Buku “Kwatrin untuk Kekasih” oleh Waluya Ds sebaiknya dibaca dan dimiliki setiap pecinta puisi, terutama yang sedang dimabuk asmara. Siapa yang tidak pernah dimabuk asmara? Cinta tetap ada, cinta yang menanti, cinta yang merana, cinta yang mati, cinta yang hampa, cinta yang dibalas, cinta yang dipelihara, cinta yang bahagia, dan yang bahagia karena cinta.
Pertama kali membaca puisi yang terhimpun di dalam “Kwatrin untuk Kekasih” membuat saya merasa bagai berada dalam mesin teleportasi. Satu saat saya adalah gadis desa yang sedang mandi di sungai, sekejap kemudian saya sedang shopping di mall yang ramai. Kadang-kadang saya berada di puncak gunung pada malam hari, sunyi sepi meresapi puisi, hanya berteman sesal dan mimpi. Saat terlelap, tiba-tiba saya terbangun di taman katedral, memandangi teman dan keluarga, merayakan pesta nikah. Pengantinnya adalah saya!
Perasaan dalam dada bagaikan perahu kecil dimainkan ombak. Puisi-puisi Waluya Ds mampu menggetarkan sukma, mengombang-ambingkan jiwa. Sedih, sendu, rindu, pilu, menunggu, terharu. Semuanya menyelinap di sela-sela gelora, gembira, sumringah; amarah, membara, terlena, dan terpana…
Syair “Saat Malam Menebarkan Wangi” membuat saya serasa mencium semerbak harum bunga sedap malam. Semua puisi pilihan yang termuat dalam buku ini lirih bersenandung bagi yang mendengar, seperti dalam “Ada Tangis Seperti Gerimis”.
Cinta itu rumit bagi yang berusaha menerangkannya, tetapi sederhana bagi yang merasakannya. Hanya orang seperti Waluya Ds --yang pengetahuan dan jiwa sastranya begitu luas, mulai dari mitos India (Arjuna) hingga mitos Yunani (Sisyphus), yang pengalaman hidupnya begitu kaya, telah pernah mengalami hidup menderita hingga menjelajahi berbagai belahan dunia-- mampu menerangkan kerumitan itu dalam kesahajaan sebuah puisi “Pengantar”.
Cintaku padamu
begitu bersahaja bagai gula masuk dan hilang bentuk
di cangkir teh panasmu merasuk.
Kebanyakan puisi di dalamnya terasa jelas mendendangkan lagu seorang laki-laki (Blue Danube Waltz, Senja di Pantai) dan hanya sebagian kecil yang menyuarakan bisikan perempuan (Angin Musim Dingin). Ada remaja kasmaran (Dua Kekasih Bertemu) dan ada cinta yang berpengalaman (Senja di Pantai). Semuanya mengisahkan berbagai rasa dalam perjalanan sepotong cinta:
- Cinta yang tulus (Ingin Kukatakan Padamu)
- Cinta diam-diam (Perhaps, Perhaps, Perhaps)
- Cinta yang telah berlalu dengan damai (Malam Ini Kunyanyikan Lagu)
- Cinta yang meninggalkan rasa hampa (Ada Biduk Mengapung)
- Rindu yang menyayat (Bulan Menggigil)
- Ditinggal kekasih (Ada Biduk Mengapung)
- Berusaha untuk tegar dalam perpisahan (Sonata Buat Kekasih)
Puisi yang sangat mengesankan bagi saya adalah “Bersamamu”. Bahasanya ringan tetapi artinya dalam. Tentu saja, bagi pembaca lain, setiap puisi memberi makna dan rasa yang berbeda.
Saya membayangkan ide puisi Waluya muncul di berbagai kesempatan dan lokasi, saat minum kopi, duduk berdua dengan isteri tercinta, saat menikmati musik. Tidak mengherankan bila puisinya sarat dengan gambaran alam, bulan, bintang, awan, air, cemara. Tapi ada yang membuat saya berdecak kagum, yaitu kekuatan Waluya dalam menggunakan semua pancainderanya dalam penulisan puisi-puisi itu. “Akan Kukecup Bibirmu” … kucium aroma, mata memandang gerbang, rasa melayang di tempat asing, pahit yang lezat di ujung lidah.
AKAN KUKECUP BIBIRMU
Akan kukecup bibirmu
Selembut kucucup gelas kristalku
Saat kunikmati anggur pilihan yang jitu.
Dari pipimu kucium aroma purba
Hadiah para dewa untuk dewi-dewi di surga
Agar mampu mengusik Arjuna
Bangun dari kekhusyukan bertapa.
Matamu yang redup gerbang yang mengundang
Ke padang-padang mimpi yang membuatku melayang
Ke tempat asing yang belum pernah aku singgah
Daerah di luar peta wilayah penuh gairah.
Kubelai rambutmu
Terasa di ujung lidahku
Pahit coklat
Begitu lezat.
Akan kukecup bibirmu
Membenamkan rinduku.
SENJA DI PELABUHAN
Senja ini terasa matahari tergesa-gesa mencium cakrawala.
Riak ombak berbuih putih ketika kapal meninggalkan dermaga.
Dan di pelabuhan tak kutemukan lambaian tangan.
Hanya bayang-bayang kenangan.
Di geladak aku berdiri mengamati
pantai perlahan menghilang di kejauhan.
Aku tak tahu kapan lagi akan kembali.
Karena itu aku tak mau janji kau ucapkan
sebab hidup tak mengenal kepastian.
Mungkin saja kita hanya wayang permainan dalang,
tapi ini tak berarti peran kita tak perlu dinikmati.
Matahari tak lama lagi akan tenggelam dalam pelukan malam.
Senja yang jingga seperti membatasi mimpi dan kenyataan.
Bayangan wajahmu tak bisa kulupakan walau ketika kuselusuri kelam.
Kulihat nyala lampu di pelabuhan.
Senja ini kutuliskan:
Kenangan yang tak bisa kulupakan.
“Kwatrin untuk Kekasih” adalah buku pencinta puisi dan penghayat cinta. Di saat kata tak terucap, di kala kalimat tak terangkai, sangat mungkin salah satu puisi di dalamnya memadai untuk dipakai. Untuk ungkapkan isi hati, pada dia yang ingin anda miliki. Untaian kata dalam puisi Waluya mampu meredam rindu yang menghantam, atau sedih yang menerkam.
Beberapa puisi dalam buku ini telah saya baca berkali-kali. Saya anjurkan untuk tidak sekaligus membaca semua puisi di dalam buku ini. Nikmati seteguk demi seteguk di saat anda sarapan dengan secangkir kopi di meja, atau waktu anda menunggu jemputan datang. Sering setelah membaca satu puisi, saya menduga-duga, Waluya Ds ini pasti seorang mata keranjang yang gampang sekali jatuh cinta. Kali lain, saya berpikir, ah… mungkin dia seorang yang sangat setia pada cinta-cintanya. Pada akhirnya, saya hanya bisa berkata, puisi yang indah lahir dari imajinasi yang kaya serta jiwa yang muda, dan siapa saja yang berkarya, berjiwa mulia.
Catatan: Buku hard cover yang terdiri dari 89 halaman ini dijual dengan harga @ Rp 75.000 di TB Gramedia wilayah Jabotabek.
Tambah komentar baru