Seperti biasa, pagi hari sambil mempersiapkan sarapan saya menonton – mendengarkan lebih tepatnya – klip video dari Youtube. Pagi ini saya mendengarkan rekaman acara Kick Andy mewawancarai dua anak muda yang telah berbuat banyak untuk masyarakat di lingkungannya.
Setelah semua urusan pagi hari selesai termasuk mengantar anak-anak ke sekolah, sambil ngopi dan sarapan, saya membuka Facebook. Ada status teman saya yang tinggal di Paris. Dia seorang guru. Salah seorang mantan muridnya membentuk asosiasi bernama Asosiasi Aida ketika si mantan murid itu baru berusia 15 tahun. Asosiasi ini memiliki tiga tujuan utama: membantu anak-anak yang menderita kanker untuk mewujudkan impian mereka dengan memberi mereka kesempatan mengekspresikan diri melalui aktivitas seni; ikut menyumbang untuk penelitian leukemia; dan mengajak orang-orang muda untuk lebih memahami dan menyadari kesulitan yang dihadapi penderita kanker.
Kira-kira baru setahun, asosiasi itu mendapatkan sumbangan lebih dari 35 ribu Euro dan telah menggerakkan lebih dari 100 murid dari tujuh sekolah di Paris untuk menjadi sukarelawan!
Saya menyaksikan kisah anak-anak muda yang nurani dan semangatnya untuk membantu sesama manusia sungguh luar biasa. Bagi saya, dua tontonan itu menjadi peringatan bagi generasi tua (orangtua) agar mengubah sikap, terutama dalam cara pandang terhadap generasi muda itu sendiri dan cara membimbing mereka. Bacalah The Hunger Games.
The Hunger Games adalah serial yang terdiri dari tiga buku karangan Suzanne Collins. Buku pertama terbit tahun 2008, diikuti buku kedua dan ketiga, masing-masing pada tahun 2009 dan 2010. Setelah The Hunger Games diangkat ke layar lebar, sambutan masyarakat tidak kalah hangatnya dengan bukunya sendiri. Pada pertengahan Agustus 2012, Amazon (toko berbasis internet terbesar di Amerika Serikat yang berkantor-pusat di Seattle) mengumumkan bahwa penjualan trilogi The Hunger Games telah melampaui rekor lama yang dipegang oleh serial Harry Potter. Bahkan dua tahun kemudian, 2014, penjualan trilogi ini di Amerika Serikat saja sudah melampaui angka 65 juta. Kini buku-buku tersebut sudah diterjemahkan ke 51 bahasa.
Dalam cerita The Hunger Games, karakter utamanya adalah anak-anak muda yang dipaksa untuk bertarung hingga mati dan hanya meninggalkan satu orang pemenang yang hidup. Ceritanya memikat banyak pembaca terutama dewasa muda. Mengapa? Saya pikir, bukan hanya karena tokoh utamanya adalah anak muda, tetapi cerita itu sendiri yang walaupun hanya fiksi, tidaklah jauh dari kenyataan, setidaknya dalam hal perlakukan orang dewasa (termasuk pemimpin bangsa) terhadap generasi muda.
Dalam banyak hal, anak-anak dan orang muda di’nomor-dua’kan. Mereka harus mendengar dan patuh. Suara mereka tidak didengar. Kalau mereka berontak, mereka dikatakan kurang ajar dan tidak tahu budi pekerti. Kalau mereka tidak lulus sekolah, mereka dikatakan bodoh dan kurang cukup berusaha. Di lingkungan kerja, mereka diremehkan sebagai orang yang belum berpengalaman. Ini tidak adil, dan bisa membunuh kreativitas mereka, potensi orang-orang.
Pada dasarnya kita tidak cukup menghargai orang muda. Kita tidak cukup mendukung mereka. Mendukung bukanlah mengatur dengan cara mengekang. Mendukung, bukan memaksa mereka belajar agar mendapat nilai paling tinggi di sekolah. Mendukung, bukan over-proteksi. Mendukung, bukan memaksa mereka menerima kepercayaan kita (dalam segala hal). Mendukung adalah membimbing, memberi mereka pilihan dan tidak menyalahkan mereka saat pilihan mereka tidak membawa hasil yang diinginkan.
Pemerintah dan masyarakat dapat mendukung generasi muda dengan menyediakan lingkungan (di dalam dan di luar rumah) yang aman, pendidikan murah di segala bidang, kesempatan kerja untuk yang belum memiliki pengalaman, percaya pada potensi mereka dan tersedianya berbagai dana pinjaman baik untuk sekolah maupun memulai usaha.
Jangan lupa, generasi muda sangat luar biasa. Jika diarahkan ke jalan yang benar, mereka akan menjadi tiang masyarakat. Pendidikan adalah kata kunci, formal maupun non-formal.
Generasi muda yang berkarya
Dalam rekaman wawancara Kick Andy, Andri Rizki Putra mengaku marah kepada sistem pendidikan di Indonesia. Kekecewaan terhadap sistem pendidikan adalah hal yang sudah sering kita dengar/baca di mana-mana. Kekecewaan itu ada di mana-mana di seluruh dunia. Walau kemarahan Rizki adalah pada kecurangan yang terjadi, tapi sistem pendidikan di sekolah juga banyak ‘lubang’nya. Siapa yang membuat sekolah dan sistemnya? Orang dewasa.
Menurut saya, memaksa setiap anak masuk sekolah dan dididik dengan kurikulum yang sama adalah suatu bentuk stereotip, konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka subjektif dan tidak tepat. Ada baiknya disadari apa yang diingatkan Ignacio Estrada, direktur Gordon and Betty Moore Foundation, yang berkata, “If a child can’t learn the way we teach, maybe we should teach the way they learn.” Jika seorang anak tidak bisa belajar dengan cara kita mengajar, mungkin kita harus mengajar dengan cara mereka belajar.
Anak muda seperti Rizki tidak sedikit. Dalam 30 Under 30 Asia — kumpulan nama 30 orang Asia berusia di bawah 30 tahun yang dipilih oleh majalah Forbes sebagai orang muda yang maju jauh ke depan melampaui rekan-rekan mereka yang seumur — ditemukan dua nama anak muda Indonesia, kategori Social Entrepreneur untuk tahun 2016.
Ada Heni Sri Sundani Jaladara, usia 28. Heni adalah pendiri Gerakan Anak Petani Cerdas dan Komunitas AgroEdu Jampang, sekolah gratis untuk anak-anak tidak mampu di desa. Heni awalnya bekerja ke Hong Kong sebagai buruh migran (BMI, Buruh Migran Indonesia). Setelah ditipu oleh agen BMI, dia malah sekolah dan tamat dari jurusan Manajemen Entrepreneur di Universitas Saint Mary di Hong Kong.
Nama lain dari Indonesia yang saya temukan adalah Muhammad Alfatih Timur, usia 24. Alfatih mendirikan situs kitabisa.com, situs pengumpul dana pertama di Indonesia. Hingga kini, situsnya telah membantu lebih dari 37 ribu orang dan telah menerima sumbangan lebih dari 744 ribu dollar US (Rp 9,3 milyar) . Alumni Universitas Indonesia ini pernah menerima penghargaan pertama ICT Awards dari Menteri Komunikasi dan Informasi pada tahun 2014.
Generasi tua selayaknya memahami dan mau mendengar orang muda. Mari kita membiarkan diri ‘tertular’ dan ‘menularkan’ hanya hal-hal yang baik yang ada gunanya untuk diri sendiri dan orang lain.
Leave a Reply