan. Dia sering mendapat kiriman makanan dari kakaknya. Buah, bumbu pecal, dan entah apalagi. Mungkin karena dia mengeluh makanan rantangan kami tidak enak. Sebagai teman sekamar saya tentu ikut ketiban rezeki. 

Kadang-kadang Kapus juga mendapat kiriman makanan dari Bundanya. Pertama kali saya ikut melihat dia membuka kotak kiriman itu, perasaan saya jauh lebih antusias dari waktu teman saya menerima kiriman dari kakaknya. Bagaimana tidak? Setiap hari di desa itu kami hanya makan daun singkong rebus, rimbang rebus, sambal, dan ikan asin. Kapus membuka tutup satu kaleng bekas susu bubuk. Saya dan pembantunya melongok ingin tahu isinya. “Waaah! Rendang!” Mereka berdua ketawa dengan riangnya seperti anak kecil mendapat permen. Saya melongo saja melihat isi kaleng yang terlihat seperti tanah. Hitam. Rendang yang pernah saya makan penampilannya tidak seperti itu. Rendang yang biasa saya makan lebih “basah”, tidak sekering dan sehitam ini. Waktu makan malam saya tidak menyentuh “tanah” itu. 

“Makanlah rendangnya, Ros. Jangan segan-segan.” 
“Mengapa rendangnya hitam sekali?” 
“Ini rendang Padang, Ros. Cobalah.” 

Saya mencoba sepotong kecil. Oh … Mama! Ada surga dalam mulut saya! Sejak itu saya harus menahan diri untuk tidak mengambil lebih banyak dari yang dimakan Kapus. 

Rendang
Catatan: Ini bukan foto rendang yang dikirim Bunda Kapus.

Kedai sampah Pak Mul memang buka setiap hari tapi tidak banyak yang bisa dipakai untuk memperkaya variasi menu harian. Hanya di hari pekan kita bisa “berpesta”. Di hari istimewa itu penduduk dari desa-desa sebelah datang membawa dagangan mereka. Tidak banyak karena mereka harus berjalan kaki berjam-jam untuk mencapai desa S. Dagangan mereka kalau tidak dijunjung di atas kepala, tentu digendong dengan selendang. Hanya pada hari pekan, warung Pak Lubis menyediakan gulai ayam, dan kadang-kadang gulai ikan Mas juga. Bu Sum menjual lontong sayur dan pisang goreng. 

Jadi saya makan lontong sayur sekali seminggu. Di pasar ada penjual ikan dengan kotak berisi ikan di boncengan sepeda motornya yang datang dari kota. Apa ikannya segar? Jangan ditanyalah. Digelar di atas tikar, ada daun singkong, rimbang, daun pepaya, dan bayam kampung. Kacang panjang, terong, dan kangkung hanya ada sedikit. Kalau tidak mau kehabisan, saya harus ke pasar pagi-pagi. Saya tidak pernah menemukan kol. Buah-buahan hanya ada pisang, jambu air, manggis, langsat. Pernah sekali waktu saya melihat bawang putih. Rasanya seperti menang lotere walau hanya ada beberapa siung. Saya bilang, mau beli semua. Si penjual menatap saya beberapa detik sebelum bertanya, “Semuaaaaa? …. Semua!?”

Baca lanjutannya: Rumah Dinas (Bagian 1)

Tambah komentar baru

Teks polos

  • Tidak ada tag HTML yang diperbolehkan.
  • Baris dan paragraf baru akan dibuat otomatis.

Awal Maret 2024, untuk merayakan 30 tahun pernikahan kami, saya dan suami memutuskan untuk...

Rose Chen

Baca juga tulisan sebelumnya:...

Rose Chen

Hari pertama di Chiang Mai dimulai dengan shopping di Maya Lifestyle Shopping Center...

Rose Chen

Pulau Keelung (Keelung Islet) adalah pulau kecil yang terletak lima kilometer dari...

Rose Chen

Di Taiwan sayur paku sarang burung adalah kegemaran orang lokal. Biasanya mereka tumis dengan...

Rose Chen