Ayo Intip Rumah Mereka

Tulisan ini pertama muncul pada tanggal 21 Juni 2013 di blog lama patahtumbuh.

Suatu hari yang panas di bulan Agustus tahun lalu, saya dibawa oleh Bapak Robert Komaria ke PDPIK, satu bangunan sederhana di jalan kecil dan sempit, 30 menit perjalanan dengan mobil dari jalan utama Lubuk Pakam, sebuah kota kecil setengah jam dari Medan, Sumatera Utara.

Sulit bagi saya untuk tersenyum gembira melihat bangunan ini dan penghuninya. Saya bukan fotographer dan kamera saya bukan kamera mahal, begitupun foto di bawah ini kelihatan jauh lebih bagus dari bangunan sebenarnya.

Lubuk Pakam

Pada kunjungan saya waktu itu, ada 26 pria dan 10 wanita yang tinggal di bangunan ini. Mereka semua dalam pengawasan dan perawatan dari Bapak Sudibyo Majing dan Ibu Kasta Ginting . Setiap kamar kecil dihuni empat hingga lima orang dan hanya cukup untuk meletakkan tempat tidur mereka yang sangat sederhana serta satu sudut 1 X 1 meter yang berfungsi sebagai toilet.

Lubuk Pakam

Sejarah

Awalnya, Bapak Sudibyo Majing (kelahiran 1953), seorang pendeta dan istrinya, Ibu Kasta Ginting, sering berdoa untuk jemaat yang sakit di gereja kecil mereka. Karena banyak yang sembuh, semakin banyak orang datang membawa sanak keluarga ataupun teman yang sakit kepada mereka. Ada yang sakit jasmani, ada yang sakit mental dan ada pula yang ketergantungan obat. Setelah beberapa lama, mulai ada yang meninggalkan pasien yang keluarganya tak sanggup rawat lagi. Semakin lama, rumah keluarga Pak Sudibyo yang kecil semakin sesak.

"Tolonglah Pak, kami tak sanggup merawat dia lagi, kami punya anak kecil di rumah, kadang-kadang dia bisa mengamuk dan tidak mau mendengar kata-kata kami. Tolonglah Pak, rawat dia dan sembuhkan. Kami akan membayar.” Begitu sering permohonan yang diajukan kepada suami istri yang baik hati ini. Tapi, biasanya, setelah meninggalkan pasien tersebut, keluarga mereka tidak pernah datang menjenguk lagi.

Pada tahun 1998, mereka memutuskan untuk memulai ‘rumah untuk gelandangan’. Mereka menerima dana dari berbagai sumber. Pada tahun 2007, permohonan mereka kepada pemerintah untuk melegalkan PDPIK diterima. Sekarang mereka sudah resmi dan mempunyai status legal. Dengan masuknya dana, mereka bisa membeli tanah dan membangun lebih banyak ruangan.

Salah satu sumber dana mereka adalah BLI (Buddha’s Light Indonesia), melalui mana Bapak R. Komaria mengenal mereka.

“Donor datang dan pergi, tapi Bapak Robert bertahan bersama kami. Kepadanya saya mengadu kalau ada masalah. Bahkan saya sering curhat sama Pak Robert. Dia baik sekali sama kami,” kata Ibu Kasta Ginting.

Di atas tanah seluas 0,6 hektar berdiri satu rumah sederhana yang dihuni oleh mereka sekeluarga (bersama tiga anak) dan dua pekerja, dua buah bangunan masing-masing dengan empat kamar dan satu gereja kecil yang pembangunannya dibantu oleh Bpk R. Komaria.

Lubuk PakamLubuk Pakam

Anak-anakku

“Bagaimana hidup di sini?” Saya bertanya pada salah satu penghuni dari balik jendela. Kamar mereka dikunci dari luar.

“Ya… begitulah,”jawabnya sambil melihat ke belakang saya. Tangannya mengelus-elus jerajak kayu jendela kamarnya.

“Kamu suka tinggal di sini?” Saya bertanya lagi.

“Bolehlah. Kalau tidak di sini, mau tinggal di mana lagi? Saya punya rumah dekat sini. Mereka bilang saya boleh pulang, tapi saya memilih tinggal.” Wah, jawaban ini tidak saya duga.

“Mengapa?”
“Tidak ada orang yang mau menerima saya di rumah. Saya sudah biasa tinggal di sini. Bukan hidup yang sangat menyenangkan tapi setidaknya saya dapat makan tiga kali sehari dan tempat tinggal.” Ha! Sungguh menyedihkan.

“Kamu suka makanan di sini?”
“Uh, bisalah dimakan, tapi kadang-kadang bisa bosan, soalnya tiap hari makan ikan asin.” Saya bahkan tidak tahu mau bagaimana menjawabnya.

Sewaktu saya berbicara dengan penghuni yang kelihatannya hampir sembuh dari kecanduan obatnya ini, saya memperhatikan teman-teman sekamarnya yang lain. Ada yang menggulung di tempat tidurnya, ada yang duduk di lantai berbicara sendiri dan yang satu lagi berjalan mondar mandir sambil tertawa dan diselingi sumpah serapah. Kemudian saya mengajak yang lain berbicara karena mereka kelihatan sudah menunggu saya dengan antusias di jendelanya.

Saya bertanya pada Ibu Ginting apa mereka bisa berkelahi dengan temannya.

“Tentu, tapi tidak sering. Saya memilih dengan teliti, siapa sekamar dengan siapa. Saya tahu dan kenal pribadi-pribadi mereka, tahu karakter mereka, jadi saya tau siapa yang lebih cocok tinggal bersama.”

Makanan

Mereka tidak mempunyai listrik pada waktu saya berkunjung. Bayangkan! 30 menit dari jalan utama dan tidak ada listrik! (Bapak R.Komaria kemudian ada menceritakan kepada saya penyebabnya. Terlalu besar biaya untuk memasukkan listrik ke pemukiman itu.) Sungguh menyedihkan. Saya tidak bisa membayangkan mengapa hal ini bisa dibiarkan terjadi. Perumahan yang berjarak hanya 30 menit dari sana ada listrik! 30 menit! Saya melihat ada kulkas, tua dan rusak, pintunya terbuka sedikit memperlihatkan isinya. Mereka memakainya sebagai lemari di ruang tamu yang hampir kosong. Selain kulkas rusak itu, ada sofa tua yang sama rusaknya dan juga mesin jahit antik (Saya tak berani menjamin mesin itu masih berfungsi). Barang-barang yang saya lihat di tempat pembuangan sampah di kota saya tinggal.

Air PAM juga tidak ada. Sumber air mereka adalah dari sumur di bagian belakang rumah. Saya pasti tidak berani minum air itu sebelum disaring. Apa yang mereka lakukan dengan air tersebut sebelum dipakai? Tidak ada.

Saya lalu ke dapur. Tiga pot hitam raksasa di atas tungku kayu bakar. Di dalam salah satunya adalah menu harian mereka, ikan asin.

Lubuk PakamLubuk Pakam

Saya terus ke halaman belakang. Mereka menanam sendiri sayuran dan memelihara beberapa ekor ayam dan bebek untuk diambil telurnya.

Lubuk PakamLubuk Pakam

“Saya perlu memikirkan pengganti ikan asin itu,” kata Bapak R.Komaria dalam perjalanan pulang.

Impian

“Apa yang paling Ibu harapkan?” Saya bertanya pada Ibu Kasta Ginting.

“Saya semakin tua, tak sekuat dulu lagi. Saya harap kami punya lebih banyak pekerja untuk merawat anak-anakku ini. Dulu saya sendiri yang memandikan mereka, memakaikan pakaian mereka, merawat mereka, masak untuk mereka, semua saya kerjakan sendiri. Sekarang tiga anak saya membantu saya tapi anak saya yang perempuan tak lama lagi akan pergi, jadi tinggal dua. Memang beberapa dari mereka yang sudah hampir sembuh bisa menolong, tapi tidak banyak. Ada 36 orang yang harus dirawat. Mereka lebih mirip anak-anak daripada orang dewasa. Mereka tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Kita harus sangat teliti merawat mereka baru bisa tau kalau ada yang sakit. Saya perlu orang untuk membantu menjaga kebersihan mereka. Mengenai mental mereka, saya percaya akan keajaiban doa.”

Saya pribadi percaya bahwa mereka perlu aktifitas lebih banyak di luar jadwal harian mereka yaitu makan bersama tiga kali sehari, mandi bergiliran sekali sehari; doa dan nyanyi bersama tiga kali sehari antara jam makan. Mungkin mereka perlu diberi olah raga yang sederhana supaya hidup terasa lebih ‘normal’.

Untuk mewujudkan impian Ibu K. Ginting ini mereka perlu lebih banyak pekerja dan tentu saja, uang.

Ibu Kasta Ginting, ‘anak-anak’nya dan Bapak R.Komaria.

Lubuk Pakam

Sumber dana

“Saya ke sini dua minggu sekali bersama seorang teman. Kami membawa bahan pangan seperti beras, minyak, gula dan lain lain. Kapan saja saya diperlukan, sebisanya saya akan datang. Akhir-akhir ini, saya datang lebih sering, karena saya baru membeli tanah di sini dan mau membangun tiga kamar lagi. Terlalu sesak mereka di sini. Kamar mandi umumnya juga perlu diperbaiki,”kata Bapak Komaria.

“Dananya dari mana Pak?”

“Kantong saya sendiri. Beberapa teman memberi sumbangan tapi tak banyak. Saya tidak mau mengemis. Saya lakukan saja semampu saya.”

Saya mendapat kehormatan menemaninya ke toko bahan bangunan di dekat pemukiman itu dan ‘mengintip’ jumlah uang yang mereka perlukan untuk perbaikan tersebut. Perkiraan awal, hampir 20 juta rupiah.

Saya mencoba memikirkan, apa yang mereka paling perlukan. Mungkin seorang perawat paruh waktu, datang dua kali seminggu memeriksa kesehatan mereka, listrik, ruangan dengan ventilasi yang lebih baik. Pekerja baru diperlukan untuk membantu merawat mereka, masak, berkebun dan memelihara ayam dan itik.

Ibu K Ginting sendiri badannya tidak sehat. Beliau menderita sakit lambung yang kronis, lambungnya sudah dua kali berdarah dan dia semakin lemah. Sejauh ini dia hanya minum obat dan tidak punya cukup dana untuk berobat lebih jauh.
Itu kira kira kebutuhan darurat mereka yang bisa saya pikirkan. Mungkin anda anda bisa membantu Ibu Ginting mewujudkan impiannya.

SaveSave

Tambah komentar baru

Teks polos

  • Tidak ada tag HTML yang diperbolehkan.
  • Baris dan paragraf baru akan dibuat otomatis.

Awal Maret 2024, untuk merayakan 30 tahun pernikahan kami, saya dan suami memutuskan untuk...

Rose Chen

Baca juga tulisan sebelumnya:...

Rose Chen

Hari pertama di Chiang Mai dimulai dengan shopping di Maya Lifestyle Shopping Center...

Rose Chen

Pulau Keelung (Keelung Islet) adalah pulau kecil yang terletak lima kilometer dari...

Rose Chen

Di Taiwan sayur paku sarang burung adalah kegemaran orang lokal. Biasanya mereka tumis dengan...

Rose Chen