Untuk mencapai Toraja, tempat wisata yang paling banyak dikunjungi di Sulawesi Selatan, saya terbang ke Makassar dari Jakarta, dilanjutkan dengan jalan darat selama lebih kurang sembilan jam. Jarak Makassar - Toraja adalah sekitar 330 km. Jika ingin menghemat biaya penginapan, sebaiknya jarak ini ditempuh pada malam hari, jadi anda tiba di Toraja esok paginya. Pastikan ada upacara pemakaman selama waktu anda berada di sana agar perjalanan tidak sia-sia. Saya menginap di Rantepao, ibukota kabupaten Toraja Utara.
Pemandangan Toraja sangat indah, penduduknya ramah, kebudayaannya sangat menarik. Cara orang Toraja memperlakukan keluarganya yang meninggal sangat istimewa. Jika suka dan punya waktu, anda bisa mencoba trekking, rafting ataupun bersepeda. Keindahan alamnya pasti membuat anda terpesona.
Orang Toraja mengikuti garis keturunan dari kedua orangtua. Mereka adalah satu-satunya suku di Indonesia yang bukan matrilineal maupun patrilineal. Status sosial seorang Toraja menentukan apa yang dia lakukan pada perayaan, di mana dia duduk pada acara adat atau bagian tubuh mana dari hewan kurban yang menjadi haknya. Seorang lelaki tidak boleh menikahi perempuan dari kelas sosial yang lebih rendah, tetapi kalau dia menikahi gadis dari kelas yang lebih tinggi, maka derajat anak-anaknya akan naik mengikuti kelas ibunya. Ada tiga tingkat sosial utama : bangsawan, orang biasa dan budak. Perbudakan sudah dihapus sejak lebih dari seabad yang lalu. Status sosial seseorang bisa berubah sesuai dengan kekayaan yang diukur dari jumlah kerbau yang dimilikinya.
Sepanjang jalan kita bisa melihat kerbau di sana-sini dan kalau beruntung, kita bisa ketemu kerbau istimewa seperti tedong ballian (kerbau dengan tanduk panjang yang tumbuh menyamping) yang mahal ini.
Ada dua macam perayaan di Toraja:
- Rambu Tuka - Artinya : asap yang naik, dihubungkan dengan timur dan kehidupan, merupakan pesta syukuran seperti : pesta pernikahan, atau pemberkatan tongkonan (rumah adat) yang baru direnovasi, persembahaan tongkonan baru.
- Rambu Solo - Artinya : asap yang turun, dihubungkan dengan barat dan kematian, merupakan acara duka seperti pemakaman.
Tujuan utama perjalanan saya kali ini adalah menyaksikan upacara pemakaman. Sepanjang sejarah, upacara adat ini telah mengalami perubahan, walau tidak besar. Saya percaya, penyebabnya antara lain adalah pertumbuhan penduduk serta perubahan kepercayaan dan perkembangan sosio-ekonomi.
Kekristenan diperkenalkan kepada penduduk Toraja seabad yang lalu. Walau sekarang sebagian besar penduduk Toraja adalah penganut Kristen, tapi mereka masih mempertahankan tradisi pemakaman seperti pemotongan hewan kurban dan ritual lain untuk almarhum.
Gereja pertama di Rantepao dengan latar belakang salib raksasa di atas bukit Singki yang dibangun untuk memperingati seabad Kekristenan di Toraja. Salib ini diharapkan menjadi ikon baru Sulawesi Selatan tetapi juga menimbulkan banyak kritik dari orang terpelajar Toraja.
Upacara pemakaman (Rambu Solo) membutuhkan biaya yang sangat banyak dan persiapan yang rumit. Seorang anggota keluarga yang meninggal tidak akan langsung dikubur. Sesuai kepercayaan lama mereka, Aluk To Dolo (Aluk = adat, To dolo = nenek moyang yang katanya terdiri dari 777 peraturan), orang belum benar-benar meninggal sebelum dikubur dengan serangkaian upacara. Mendiang akan diperlakukan seolah-olah sedang sakit, diajak bicara, disediakan makanan dan minuman hingga keluarganya siap untuk memakamkan mendiang. Sementara menunggu, mereka memasang bendera putih di depan rumah dan keluarganya tidak boleh makan nasi, sebagai gantinya, mereka makan jagung dan ubi-ubian. Berapa lama waktu yang diperlukan hingga pemakaman tergantung pada banyak hal. Kadang-kadang hanya dua bulan, tapi pernah juga disimpan dalam rumah hingga 20 tahun.
Saya beruntung mendapat kesempatan mengunjungi seorang ibu yang telah meninggal tiga tahun tapi belum dikubur. Sebelum meninggalkan rumah itu, saya meletakkan sedikit uang ke dalam tas yang disediakan di kaki peti mati.
Sepertinya boleh dikatakan, persiapan upacara pemakaman telah dimulai semenjak seorang Toraja lahir ke dunia. Di Toraja, setiap individu terlibat dalam utang piutang. Ikatan kekeluargaan sangat erat dan orang yang telah meninggal sangat dihormati. Utang yang dimiliki, mungkin saja adalah utang dari orang tua atau nenek kakek yang belum sempat dibayarkan pada masa hidup mereka. Cepat atau lambat seseorang harus membayar “utang” atau menyelenggarakan upacara pemakaman untuk keluarganya sendiri. Orang Toraja harus menabung sejak dini untuk ritual-ritual yang mahal ini. Rambu Solo bisa membangkrutkan keluarga modern yang tidak cukup kaya, terutama mereka yang memiliki darah biru mengalir dalam arterinya.
Kerbau dan babi yang dibawa oleh tamu upacara pemakaman akan dicatat sebagai pemberian, pembayaran utang ataupun pinjaman yang harus dibayar di masa depan. Bila ada yang tidak mau membayar atau tidak mampu akan menjadi bahan pergunjingan dan dipandang rendah oleh masyarakat.
Berikutnya: Toraja: Upacara Pemakaman - II
Tambah komentar baru