Dokter Jatuh Sakit (Bagian 2)

Sebelumnya: Dokter Jatuh Sakit (Bagian 1)

Kali ketiga saya jatuh sakit adalah setelah menikah tapi belum punya anak. Setelah punya anak, saya tidak pernah sakit lagi selama tinggal di desa S. Old wives’ tale… huh? Saya pikir gizi saat masa nifas dan setelahnya, ditambah dengan perasaan tanggungjawab merawat anak membuat tubuh seorang wanita menjadi kuat. Keadaan mental berperan besar atas kesehatan fisik seseorang. 

Jumat malam itu, suami saya tiba dari desa tempat dia bertugas. Tidak setiap akhir pekan suami mengunjungi saya. Sabtu pagi kami baru selesai sarapan ketika mendengar ketukan di pintu. Ada dua laki-laki datang dengan sepeda motor dan meminta saya ke desa P yang sampai saat itu belum pernah saya kunjungi. Seorang ibu sudah dua hari dalam proses persalinan tapi anaknya belum lahir-lahir juga. Saya tanya suami saya mau ikut atau tidak. Dia bilang tentu mau ikut. Kami mempersiapkan tas dokter saya. Suami membantu memasukkan beberapa botol infus tambahan. Saya dibonceng dengan sepeda motor jalan duluan. Suami saya berjalan kaki bersama laki-laki yang satu lagi. 

Kami naik sepeda motor mungkin sekitar 30 menit, saya tidak ingat pasti. Akhirnya kami sampai di satu sungai. Ada rakit menunggu dan kami bersama sepeda motor itu naik rakit tersebut menyeberang sungai. Perjalanan dengan sepeda motor dilanjutkan lagi. Kali ini jauh lebih lama, melalui jalan setapak yang kadang-kadang menanjak, kadang menurun -- daerah pegungungan. Perjalanan rasanya seperti naik kuda, tubuh terhempas naik turun. Si pengemudi sepeda motor meminta saya memegang pinggangnya, katanya dia takut saya jatuh. Muhrim atau bukan, saya lebih baik menurut. 

Ketika kami sampai, di rumah itu sudah banyak sekali orang. Luar biasa rasa kekeluargaan orang desa. Hanya seorang ibu melahirkan, orang sekampung memenuhi rumahnya. Saya masuk ke kamar melewati banyak ibu-ibu yang duduk di luar kamar. Di dalam kamar juga banyak ibu-ibu. 

Saya: Coba beberapa ibu keluar dulu ya… biar ibu ini lebih lega bernafasnya. 

Kedua kaki ibu yang akan melahirkan diikat dengan kain sarung dan digantung ke langit-langit. Terlalu banyak keanehan yang saya temui, tapi saya tidak kaget lagi. Saya melakukan anamnesa (menanyakan data dan riwayat keadaan si pasien), memeriksa tanda-tanda vital dan melakukan pemeriksaan dalam. Saya kemudian memasang infus pada si Ibu dan mengatakan bahwa pasien harus dibawa ke rumah sakit karena beberapa pertimbangan yang terlalu medis untuk saya terangkan di sini. Saya juga menerangkan risiko yang harus dihadapi jika mereka memutuskan tidak ke rumah sakit. 

Saat keluarga pasien berembuk apakah akan ke rumah sakit, suami saya tiba. Saya menceritakan keadaan pasien kepadanya dan dia setuju pasien dioperasi. Akhirnya mereka setuju dan kami berangkat menuju rumah sakit. Pasien dibawa dalam kain sarung yang digantung di satu batang kayu yang kemudian dipikul di bahu oleh dua orang laki-laki. Perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki, banyak yang ikut mengantar. 

Sepanjang jalan saya khawatir. Jalan di gunung itu naik turun terus. Kain sarung yang berisi ibu hamil yang mau melahirkan itu sering merosot, kadang ke depan kadang ke belakang di tanjakan dan di turunan. Alangkah sengsaranya ibu itu. Saya sendiri belum pernah melahirkan saat itu, tapi saya sudah sering melihat ibu melahirkan di ruang bersalin. Di ruang nyaman begitu saja banyak yang berteriak-teriak kesakitan, ada yang memarahi bahkan memukul suaminya… bagaimana perasaan ibu dalam kain sarung itu, saya tidak bisa bayangkan. 

Tandu

Setelah perjalanan sulit yang terasa bagaikan tak akan ada akhirnya itu  (after what seems like forever), kami sampai di tepi sungai. Sudah ada perahu motor menunggu. Saya, suami saya, pasien, suami pasien, dan seorang laki-laki lain ikut perahu itu hiingga ke kota. Perahu berlayar tidak cukup cepat rasanya. Kami sempat singgah untuk makan di satu warung di tepi sungai. Makan Indomie. Hari sudah sore dan saya memang sudah kelaparan karena tidak makan siang. Sampai di kota sudah ada satu mobil pick up menunggu. Saya tidak tahu bagaimana keluarga pasien ini mengirim pesan begitu cepat sehingga keluarga yang di kota sudah bisa mempersiapkan mobil di “pelabuhan”. Saya dipersilakan duduk di samping supir. Suami dan yang lain semua duduk di bak belakang, termasuk si ibu hamil, karena dia harus berbaring bersama infusnya yang kami pasang ulang waktu di atas perahu. 

Setelah serah terima pasien, saya dan suami diantar pulang ke rumah dinas dengan pick up itu. Hari sudah malam, hampir pukul 21.00 waktu kami berangkat pulang. Hujan turun lebat dan kami semua basah kuyup. Sampai di rumah sudah tengah malam. Saya baru ingat bahwa pagi itu saya menjemur tilam kapas saya di halaman belakang. Saya ke belakang dan melihat kasur itu sudah seperti kolam. Suami saya memasukkan kasur ke dalam rumah, kami mandi, dan tidur di lantai beralas tikar. 

Matahari sudah tinggi di langit desa S ketika saya bangun keesokan harinya. Suami saya sudah menunggu dengan bubur panas. Dia bilang saya demam tinggi dan tidur menggigil dengan gigi gemeretuk. Sepanjang malam dia peluk saya erat-erat supaya saya tidak menggigil. Saya tidak menyadari itu semua sedemikian nyenyaknya saya tidur. Awalnya suami saya khawatir meninggalkan saya yang sedang sakit ketika dia akan kembali ke tempat tugasnya. Tapi saya yakinkan bahwa saya mungkin hanya kelelahan dan kehujanan. Pasti akan segera sembuh.

 

 

Tambah komentar baru

Teks polos

  • Tidak ada tag HTML yang diperbolehkan.
  • Baris dan paragraf baru akan dibuat otomatis.

Awal Maret 2024, untuk merayakan 30 tahun pernikahan kami, saya dan suami memutuskan untuk...

Rose Chen

Baca juga tulisan sebelumnya:...

Rose Chen

Hari pertama di Chiang Mai dimulai dengan shopping di Maya Lifestyle Shopping Center...

Rose Chen

Pulau Keelung (Keelung Islet) adalah pulau kecil yang terletak lima kilometer dari...

Rose Chen

Di Taiwan sayur paku sarang burung adalah kegemaran orang lokal. Biasanya mereka tumis dengan...

Rose Chen