Feminisme bukan hal yang mudah untuk dibahas secara singkat. Ini disebabkan selain karena gerakan feminisme pada dasarnya sudah dimulai sejak berabad-abad yang lalu, tetapi istilah feminisme itu sendiri baru dikenal sekitar seabad yang lalu. Definisi dan tujuan gerakan feminisme juga sangat luas, mencakup dan dipengaruhi oleh terlalu banyak aspek.
Akhir-akhir ini feminisme kembali menjadi topik hangat karena ternyata banyak yang salah mengerti tujuan feminisme dan bahkan banyak terdengar konotasi negatif tentang feminisme.
Di bawah ini kutipan dari sebuah tulisan yang saya baca di salah satu situs internet.
“Seorang wanita pada dasarnya memang berbeda dari laki-laki. Wanita dilahirkan untuk menjadi ibu bagi anak-anak mereka, menjadi istri bagi suami mereka, mengerjakan pekerjaan rumah, memasak, dan lain-lainnya. Sementara pria diciptakan untuk menjadi ayah bagi anak-anak mereka, suami dari istri mereka, mencari nafkah, dan sebagainya. Merupakan tindakan yang salah apabila seorang wanita berusaha untuk membuat dirinya sama dengan pria. Seharusnya seorang feminis harus bangga dengan diri mereka dan menolak untuk ‘lari dari kenyataan’ bahwa mereka seorang perempuan. Perbuatan para feminis membentuk gerakan topless equality ini sama saja pengkhianatan bagi diri mereka sendiri. Seharusnya seorang feminis pada dasarnya hanya memperjuangkan hak-hak wanita, bukan menyamakan diri dengan pria. Seorang wanita, tidak berhak untuk melanggar kodratnya sebagai wanita.”
Kodrat… memangnya “kodrat” itu apa? Kodrat seorang wanita apa?
Dari Kamus Bahasa Indonesia
kodrat :
(1) kekuasaan (Tuhan): manusia tidak akan mampu menentang — atas dirinya sbg makhluk hidup
(2) hukum (alam): benih itu tumbuh menurut — nya
(3) sifat asli; sifat bawaan: kita harus bersikap dan bertindak sesuai dng — kita masing-masing
Sifat asli, dibawa lahir. Jadi bukan yang ditentukan oleh manusia setelah lahir.
Jadi apa contoh kodrat seorang wanita? Saya bertanya pada beberapa orang dan menurut saya, contoh berikut ini sangat tepat. Saya kutip langsung dari jawaban beliau.
Kodrat perempuan misalnya : Sesudah berhubungan seks dengan pria, perempuan berhadapan dengan risiko yang laki-laki tidak dibebani risiko itu …
Seorang wanita, bisa menjadi hamil, ini adalah kodrat seorang wanita. Seorang wanita setelah akil balik, setiap bulan akan menstruasi, ini juga adalah kodrat wanita.
Lalu, apakah ‘memasak’ adalah kodrat wanita dan ‘mencari nafkah’ adalah kodrat pria?
Sejarah Singkat Feminisme
Feminisme adalah suatu ideologi dalam memperjuangkan kesamaan hak dan kesetaraan perempuan dengan lelaki.
Dalam masyarakat tradisional zaman dulu, wanita dianggap ‘tak berharga’, mereka dianggap tak mampu melakukan apapun selain kodratnya sebagai wanita yaitu melahirkan.
Pada abad ke XVII, di Eropa kekuasaan tertinggi ada pada gereja. Kekuasaan mutlak gereja dengan peraturan-peraturan yang merugikan perempuan, memancing timbulnya protes. Simone de Beauvoir, seorang wanita bangsawan Perancis menulis : …“pertama kalinya kita melihat seorang perempuan mengangkat penanya untuk membela sesama jenisnya” adalah Christine de Pizan yang menulis ‘Epitre au Dieu d’Amour (Epistle to the God of Love) pada abad ke XV. Setelah itu bermunculan nama-nama penulis wanita lainnya seperti Heinrich Cornelius Agrippa dan Modesta di Pozzo di Forzi pada abad ke XVI. Marie Le Jars de Gournay, Anne Bradstreet dan Francois Poullain de la Barre pada abad ke XVII.
Para ahli membagi gerakan feminime dalam tiga gelombang :
1. Gelombang pertama, sekitar abad ke XIX dan awal abad XX.
Awalnya tujuan gerakan ini terutama untuk memperoleh kesetaraan hak akan harta bersama dan kedudukan seorang istri dalam pernikahan. Tapi pada akhir abad XIX, gerakan feminisme berubah menjadi lebih terfokus kepada politik yaitu menuntut hak untuk ikut memilih.
2. Gelombang kedua, sekitar awal tahun 1960an hingga akhir 1980an.
Gerakan feminisme gelombang kedua dengan slogan “The Personal is Political” yang dipopulerkan oleh aktivis feminis dan sekaligus penulis Carol Hanisch selain memperjuangkan kesetaraan kedudukan wanita dalam politik, juga dalam sosial budaya dan pengakhiran diskriminasi jenis kelamin. Gelombang kedua mengajarkan kepada wanita bahwa ketidaksetaraan kedudukan wanita dalam masyarakat dan politik adalah berhubungan erat.
Gelombang kedua berkesinambungan dan overlap dengan gelombang ketiga.
3. Gelombang ketiga, dimulai awal 1990an.
Gelombang ketiga muncul sebagai respons terhadap kegagalan gerakan feminisme gelombang kedua. Pada saat yang sama terjadi debat internal antara beberapa feminis seperti psikolog Carol Gilligan yang menyatakan bahwa ada perbedaan dasar yang penting antara lelaki dan perempuan dengan mereka yang percaya bahwa tidak ada perbedaan wanita dan pria. Perbedaan fungsi kedua jenis kelamin dalam sosial hanyalah diciptakan oleh manusia sendiri.
Sampai sekarang para feminis masih terus aktif memperjuangkan hak wanita atas tubuh mereka sendiri dan kesetaraan dalam bidang ekonomi.
Gerakan Feminisme di Indonesia
Gerakan feminisme di Indonesia lebih lambat dan tenang dibandingkan dengan di negara lain, mungkin karena pada masa kolonial, ruang gerak wanita Indonesia sangat terbatas.
R.A. Kartini (1879–1904) dianggap sebagai pelopor gerakan feminisme di Indonesia walaupun tindakan nyata yang dia lakukan hanya membuat sekolah kecil untuk perempuan (dengan persetujuan dari suaminya). Meskipun ada kritik bahwa Kartini hanya memiliki ide-ide besar akan persamaan hak perempuan yang dia tuliskan dalam surat-surat kepada temannya di luar negeri tetapi tidak melakukan sesuatu yang berarti, tetap saja beliau adalah yang pertama mencetuskan pemikiran akan suatu perubahan kondisi masyarakat dimana manusia tidak lagi diperlakukan berbeda hanya karena terlahir sebagai perempuan.
Pahlawan nasional seperti Cut Nyak Dhien (SK Presiden 1964), Martha Christina Tiahahu (SK Presiden 1969) dan lain-lain tidak bisa disebut pelopor feminisme di Indonesia karena mereka lebih fokus pada menjadi istri yang baik dan suportif dalam membantu dan mendorong perjuangan kemerdekaan laki-laki. Memang mereka berjuang dengan gagah berani bagaikan laki-laki dalam perang, tetapi mereka bukan memperjuangkan persamaan hak lelaki dan perempuan.
Awal abad ke XX beberapa perempuan Indonesia membentuk suatu perkumpulan resmi yang pada awalnya terdiri dari istri para pemuka-pemuka politik dan golongan pribumi terpandang saat itu. Perkumpulan ini mengadakan suatu kongres pada tahun 1928 di Yogyakarta yang akhirnya menghasilkan Gerakan Istri Sedar dengan misi utama mendorong kaum perempuan untuk menolak poligami. Perkumpulan ini kemudian berganti nama menjadi Gerakan Wanita Sosialis (Gernis) dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dengan misi feminis yang tetap yaitu menolak keras praktek poligami.
R.A. Kartini layak dianggap sebagai pelopor feminisme di Indonesia karena dia yang pertama membuka sekolah dasar untuk anak perempuan pribumi pada tahun 1903. Sekolah yang didirikannya tidak mengenal diskriminasi status sosial.
Dewi Sartika ( 1884 – 1947) adalah putri seorang patih di Bandung. Kedua orang tuanya adalah pejuang kemerdekaan yang pernah diasingkan di Ternate (Maluku). Tahun 1904, Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri atau sekolah perempuan di Bandung yang di kemudian hari berubah nama jadi Sekolah Kautamaan Istri.
Feminisme Salah Kaprah
Tujuan gerakan feminisme di dunia berkembang sesuai dengan kebutuhan dan perubahan zaman, meliputi pornografi, pelacuran, kekerasan seksual dan lain sebagainya.
Tuntutan – tuntutan para feminis yang semakin luas mempermudah terjadinya kesalahpahaman akan tujuan dasar gerakan feminis itu sendiri dan menyebabkan munculnya kritik-kritik dari masyarakat. Misalnya, timbul pertanyaan tentang pakaian wanita. Mengapa wanita harus memakai bra? Di negara barat, timbul protes dan gerakan ‘braless’. Bagaimana kita di Indonesia menghadapi persoalan seperti ini?
Di sinilah pentingnya ‘norma’.
Pada zaman dulu, banyak wanita Indonesia yang topless, misalnya orang Bali. Lalu mengapa sekarang kita tak boleh topless? Mengapa laki-laki boleh?
Karena kodrat, terbentuk norma. Manusia menentukan norma-norma dalam masyarakat, membagi apa yang patut dan tidak patut sesuai dengan keyakinan mayoritas. Dalam kehidupan bermasyarakat, kita harus tunduk kepada norma-norma yang berlaku dalam masyarakat itu.
Perempuan modern Indonesia tidak lagi ‘topless’ karena “budaya” mereka yang lama itu “dikalahkan” oleh budaya yang baru yang dianut oleh mayoritas.
Rekomendasi buku :
Feminism and Sexuality
Buku yang diedit oleh Stevi Jackson ini berisi koleksi debat berbagai lingkup feminime. Ditulis oleh beberapa kontributor seperti Judith Butler, Luce Irigaray, Catherine MacKinnon, Adrienne Rich, Gayle Rubin, Judith Walkowitz, dan Monique Wittig, buku ini mencakup banyak aspek yang perlu kita ketahui tentang feminisme di Amerika dan Eropa.
Jadi, adakah feminis yang menyatakan ingin lari dari kenyataan bahwa mereka adalah perempuan? Bahwa mereka ingin menyamakan diri dengan laki-laki? Atau bahwa mereka tak boleh menyukai lelaki? Adakah yang memiliki tujuan ‘melanggar kodratnya sebagai wanita’?
Anda bisa menjawab sendiri.
Sejarah Nasional Indonesia
Dan berbagai sumber lain yang terlalu banyak untuk disebut satu persatu.
Catatan:
Ada kritik yang mengatakan bahwa Kartini memihak pada pemerintahan Belanda dan ada yang mengatakan dia tidak cocok disebut pelopor emansipasi karena dia sendiri menyetujui poligami. Menjadi istri kesekian bukan berarti menyetujui poligami. Di bawah ini kutipan beberapa surat Kartini. Pembaca bisa memutuskan sendiri, apakah tuduhan-tuduhan tersebut adalah benar.
“Aku sungguh ingin mengenal seorang yang kukagumi, perempuan yang modern dan independen, yang melangkah dengan percaya diri dalam hidupnya, ceria dan kuat, antusias dan punya komitmen, bekerja tidak hanya untuk kepuasan dirinya namun juga memberikan dirinya untuk masyarakat luas, bekerja untuk kebaikan sesamanya”( 25 Mei 1899.)
“Bisakah kau bayangkan derita seorang istri yang melihat suaminya pulang membawa perempuan lain yang kemudian harus diakuinya sebagai istri sah suaminya? Sebagai sainganya? Jika demikian suami itu bisa “membunuh” istrinya, berlaku semena-mena sesuka hati ; meski sang istri mengiba, menangis sampai mengering air matanya mustahil rasanya sang suami memberikan kebebasan padanya! Semuanya untuk keberpihakan laki-laki dan tak ada satupun yang tersisa untuk perempuan itulah hukum dan kaidah hukum disini.” (6 November 1899).
Aku ingin dan aku harus berperang untuk kemerdekaanku. Bagaimana aku bisa meraih kemenangan jika aku tidak berjuang? Bagaimana aku akan menemukannya jika aku tidak berusaha mencari? Tanpa perjuangan tidak akan ada kemenangan; aku harus berjuang Stella, aku hendak menggapai kemerdekaanku. ( 23 Agustus 1900)
“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan” (10 Juni 1902)
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna. Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang baik dan indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban (27 Oktober 1902)
Dewi Sartika tak kalah hebatnya dengan Kartini. Hendaknya setiap wanita Indonesia yang sekarang dapat menikmati banyak kemerdekaan sebagai seorang manusia seutuhnya dan bukan sebagai ‘hanya seorang perempuan’ setiap memperingati atau mendiskusikan feminisme, tidak lupa mngenang juga jasa Dewi Sartika dan banyak lagi pejuang wanita kita lainnya (Selain perjuangan melawan penjajah, tapi juga terutama perjuangan melawan ‘diskriminasi seksual’ dalam segala bidang.
Tambah komentar baru