Saat yang Tak Tepat untuk Terkejut

Salah satu hal yang tak pernah masuk dalam rencana --karena tak mungkin-- adalah terperanjat alias kaget.

Kaget selalu terjadi tiba-tiba, misalnya jika ada petir menyambar, adanya ledakan bom, bunyi lain yang tiba-tiba mencetuskan rasa takut, dikejuti orang lain, atau setidak-tidaknya menemukan/mendengar/melihat sesuatu yang tidak disangka-sangka. Berbedanya dugaan dengan kenyataan yang ditemukan pun dapat membuat orang terkejut atau setidak-tidaknya tercengang. Pada saat seperti itu, kata-kata “ternyata bla bla bla ...” biasanya terucap atau terlintas dalam pikiran. 

Di media massa saya cukup sering menemukan kata “ternyata” yang dipakai wartawan. Tampaknya itu sudah menjadi gaya bercerita pada masa sekarang, dan karena terlalu sering dipakai ia menjadi klise. Tetapi bukan soal klise itu yang menjadi masalah, melainkan pemakaian kata “ternyata” untuk hal yang sebetulnya tak patut mengherankan atau mengagetkan.
Itu pula yang terjadi ketika saya membaca tulisan tentang Ir. Djuanda Kartawidjaja, pahlawan nasional yang gambarnya tampil pada uang kertas baru terbitan Bank Indonesia, pecahan Rp 50.000. Dalam profil Djuanda itu ada kalimat “Namun ternyata, daerah Tasikmalaya tidak hanya melahirkan orang sehebat Susi ...” (Susi yang dimaksud adalah Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan yang lahir di Pangandaran, pesisir selatan Jawa Barat. Tasikmalaya daerah bagian selatan Jawa Barat tempat lahir Raden Djuanda Kartawidjaja).
Kaget? 
Surprise?
Kenapa harus terkejut?

Djuanda

Ir. Djuanda bukan orang kemarin sore, dan bukan seseorang yang baru saja “ditemukan”. Sudah terekam dalam catatan sejarah bahwa perdana menteri terakhir kabinet parlementer itu adalah kelahiran Tasikmalaya.
Apabila si penulis laporan baru tahu bahwa Djuanda lahir di Tasikmalaya, dan terkejut, dia tentu ketinggalan dalam hal pengetahuan umum. Jika si penulis laporan itu terkejut setelah tahu bahwa Ir. Djuanda kelahiran Tasikmalaya, dia tidak perlu mengajak audience ikut terperanjat lewat kata “ternyata”, karena segala sesuatu yang sudah jadi rekaman sejarah, tidak pada tempatnya “diternyata-ternyatakan” saat diceritakan kembali.

Gaya penulisan yang menggunakan kata “ternyata” untuk hal yang tak seharusnya mengejutkan ini, terasa seperti gejala matinya rasa bahasa wartawan. Pilihan diksi dilakukan tanpa pertimbangan rasa bahasa. Jika itu menjadi kebiasaan, lama kelamaan publik pun akan dihinggapi bahaya matinya rasa bahasa itu.

Catatan: Tulisan ini pertama muncul sebagai status di akun Facebook Penulis pada tanggal 21 Desember 2016.

Tambah komentar baru

Teks polos

  • Tidak ada tag HTML yang diperbolehkan.
  • Baris dan paragraf baru akan dibuat otomatis.

Mungkin banyak yang belum pernah makan umbi bunga lily (bunga bakung). Umbi bunga lily bisa...

Rose Chen

Biasanya saya masak daun labu siam dengan kuah santan. Ribet karena harus menggiling bumbu halus...

Rose Chen

Kami tidak biasa makan nasi waktu sarapan. Biasanya jenis roti atau pancake. Di sini saya...

Rose Chen

Mimisan adalah keluarnya...

Rose Chen

Salah satu fungsi...

Rose Chen

Ini bukan tentang "new normal" jaga jarak, pakai masker, cuci tangan atau yang lainnya dalam...

Rose Chen

Semua virus termasuk virus penyebab COVID-19, SARS-CoV-2 berkembang biak dalam sel hidup dengan...

Rose Chen

Beberapa hari yang lalu seorang sahabat bertanya, apakah Ivermectin bisa dipakai untuk terapi...

Rose Chen

Catatan: Tulisan ini sebenarnya adalah jawaban saya kepada teman yang bertanya melalui...

Rose Chen