Wartawan bekerja merekonstruksi fakta mengenai suatu topik yang memiliki nilai berita (news value), agar topik yang dilaporkan itu dipahami audience. Si wartawan harus menyebutkan sumber fakta yang dia rekonstruksi, dan dia tidak boleh menilai fakta tersebut, alias tak boleh menyampaikan pendapatnya. Fakta tersebut diperoleh si wartawan melalui tiga cara: 1. membaca (lewat dokumen); 2. bertanya pada narasumber atau mendengar narasumber (wawancara), dan; 3.lewat pengamatan (observasi). Dalam --kalimat-- laporan, sumber/narasumber itu dinyatakan. Itulah attribution.
*
Ini adalah cerita usang, dari kejadian empat tahun yang lalu. Walau usang, sebagai kasus penulisan, ia layak dibicarakan. Buku-buku pelajaran dasar menulis berita mengingatkan calon wartawan dan wartawan bahwa dalam menulis clarity amatlah penting, dan si wartawan tidak boleh sloppy. Tulislah sejelas-jelasnya, jangan ceroboh. Untuk kasus ini nasihat itulah yang dilanggar.
Tersebutlah kisah --yang jadi berita-- suami isteri Saefudin-Sridewi bertengkar pada suatu pagi, sebagai kelanjutan dari percekcokan mereka malam sebelumnya. Pertengkaran ini berakhir dengan tewasnya Saefudin, setelah sebilah pisau melukai lehernya. Pisau yang menikam lehernya itu, menurut cerita, adalah pisau yang digenggam isterinya (Sridewi).
Tak ada yang membantu Saefudin ketika cekcok itu terjadi. Takdir telah membuat dia harus menghadapi maut dengan cara seperti itu. Hanya saja, reporter yang menulis berita ini dan editornya pun tak hirau, dan juga tidak membantu pembaca memahami jalan peristiwa dengan jernih, alias tidak mengaduk-aduk alam khayal atau kesan yang diperoleh ketika membaca.
Pada bagian awal berita, si reporter bercerita, “Karena suaminya tak juga diam dan terus mencaci maki, Dewi pun hilang sabar. Ia mengambil pisau dan menikam suaminya. Pisau menancap di leher Saefudin.”
Kesan apa yang Anda peroleh setelah membaca kalimat itu?
Kesannya, Sridewi kalap, mengambil pisau dan menikam suaminya.
Bagaimana ceritanya pisau itu sampai ke tangan Sridewi?
Menurut si reporter, Sridewi mengambil pisau itu (entah dari mana).
Dalam uraian selanjutnya, ada paragraf (pengakuan Sridewi sambil menangis) berbunyi, “Saya membawa pisau karena mau membela diri. Sebab, saat bertengkar, dia mengancam mau membunuh saya. Jadi saya berjaga membela diri dengan menggenggam pisau.”
Kesan apa yang timbul?
Kesan yang didapat -- karena Saefudin mengancam akan membunuhnya, Sridewi berjaga dengan pisau tergenggam.
Uraian selanjutnya yang juga berisikan keterangan Sridewi, berbunyi, “Dia nuduh saya selingkuh. Padahal saya tidak melakukan yang dia tuduhkan. Dia lalu mengancam akan mengambil pisau dan membunuh saya.” Kalimat berikutnya: Saat melihat suaminya telah menggenggam pisau, Dewi merebut pisau yang dipegang suaminya dan menikam Saefudin.
Kepada pembaca diceritakan bahwa Sridewi mengambil pisau bukan untuk menjaga diri, tetapi dia (Sridewi) merebut pisau dari Saefudin dan memakainya untuk menyerang Saefudin.
Ketika sampai pada uraian itu, pembaca menemukan kronologi kejadian yang kacau balau:
- Hilang kesabaran, Sridewi mengambil pisau dan menikam Saefudin.
- Saefudin menggenggam pisau, pisau direbut Sridewi, dan dia menikam Saefudin.
Pembaca tentu bertanya. Bagaimana sebetulnya kronologi kejadian ini? Siapakah yang aktif mengancam dengan pisau atau aktif mempersenjatai diri dengan pisau?
Polisi (Kapolsek Ciampea, Komisaris Roni Mardiyatun) memberikan keterangan kepada wartawan, dan dikutip si reporter berita ini. Inti keterangan Komisaris Roni sebagai berikut.
- Sridewi sudah mengakui perbuatannya.
- Sridewi ditahan di Polsek.
- Pisau itu awalnya dipegang oleh suaminya, tapi dia rebut dan dia tusukkan ke leher suaminya itu.
- Pembelaan Sridewi bahwa dia menusuk karena hendak membela diri, masuk akal.
- Tapi, polisi membutuhkan saksi atau alat bukti lain untuk memperkuat pembelaan Sridewi.
Ada beberapa hal yang perlu dicatat dari kasus penulisan berita ini.
1. Si reporter tentu tidak melihat kejadian yang sesungguhnya. Tapi dari mana dia tahu dan berani menyatakan. “Karena suaminya tak juga diam dan terus mencaci maki, Dewi pun hilang sabar. Ia mengambil pisau dan menikam suaminya. Pisau menancap di leher Saefudin.”
2. Karena si reporter tidak menyaksikan peristiwa itu, dia seharusnya menyebutkan narasumber (attribution), yang mengatakan bahwa sang suami tidak juga diam, terus mencaci maki, Sridewi hilang kesabaran, ambil pisau, dan menikam Saefudin.
3. Jika si reporter menyaksikan Sridewi diinterogasi polisi, dia harus mengatakan bahwa fakta yang dia rekonstruksi itu dia dengar dari mulut Sridewi.
4. Apabila keterangan yang dia dengar dari Sridewi berubah-ubah (hilang sabar, ambil pisau, dan menikam ... kemudian ... suaminya mengancam sambil memegang pisau, Sridewi merebut pisau, dan menikam), wajib hukumnya bagi si reporter untuk mengatakan bahwa keterangan Sridewi berubah-ubah. Untuk apa? Agar clarity tercapai, dan si wartawan tidak sloppy.
5. Kalau si reporter tidak menyaksikan Sridewi diinterogasi polisi dan dia hanya mendapat penjelasan dari polisi, dia harus mengatakan bahwa fakta yang dia rekonstruksi itu dia peroleh dari polisi.
6. Seandainya keterangan polisi yang berubah-ubah, si reporter harus bertanya kepada si polisi, kenapa kisah yang dia uraikan berubah-ubah adegannya.
7. Jika Komisaris Roni menceritakan (berdasarkan pengakuan Sridewi) bahwa pisau itu awalnya dipegang oleh Saefudin, Sridewi membela diri, merebut pisau itu dan menusukkannya ke leher Saefudin, si reporter TIDAK BOLEH MENGARANG dengan mengatakan “Dewi pun hilang sabar. Ia mengambil pisau dan menikam suaminya." Kalimat hasil “karangan” ini mengisyaratkan bahwa Sridewi beraksi duluan (menyerang).
Saya pikir, Anda pusing membaca note saya ini... Mumpung pusing, bacalah langsung beritanya.
*Tulisan ini sebelumnya muncul sebagai note di akun facebook penulis.
Tambah komentar baru