Melapor

Sebelumnya: Masa Orientasi Yang Menjengkelkan

“Mengapa Papa ketawa?” saya bertanya sambil berjalan mendekati Papa yang berdiri berhadapan dengan Kepala Desa. “Iya, Sia. Kami taruhan. Tadi beliau bilang, “Anakmu pasti balik sambil berurai air mata.” Papa bilang, “Ah, tidaklah. Anakku nanti pasti balik sambil ketawa.” Ternyata benar, begitu kami dengar suara sepeda motor mendekat, kami berhenti ngobrol, menoleh menunggu kalian muncul dari tikungan. Betul saja, gitu muncul, kamu datang dan memamerkan gigi kelincimu.” 

Saya tertawa mendengar penjelasan Papa. Mama yang katanya sudah capek menunggu juga ketawa. “Bukan badannya yang capek, Sia. Hati ini capek karena rasanya kok lama sekali kamu pergi. Dan kita sudah sangat lapar.” Pak Kepala Desa juga ketawa, “Iya, Bu. Kupikir anak Ibu pasti nangis. Kabarnya dokter yang di sana itu waktu baru masuk menangis dan minta pindah, tapi tak bisa. Sekarang dia sudah biasa.” 

Saya tidak menemukan alasan untuk menangis, padahal saya gampang mengalirkan air mata. Nonton film tragis, saya menangis. Nonton adegan mengharukan, saya menangis. Dengar cerita lucu, saya ketawa sampai… menangis! Saya ditempatkan di daerah sangat terpencil atas permintaan sendiri, tentu harus siap mental untuk menerima “sangat terpencil” itu. Tapi apakah benar saya telah siap mental? Saya sering angkuh menilai diri sendiri. 

Waktu masih kuliah saya kursus bahasa Inggris di Perhimpunan Persahabatan Indonesia Amerika (PPIA) yang cukup bergengsi di Medan pada masa itu. Biaya kursus saya ditanggung seorang Pastor Katolik. Di kelas Advanced, dalam buku bacaan ada satu cerita tentang seorang wanita yang sangat percaya diri, merasa dia “always ready for the unexpected” - selalu siap menghadapi hal-hal yang tak terduga. Ketika suatu hari dia mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya, kepercayaan dirinya bagai dirampas oleh Pak ApaLoe, dirobek-robek lalu diremas-remas seperti kertas ujian yang dapat nilai merah dan dicampakkan ke lantai.

Papa meminjam mobil jeep temannya untuk mengantar saya melapor ke Kepala Puskesmas. Saya tidak tahu dia bertanya kepada siapa jalan mana yang harus kami tempuh. Pagi itu, kami bertiga --Papa, Mama, dan saya-- bermobil sekitar empat jam (dari Padangsidimpuan) di jalan lintas Sumatera sebelum berbelok masuk ke jalan kecil. Setelah beberapa saat, jalan aspal mulus berganti jadi jalan aspal bopeng. Jalan aspal bopeng berubah menjadi jalan bebatuan. Perumahan di kedua sisi jalan mulai berkurang. Saya berpikir, “Segini saja daerah sangat terpencil? I can do it.” 

Jalan bebatuan menjadi tanah liat yang becek dengan lubang-lubang besar berisi air hujan yang bercampur dengan lumpur. Jarak satu rumah ke rumah berikut makin jauh. Ada kebun karet … hutan… bukit … dan saya berpikir, “Emang masih ada manusia tinggal di balik bukit ini?” Ternyata masih ada, dan masih ada, dan masih ada, hingga kami sampai di satu jalan yang agak lebar. Beberapa rumah tampak di kedua sisi jalan. Ada seseorang duduk merokok di bawah pohon. Papa menghentikan mobil dan menyapa orang itu yang ternyata adalah kepala desa. Beliau mengatakan bahwa mobil kami, ups, mobil pinjaman kami tidak bisa maju lebih jauh lagi. Saya harus naik “ojek”. Anak kepala desa kemudian mengantar saya dengan sepeda motor. 

Perjalanan kami sejak keluar dari jalan lintas Sumatera hingga titik itu adalah sekitar tiga jam. Perjalanan saya dengan sepeda motor hingga ke rumah dinas Kepala Puskesmas adalah sekitar satu jam. Jaraknya jika di jalan aspal mulus mungkin bisa ditempuh dalam waktu 10-15 menit. Seharusnya saya membayar separuh ongkos saja karena puluhan kali dalam perjalanan itu saya harus turun dari sepeda motor dan berjalan kaki … berjalan bertelanjang kaki, tepatnya. Belasan kali saya harus berjalan karena sepeda motor harus lewat batang pohon kelapa yang dijadikan “jembatan”. Bukan … “jembatan” itu bukan melewati sungai, bukan juga parit … hanya lubang besar berisi air yang tidak bisa diperkirakan kedalamannya karena airnya sangat keruh. Belasan kali pula saya harus turun karena sepeda motor mogok. Seperti pasien di klinik Telinga Hidung Tenggorokan (THT) tidak bisa mendengar karena kotoran kuping memenuhi rongga telinganya, begitulah ban sepeda motor itu harus dikerok lumpurnya agar bisa jalan lagi. Saya terpaksa menenteng sandal yang saya pakai karena setiap saya menginjakkan kaki di lumpur yang sampai ke betis saya dalamnya, sandal itu menempel dan tertinggal di dalam lubang bekas injakan kaki. Saya merasa seperti wanita dalam buku bacaan di tempat kursus Bahasa Inggris itu.

Jalan Desa
Ruas jalan yang mulai diperlebar beberapa bulan setelah saya bertugas

Sumpah! Saya tak pernah menemukan orang yang begitu gembira menyambut kedatangan saya seperti Kepala Puskesmas yang saya temui untuk melapor. Mungkin dalam hatinya dia berseru, “Haaaaa! Akhirnya ada teman untuk berbagi derita.” Waktu mengantar saya ke pintu pagar ketika saya akan pulang, dia berkata, “Cepat balik ya.”

Selanjutnya: Sup Iga Sapi dan Disentri

Add new comment

Plain text

  • No HTML tags allowed.
  • Lines and paragraphs break automatically.

Termasuk dalam Magao Ecological Park adalah Mingchi dan Cilan Forest Recreation Area.…

Rose Chen

Berada di ketinggian 1100 meter hingga 2600 meter di atas permukaan laut, Aowanda…

Rose Chen

Terletak di kota Renai di Nantou, Taiwan Tengah, Qingjing Veterans Farm (Foggy Eden) terbuka…

Rose Chen

Ketika roti tawar bersisa atau ketika tidak ada yang mau makan bagian tepi roti yang lebih keras…

Rose Chen

Saya pernah mencoba memakai baju “cheongsam”. Seorang teman di gereja mengatakan bagus…

Rose Chen

Donat Ayam (untuk 12 buah)

resep oleh: Sandy Law

Bahan:

250 gr…

Rose Chen

"Mengapa kamu wajib menonton film The Untamed di Netflix". Saya sedikit terkejut membaca twit…

Aldus Tolvias

Sebenarnya sup ini saya masak dengan panci khusus yang tidak perlu penambahan air. Jika…

Rose Chen

Pada suatu hari yang membosankan di tahun 2019, sebelum pandemi menyerang dunia, saya mencoba…

Aldus Tolvias