Hope Workers’ Center - sebuah lembaga swadaya masyarakat di Taiwan, menyatakan, masalah paling utama dari buruh migran Indonesia (BMI) informal adalah eksploitasi kerja, pelecehan seksual dan kekerasan fisik. Salah satu atau gabungan dari hal itulah yang jadi penyebab BMI kabur dari majikan resminya. Saya sempat mendengarkan kisah salah seorang BMI kaburan. Dia tuturkan kisahnya sebelum pulang ke tanah air (setelah menyerahkan diri), sebagai berikut.
Dipukul dan Dilecehkan Akong
"Saya bekerja resmi sekitar setahun saja. Awalnya saya bertugas menjaga Ama (panggilan untuk nenek) di kota Taoyuan. Suaminya sudah berusia 90 tahun tapi masih sehat. Akong (panggilan untuk kakek) sering mengajak saya berhubungan tetapi selalu saya tolak. Setiap kali ditolak, dia selalu mengambil samurainya dan memukul saya sampai tangan dan badan saya biru-biru. Ini terjadi berulang kali. Bahkan saat saya sedang tidur, Akong masuk ke kamar saya dan membangunkan saya dengan kasar untuk diajak berhubungan. Walau diancam akan dipukul, saya tetap menolak.
Saya sudah mencoba menelepon agen tetapi hanya dijawab supaya sabar. Saya tidak tahu bagaimana tapi kejadian ini sempat diketahui oleh polisi dan mereka mengancam Akong supaya tidak kasar lagi. Setelah itu saya disiram air panas. Saya hanya bisa menangis karena kalau Ama tidak meninggal sulit untuk minta pindah tempat kerja. Suatu kali ada topan dan rumah kebanjiran. Saya disuruh kerja hingga pukul dua pagi untuk mengeluarkan air dari rumah. Saya pikir mereka sungguh kejam, tapi yang lebih keterlaluan adalah mereka menyuruh saya membuang airnya ke rumah tetangga.
Saya kemudian menelepon 1955 dan membuat laporan. Tetapi tidak lama setelah saya melapor, agen datang dan meminta saya mencabut laporan itu. Saya tidak bisa menolak karena oleh adik majikan, saya diancam akan dipulangkan bila tidak menurut. Hingga suatu kali pada pukul tiga dini hari saya dipukuli lagi oleh Akong, saat itu agen baru mau membawa saya ke penampungan di Hsinchu.
Kerja 15 Jam, Sebulan Digaji 1.300 NT
Tidak lama kemudian saya mendapat majikan baru di Zhungli, juga menjaga seorang Ama. Awalnya beliau sangat baik. Kami tinggal bersama anaknya yang belum menikah. Pada waktu itu saya sempat berucap, “Alhamdullilah dapat majikan baik”.
Namun selang dua hari Ama berubah drastis. Wajahnya jadi muram dan mudah marah. Sebaliknya, anaknya sangat baik terhadap saya. Saya diberi uang dan dibelikan makanan. Tapi saya tolak dengan sopan. Kemarahan Ama makin menjadi-jadi. Dia juga mulai sering memukul saya. Bila saya beri sesuatu, misalnya obat, dia lempar ke muka saya. Hal itu saya laporkan pada anaknya, tapi dia tidak percaya. Saya malah pernah dilempar dengan pisau hingga tangan saya babak belur.
Ama juga membuat saya bekerja dari pukul enam pagi: memasak, mengepel lantai, membersihkan rumah dan membawa Ama jalan-jalan di bawah sinar matahari. Pulang dari membawanya jalan, saya harus memasak lagi, kemudian lanjut jalan-jalan lagi sampai malam. Saya berusaha bertahan karena ingat anak saya butuh biaya sekolah dan ibu saya harus berobat.
Tanggal gajian yang saya tunggu-tunggu tiba, tapi saya sungguh kaget karena hanya diberi 1.200 NT oleh agen. Katanya gaji saya ditabungkan. Bulan berikutnya saya hanya menerima 1.300 NT. Saya makin tidak tahan, apalagi suatu kali saat saya sedang tidur, Ama masuk ke kamar membawa pisau. Saya sangat ketakutan dan telepon ke 1955. Akhirnya agen berjanji akan memindahkan saya ke rumah adik Ama. Tetapi karena trauma dengan perlakuan Ama, saya tidak mau bekerja lagi pada keluarganya.
Kesabaran saya akhirnya habis. Pada bulan Desember 2012 saya memutuskan untuk kabur. Selama empat bulan kabur, saya diliputi stres dan ketakutan, kerja serba tidak tenang. Saya tidak mau menyesal lagi karena beberapa bulan setelah tiba di Taiwan, bapak saya meninggal. Akhirnya saya menyerahkan diri agar bisa pulang untuk menunggui ibu saya yang sakit."
Add new comment