Sebelumnya: Rumah Dinas (Bagian 1)
Penggali sumur sudah menggali jauh lebih dalam dari yang mereka perkirakan sebelumnya, tapi air sumur rumah dinas saya tetap keruh. Pindah lokasi tidak mungkin lagi. Akhirnya saya putuskan untuk membuat saringan saja. Mereka berhenti bekerja dan saya memberi mereka upah lebih dari yang disepakati awalnya.
Calon suami saya membantu membuatkan saringan itu. Dia membeli kontainer air minum dari bahan aluminum yang biasa dipakai orang untuk menjual minuman. Cairan diisi dari atas dan di sisi sebelah bawah ada satu keran kecil. Kontainer itu dia isi dengan batu, arang, ijuk, dan pasir, kemudian dipasangkan ke dinding sumur. Air yang saya timba dimasukkan ke kontainer itu dan akan dialirkan melalui pipa ke kamar mandi di belakang rumah.
Minggu-minggu pertama di rumah dinas, saya belum punya perabot kecuali satu tempat tidur yang saya minta Pak Guru buat pertama sebelum membuat lemari. Untuk menerima tamu, saya hanya menggelar tikar di lantai ruang tamu. Suatu malam saya lupa menggulung kembali tikar sebelum tidur. Esok paginya ketika menyapu, saya mengangkat tikar itu dan melihat ada sesuatu sebesar cacing tanah yang setelah saya perhatikan lebih dekat ternyata adalah anak ular. Tuhan Maha Pengasih … Dia memperkenalkan anak ular dulu kepada saya agar saya tidak shock kalau kelak bertemu dengan mama ular atau kakek ular.
Saya teringat monyet-monyet yang bergelantungan melompat dari satu pohon ke pohon lain di hutan di belakang rumah dinas. Saat saya mencuci piring atau menjemur pakaian, saya suka memandangi mereka. Saya pikir, mereka juga suka memandangi saya. Saya membayangkan –berimajinasi-- pembicaraan mereka.
Monyet cewe: Yang, itu monyet apa?
Monyet cowo: Ya, bodat jongjong lah. (bodat = monyet, jongjong = berdiri)
Monyet cewe: Kok beda sama yang lain?
Monyet cowo: Apanya yang beda. Samanya kulihat semua bodat-bodat itu.
Monyet cewe: Dia tinggal sendirian saja.
Monyet cowo: Itu karena dia belum nikah, Yang.
Monyet cewe: Apa itu nikah?
Monyet cowo: Nikah itu janji di depan bodat lain untuk tak pernah berpisah selamanya kecuali yang satu mati.
Monyet cewe: Gitu ya? Hmm … Kita nikah yuk?
Monyet cowo: Ngapain ikut-ikutan tradisi bodat bego? Mereka gitu karena nenek moyang mereka dulu takut ditinggal pasangannya.
Monyet cewe: Kamu gak takut kutinggal?
Monyet cowo: Kalau kamu sayang sama aku, kamu gak akan tinggalkan aku. Aku akan berusaha untuk selalu layak kau sayang …
Monyet cewe: Banyak kali cakap kau itu. Tapi mengapa kayak yang benci kali kau sama bodat jongjong?
Monyet cowo: Bukan hanya benci. Aku muak. Mamakmu gak pernah cerita tentang desa lama kita? Banyak pohon kita dulu mereka tebangi. Beberapa kali kita terpaksa pindah.
BUK! Seekor anak monyet jatuh waktu berusaha melompat ke dahan yang lebih tinggi. Mungkin dia pengen melihat dan mendengar lebih jelas kedua monyet yang lagi pacaran itu.
Monyet cewe: AAAAAAAA!!!!
Monyet cowo: Apa? Apa?
Monyet cewe: Itu anak si Xragy jatuh!
Tiba-tiba banyak monyet berteriak sekaligus dan bergelantungan kesana-kemari. Mungkin mereka memanggil monyet nomor gawat darurat dan membawa anak Xragy ke dokter monyet. Mungkin anak Xragy patah tulang. Mungkin obatnya adalah daun rotan tumbuk dicampur kencing babi hutan. Saya tersadar dari lamunan…
Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Sebentar lagi hari gelap, saya harus menyalakan lampu dinding. Malam ini harus cepat tidur karena besok saya mau pulang ke Medan. Saya akan cuti seminggu untuk acara pertunangan.
Baca lanjutannya: Pasien Khusus (Bagian 1)
Add new comment