Sebelumnya: Rendang Asli
Lokasi puskesmas tempat saya bertugas sebagai dokter PTT di ujung desa, terpisah agak jauh dari rumah penduduk lainnya. Puskesmas itu menempati satu area segi empat dengan dua sisi lapangan menghadap jalan tanah (belum ada aspal). Bangunan Puskesmas itu sendiri berada pada sisi lain, dan di sisi terakhir ada tiga rumah dinas bersebelahan satu sama lain. Rumah dinas terbesar ditempati Kepala Puskesmas, rumah dinas yang di tengah ditempati seorang perawat dan keluarganya. Rumah dinas terakhir di ujung masih kosong. Area di belakang Puskesmas dan ketiga rumah dinas itu adalah hutan.
Setelah menumpang beberapa minggu di rumah dinas Kapus, akhirnya beliau memutuskan rumah dinas kosong itu untuk saya tempati. Saya meminta Pak Guru membuat lemari obat yang bisa berfungsi sebagai meja juga dan dua tempat tidur. Akhir Minggu saya pulang ke Padangsidimpuan dan belanja untuk keperluan rumah baru, tikar, kompor minyak tanah, lampu dinding, dan alat dapur sederhana. Saya masih harus mengambil air ke sumur di kamar mandi Kepala Puskesmas. Tapi saya mulai mencari orang untuk menggali sumur dan memasang pagar bambu.
Saat masuk ke rumah dinas sendiri, saya baru mulai akrab dengan beberapa keluarga — keluarga Pak Lubis, Pak Guru, Bu Sum, Bu Sri, dan Bu Tati. Bu Sri dan Bu Tati bertetanggaan, rumah mereka paling dekat dengan Puskesmas. Bu Sri menawarkan membuatkan pagar untuk saya.
Saya: Kamu mau cari bambunya?
Bu Sri: Ya, di dekat sawahku sana banyak, Bu Ros. Besar-besar lagi.
Saya: Kamu yang potong sendiri? Atau suruh suamimu?
Bu Sri: Akulah, Bu. Mana mau dia.
Saya: Kenapa tak mau?
Bu Sri (dengan logat Bataknya): Manalah kutahu, Bu. Malas rasaku.
Saya: Kalau begitu nanti upahnya kamu simpan sendiri saja.
Bu Sri: Ya, untuk makan kami lah, Bu.
Saya: …
Saya: Ya, udah. Kamu cari bambu, buat, dan pasangkan sekalian. Bisa?
Bu Sri: Bisa, Bu. Itu pagar rumah kami, saya juga yang buat…
Dua hari kemudian saya terbangun mendengar suara di depan rumah dinas. Saya pikir tukang gali sumur sudah datang, ternyata Bu Sri menurunkan seikat bambu yang sudah dipotong-potong. Ujungnya dia buat runcing. Cepat juga ibu ini bekerja.
“Mana Riris?” saya bertanya. “Masih tidur di rumah. Sama Bapaknya,” jawab Bu Sri. “Saya mau pergi angkat bambu lagi, Bu.”
Sekitar pukul 08.30 tukang gali sumur datang. Mempertimbangkan sanitasi, sumur saya terpaksa digali di halaman depan rumah, karena di halaman belakang terlalu dekat dengan septic tank. Mereka bertiga mulai bekerja. Menjelang siang saya pulang ke rumah untuk masak. Tidak masalah karena puskesmas hanya terletak di sebelah rumah dinas saya. Selesai masak saya mengajak mereka untuk makan bersama. Ternyata mereka tinggal berdua. Yang seorang entah pergi ke mana. Saya minta maaf karena hidangan sangat sederhana.
Selesai makan, mereka mengucapkan terimakasih dan keluar merokok. Saya berdiri hendak membuka pintu untuk kembali ke Puskesmas setelah membereskan piring-piring bekas makan. Saya mendengar pembicaraan di luar.
Lelaki pertama: Sudah makan kau?
Lelaki kedua: Sudah.
Lelaki pertama: Ha ha ha, rugi kau. Kami makan enak.
Lelaki kedua: Makan apa?
Lelaki ketiga: Bu Dokter ajak kami makan masakannya. Enaaaaaak sekali.
Saya hampir menangis karena terharu mendengar obrolan itu. Saya hanya memasak tumis kangkung pakai tauco (tauconya saya bawa dari Padangsidimpuan) dan telur mata sapi. Ada sambal tentu. Di sini kalau tak ada sambal, tidak tertelan tuh nasi.
Baca lanjutannya: Rumah Dinas (Bagian 2)
Tambah komentar baru