Sebelumnya: Pasien Khusus (Bagian 2)
Setelah usia saya lebih dari seperempat abad, saya baru tahu bahwa hampir semua orang muda adalah idealis dan naif. Orang muda mulai masuk ke dunia kerja dengan optimis dan ambisius. Buku fiksi maupun non-fiksi yang mereka baca boleh jadi tidak membuat mereka menyadari bahwa dalam perjalanan hidup ini kita bisa bertemu dengan hal-hal yang tidak terduga.
Saat saya masuk ke desa S, saya membayangkan orang desa itu semua baik, jujur, lurus. Di desa itu televisi satu-satunya hanya ada di rumah Pak Kepala Desa (di rumah Pak Kades ada generator listrik). Di malam hari, banyak warga yang menonton di rumah beliau. Anak-anak duduk atau berdiri hingga di luar pintu dan jendela yang dibiarkan terbuka. Mereka menonton tidak lama. Mungkin hanya menonton film silat Cina. Saya menyangka begitu karena ada yang bercerita ke saya bahwa waktu saya pertama masuk desa itu dibonceng supir ojek, anaknya pikir saya bintang film silat. Mestinya mereka tidak terpolusi kehidupan kota dengan segala kriminalitasnya…. atau LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) yang katanya bisa ditularkan itu. Well, think again.
Ada seorang perempuan yang kita sebut saja namanya D. Rambutnya pendek seperti laki-laki dan dia selalu memakai kaus dan celana pendek dengan kain sarung yang tidak dililit, hanya satu bagian disampirkan di bahu, seperti selendang. Saya sering melihat dia di antara penduduk yang datang ke rumah Kapus waktu saya masih tinggal di sana. Setelah beberapa minggu, dia mulai datang sendiri dan mondar-mandir di luar rumah. Biasanya memanggil: Mia, Mia!
Saya: Dia manggil siapa Niar?
Niar: Panggil Kak Rose.
Saya: Kan namaku bukan Mia.
Niar: Itu panggilan kesayangan dia untuk Kak Rose. Ha ha ha.
Tentu saya tidak percaya dan menganggap Niar bercanda saja. Tapi D makin rajin stalking (mengejar, mengikuti) saya. Setelah saya pindah ke rumah dinas sendiri, sore-sore dia sering berdiri di luar pagar saya memanggil: Mia! Mia! Kadang-kadang dia melemparkan batu-batu kecil ke halaman rumah atau dinding rumah saya, mungkin agar saya keluar melihat dia. Kalau saya ke rumah pasien, dia juga ikuti. Jika saya melihat ke arahnya, dia akan tersenyum atau ketawa dan mengatakan sesuatu yang saya tidak mengerti ujung pangkalnya. Niar bilang ke saya bahwa D naksir saya.
Suatu ketika saya ke belakang rumah mengangkat jemuran. Tiba-tiba saya lihat seseorang berdiri (dari jongkok) di semak belukar di balik pagar. Dia melihat ke arah saya dan ketawa. Kemudian dia membungkuk memungut dedaunan untuk membersihkan bagian bawah tubuhnya. Ternyata dalam menunggu saya muncul di belakang itu si D kebelet. Untung tidak ada bodat yang mengusirnya karena sembarangan menggunakan "pekarangan" mereka. Untung pula itu hutan dan tidak ada yang berjalan lalu lalang di situ. Tidak terbayangkan kalau saya memijak kotoran yang ditinggalkan manusia di tengah jalan.
Baca lanjutannya: Tidak Seindah Perkiraan (Bagian 2)
Add new comment