Pagi ini seorang sahabat bertandang ke rumah saya. Dengan tertatih-tatih, didampingi asisten rumahtangganya dia berjalan menuju pintu dan berteriak memanggil saya, “Zul … ado di rumah, ndak? Ambo datang!” Saya menjawab juga dengan berteriak, “Ado, Da … Masuaklah.” Pendengarannya sudah berkurang. Tamu saya ini adalah Uda (abang) Isma Sini. Umurnya kini 90 tahun. Dia berasal dari kota Padang. Sekarang kami sama-sama jadi warga Palembang. Dia sendiri sudah 50 tahun merantau di kota ini, pernah bekerja sebagai karyawan PT Rahman Tamin, yang terakhir perusahaan itu menjadi agen PT Semen Padang di Palembang.
Uda Isma Sini menikmati hidup apa adanya. Dia sangat memperhatikan saudara-saudaranya, termasuk dalam hal melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Kabarnya adiknya menjadi dokter dan sekarang memiliki beberapa rumah sakit, di Jakarta, Padang, dan Medan.
“Sudah lama saya ingin ke sini, tapi saya lihat pintu pagarnya selalu tertutup. Saya pikir Zul tak ada di rumah,” katanya membuka pembicaraan. “Pagi ini saya paksakan datang, dan Zul ada di rumah. Sanang ati ambo.”
Saya dan Uda Isma Sini sama-sama urang awak. Kami bertetangga. Rasanya, hanya saya yang menjadi tempat curhat bagi dia. Selain karena kami bisa berbicara dengan bahasa daerah yang sama, saya juga selalu bersedia menjadi pendengar yang baik bagi dia. Asisten rumahtangga saya menghidangkan dua cangkir teh panas dan obrolan kami pun berjalan begitu saja mengikuti apa yang terlintas di kepala.
“Zul,” kata Uda Isma Sini meneruskan pembicaraan. Dia mengutip peribahasa dalam bahasa Belanda. Saya mengangguk-angguk, padahal saya tidak tahu arti kalimat yang dia ucapkan. Uda Isma Sini tersenyum. Mungkin dia mengira saya paham dengan apa yang dia ucapkan. Untuk jelasnya, saya bertanya, “Apa itu artinya, Uda?”
“Adalah jalan yang teramat panjang, mulai dari buaian sampai ke liang kubur,” katanya. Dia lanjutkan, “Pepatah ini sangat benar,” katanya. “Setelah Uda renungkan pada usia 90 tahun ini, kita ini seperti orang yang mendaki gunung tinggi. Selama perjalanan menuju puncak, dengan riang gembira kita melangkahkan kaki, melewati halang-rintangan, mengarungi padang yang luas, tanpa henti, hanya untuk satu tujuan … sampai di puncak gunung. Apa yang terjadi setelah sampai di puncak yang tinggi itu?”
Dia menatap mata saya. Saya diam menyimak. “Dari situ,” katanya, “kita melihat ke atas. Hanya awan dan langit yang ada. Maka sadarlah kita bahwa kita sudah sampai di puncak gunung. Kita duduk melepas lelah, melihat ke bawah. Nun jauh di sana kita melihat kampung kita di bawah, hanya sebuah titik kecil. Jalan yang kita tempuh sangat panjang dan berliku-liku. Tersadarlah kita bahwa tenaga kita sudah habis. Hanya kenangan yang tertinggal, bahwa kita telah melewati segala-galanya, termasuk masa-masa indah untuk sampai ke puncak gunung ini.”
Saya terdiam. Setiap kehidupan akan ditutup dengan kematian. Terbayang juga di mata saya, perjalanan hidup yang telah saya tempuh mulai dari kecil hingga sekarang. Kedatangan Uda Isma Sini dan obrolan dengan dia membuat saya menoleh ke belakang seakan-akan menelusuri jalan berliku yang diwarnai aneka rupa keadaan dan pengalaman, jalan yang dimulai di buaian … terentang begitu panjang, dan berujung di liang kubur.
Leave a Reply