Perjalanan hidup tidak selalu mulus- datar tanpa gelombang. Apa yang anda lakukan jika suatu hari dihadapkan pada kondisi yang mengancam atau tidak nyaman seperti kehilangan pekerjaan, perceraian, atau kematian orang dekat? Tersungkur dan menyerah? Bangkit kembali?
Resilience dapat diartikan sebagai ketangguhan, ketahanan, kelenturan atau fleksibilitas seseorang dalam menghadapi satu masalah. Kemampuan untuk adaptasi pada kondisi yang kurang menguntungkan. Mampu untuk kembali ‘berdiri’ setelah jatuh, setelah gagal. Tidak ada satu kata tunggal dalam bahasa Indonesia yang dapat merangkum arti dari ketiga unsur tersebut.
Mengapa ada orang yang tahan banting, namun ada yang gampang stress dan menjadi depresi? Jika seorang individu hidupnya ‘datar’ dan tidak ada gejolak sama sekali, ia tidak akan tahu seberapa tangguh (resilient) dirinya. Ketika kita dihadapkan pada kendala, stres, atau ancaman, resilient akan timbul. Menyerah dan langsung mundur atau berusaha mengatasi dengan mencari solusi? Resilience menjadi tantangan baru bagi psikolog untuk mendalami lebih lanjut.
Norman Garmezy, psikolog perkembangan anak dan klinis di University of Minnesota, Amerika, telah meneliti ribuan anak dalam kurun waktu empat dekade. Bersama dengan kolega dan para lulusan universitas tersebut, Garmezy menjadi pioneer yang mengkaji soal teori resilience dan mendapat julukan the grandfather of resilience theory dari majalah The New York Times. Ia meninggal karena penyakit Alzheimer pada tanggal 21 November 2009, dalam usia 91 tahun.
Menurut Garmezy, kendala, stressor atau ancaman dapat muncul dalam berbagai bentuk. Status sosial ekonomi yang lemah, kondisi rumah yang tidak kondusif, perceraian, sakit kronis, kecelakaan fatal, dan lain sebagainya. Durasi dan intensitas stresor akan mempengaruhi sikap dan cara kita menghadapinya. Untuk stresor yang muncul mendadak, intensitasnya biasanya tinggi. Jika stressor berasal dari sesuatu yang kronis, yang sudah berlangsung lama, intensitas akan lebih rendah.
Riset yang dilakukan oleh peneliti sebelum Garmezy, menitikberatkan pada sisi kelemahan individu, bukan pada faktor positif atau talenta yang dimiliki setiap orang. Garmezy dan kawan-kawannya fokus pada sisi sebaliknya. Mereka memperhitungkan latar belakang atau kekuatan kepribadian individu dalam menghadapi kendala yang timbul.
Pada tahun 1989 Emmy Werner, psikolog perkembangan anak, meneliti 698 anak selama 32 tahun di Kauai, Hawaii. Werner memonitor perkembangan anak yang dihadapkan pada stres sejak dalam kandungan: kemiskinan, masalah dalam keluarga, dan lain sebagainya. Dua pertiga dari responden adalah anak-anak yang berasal dari keluarga yang bahagia dan stabil secara finansial, sementara sepertiga lagi anak-anak yang ‘rentan’ (at risk). Hasil penelitian tidak berbeda jauh dengan kesimpulan Garmezy. Tidak semua anak yang ‘rentan’ bereaksi sama terhadap masalah yang dihadapi. Ada anak yang punya masalah dalam belajar, terlibat kenakalan remaja, kesehatan mental terganggu, namun ada juga yang menjadi orang dewasa kompeten, percaya diri dan penuh perhatian.
Resilience dapat berubah dari waktu ke waktu. Werner mengatakan tergantung pengaruh mana yang lebih besar, stressor atau resilience. Jika stresor kuat, resilience akan kewalahan. Tiap orang punya batas ketahanan yang berbeda. Ada yang sebelumnya tidak tangguh, tapi ketika dihadapkan pada masalah, ia akan belajar bagaimana untuk survive. Resilience bisa dipelajari dan dilatih.
Sebagaimana Garmezy dan Werner, George Bonanno, psikologis klinis dari Colombia University’s Teachers College, juga mencoba mencari tahu apa yang mempengaruhi tingkat resilience seseorang. Setiap individu punya kemampuan dasar bagaimana harus merespons jika dihadapkan pada stresor. Mengapa ada orang yang mampu mengatasi stres dengan efektif dan dan ada yang justru terpuruk?
Menurut Bonanno, elemen utama resilience adalah persepsi. Tergantung bagaimana seseorang memandang satu peristiwa, apakah menjadi traumatis atau dianggap sebagai kesempatan untuk belajar dan berkembang. Suatu peristiwa yang berpotensi traumatis, misalnya kematian mendadak orang dekat kita (teman dekat atau pasangan hidup), kita akan cenderung bersedih hati. Jika kita dapat melihat peristiwa itu dari sisi positifnya, misalnya jadi lebih sadar untuk menjaga kesehatan atau menjadi lebih dekat dengan anggota keluarga lain atau komunitas, maka peristiwa menyedihkan itu tidak menjadi traumatis. Ada nilai yang didapat dari setiap peristiwa.
Orang yang punya dukungan spiritual atau yang religius, lebih tangguh dibandingkan dengan yang non-religius. Kejadian yang membuat stres atau traumatis belum tentu akan terus berdampak negatif pada seseorang, tergantung pada persepsi orang tersebut.
Cara pandang positif bisa dipelajari dan dilatih. Kita bisa melatih agar tidak selalu rentan atau rapuh (fragile) dengan cara merubah cara berpikir dan cara pandang terhadap suatu peristiwa. Mengatur dan mengendalikan emosi, bagaimana merespons suatu peristiwa yang membuat stres, seperti yang diajarkan dalam psikologi positif oleh Martin Seligman, psikolog dari University of Pennsylvania.
Jika kita punya resilience, kekuatan diri itu menjadi pengaman dan membantu kita untuk bangkit kembali dan punya mekanisme pertahanan diri yang sehat (healthy coping mechanism). Resilience tidak menghilangkan masalah, tapi membuat kita mampu untuk melihat dari sisi yang lain, menemukan sisi positifnya dan mengatasi stres dengan lebih baik. Rasa marah, sedih dan sakit hati itu tetap ada dan dirasakan tapi kita mampu untuk ‘berjalan tegak’ dan menjalani keseharian seperti biasa, tidak terganggu baik dari sisi fisik maupun psikologis. Terlindungi dari kecemasan ataupun depresi dan tidak menjadi trauma.
Melatih Resilience
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk melatih resilience:
- Perluas jaringan pertemanan. Jika terlibat dalam suatu komunitas, baik itu komunitas atau organisasi di lingkungan sekitar tempat tinggal, aktif dalam kegiatan keagamaan atau menjadi sukarelawan, kemungkinan mendapatkan teman baru akan lebih besar.
- Isilah hari-hari anda dengan hal yang berarti dan menambah semangat. Tentukan tujuan dan target yang ingin dicapai sehingga apa yang dilakukan lebih terarah dan tidak mengambang.
- Belajar dari pengalaman. Coba anda ingat kembali bagaimana anda mengatasi masalah pada masa yang lalu. Strategi apa yang anda lakukan saat itu, apakah bisa dijadikan referensi untuk peristiwa yang mungkin akan dihadapi kelak? Anda dapat mempelajari pola mana yang positif dan mana yang negatif.
- Tetap punya harapan. Seperti kata pepatah, masa lalu tidak dapat dirubah, tapi kita selalu punya harapan yang lebih baik untuk masa depan. Belajar untuk menerima dan mengantisipasi perubahan kondisi, akan membuat kita lebih mudah beradaptasi dan mengurangi kecemasan ketika dihadapkan pada masalah baru.
- Jaga kesehatan fisik maupun mental. Belajar mengelola stres dengan teknik relaksasi seperti yoga, meditasi, berdoa, latihan pernafasan, kembangkan imajinasi.
- Bersikap proaktif. Hadapi masalah, bukan diabaikan. Cari solusi dengan menganalisa masalah dan pikirkan apa yang harus dilakukan, buat rencana dan ambil tindakan. Butuh waktu untuk proses pemulihan terlebih jika menghadapi masalah yang berat, traumatik atau kehilangan orang dekat.
Tahun 1999, Davis mengumpulkan hasil penelitian dan berbagai literatur tentang ciri-ciri orang yang resilient:
- Dari segi fisik: sehat, tubuh terawat.
- Dari segi kehidupan sosial: luwes dalam bergaul, banyak teman, punya empati.
- Dari segi kognitif: punya kecerdasan di atas rata-rata, mampu memprediksi, punya kemampuan memecahkan masalah, optimis, mampu berimprovisasi.
- Dari segi emosi: realistis, mandiri, kreatif, punya harga diri yang tinggi, punya sense of humour, punya kontrol diri yang baik
- Dari segi moral: mampu berkontribusi, punya prinsip.
- Dari segi spiritual: punya keyakinan bahwa ada maksud dari setiap perbuatan, menganut nilai-nilai tertentu.
Menjadi resilient, butuh waktu dan banyak latihan diri. Jika merasa sudah melatih diri namun masih tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu harus mulai dari mana ketika masalah menghadang, mungkin ini saatnya anda butuh bantuan professional. Dengan panduan pihak yang kompeten, anda dapat meningkatkan kesehatan mental dan kadar resilient anda.
Baca juga: Kesehatan Mental Anak
Comments
Terimakasih artikel nya…
Terimakasih artikel nya...izin copas😊🙏
Add new comment