Menurut yang saya dengar, tujuan utama ke Toraja itu adalah upacara pemakaman dan pemandangan yang indah. Bagi saya pribadi, Toraja adalah cerita tentang kehidupan dan kematian. Saya tidak pernah menemukan kebudayaan lain di mana kehidupan dan kematian eksis bersama dalam keharmonisan tiada tara, walau di tengah pergolakan ekonomi, politik dan agama. Yang saya maksudkan dengan “kehidupan” di sini adalah semua yang hidup : tumbuhan, binatang dan manusia; sedang “kematian” adalah segala yang mati atau telah mati. Bersama, keduanya menjadi satu kisah utuh.
Hutan bambu merupakan bagian dari pemukiman tradisional Toraja. Mereka menggunakan bambu dalam hampir setiap aspek kehidupan. Mulai dari tongkonan, atau jembatan seperti yang saya lewati dalam perjalanan ke rante pertama yang saya kunjungi.
Ini adalah salah satu kuliner khas Toraja, Pa' piong Manuk, daging ayam dicampur dengan sayur bulunangko (mayana) ataupun burak (batang pisang muda) dan cabai katokkon serta bumbu lainnya dan dimasak dalam bambu hingga matang. Selain Pa' piong Manuk ada juga Pa' piong Bale (ikan) dan Pa' piong Bai (babi).
Daun mayana juga dipakai untuk mengobati batuk pada anak-anak dengan cara dimasak bersama kuning telur dalam bambu.
Makanan khas lain adalah Pantollo Pammarasan, daging babi yang dimasak dengan keluwak (pangi) dan bumbu lainnya. Selain menggunakan babi, ada juga pammarasan yang dimasak dengan daging ayam ataupun daging sapi dan pare (Pare Pammarasan).
Pohon kluwak banyak ditemukan di sini. bijinya dikeluarkan, dihancurkan dan dijemur kering. Biji ini yang membuat warna masakan menjadi hitam. Kata guide saya, kalau dimakan sebelum kering betul bisa membuat mabuk.
Batutumonga
Sore pertama di Toraja, guide membawa kami ke Batutumonga yang terletak di lereng gunung Sesean, 22 km dari Rantepao. Pemandangan yang menyejukkan setelah sebelumnya menyaksikan kerbau disembelih.
Menanam padi dan pesta ikan adalah kegiatan bersama setelah panen (yang juga dilakukan bersama anggota masyarakat lain). Di satu bagian sawah digali lubang besar untuk memelihara ikan. Kolam ini dikelilingi dengan bambu atau tumbuhan lain yang berakar kuat agar tidak ambruk. Kolam ini dibuat untuk mendapatkan ekosistem yang seimbang. Kotoran dari ternak dipergunakan sebagai pupuk organik. Nenek moyang orang Toraja memang orang-orang yang bijaksana.
Kami singgah ngopi di Mentirotiku Homestay dan menikmati lukisan alam. Rasanya bagaikan berdiri di negeri di atas awan.
Saya membaca beberapa turis asing menulis review yang bernada negatif tentang tempat ini, tapi saya tidak menemukan hal negatif di sini. Pelayannya ramah dan kami boleh melihat-lihat area homestay tersebut. Kalau saya lebih muda, pasti saya akan memilih menginap di sini.
Cabe katokkon botolan bisa dibeli di toko-toko atau di Pasar Bolu, pasar terpanjang di Toraja.
Tanaman utama lain adalah kopi dan coklat.
Guide kami sebenarnya adalah guide untuk mountain biking, rafting dan trekking yang sangat berpengalaman. Ada banyak pilihan trekking di sekitar Batutumonga. Dia bercerita bahwa kadang kala, sewaktu mereka kehabisan air minum waktu trekking, mereka mengisap biji kopi ini untuk melepas dahaga.
Catatan:
Guide: Ucok Pasaka
Nomor telepon genggam: 0852 4308 7705
Kurre' Sumanga, Ucok!
Sebelumnya - Toraja: Kehadiran Leluhur Nyata Adanya - IVB
Tambah komentar baru