Lebih dari separuh umur dewasa saya, saya hidup di luar negeri. Dalam membaca tulisan yang serius, mungkin saya lebih mudah mengerti bila ditulis dalam bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Beberapa waktu yang lalu, teman saya di tanah air mengirimkan sebuah buku untuk saya. Buku yang ditulis oleh beberapa penulis muda tentang sepenggal pengalaman hidup mereka itu sangat menarik, ditulis dengan lancar dan jujur, sayangnya ada beberapa kesalahan menulis kata dan penyajian kalimat yang terkadang terasa janggal saat membacanya. Saya pikir, untuk sampai diterbitkan sebagai buku, seharusnya tulisan-tulisan tersebut diedit terlebih dahulu. Bukan diedit sehingga kehilangan gaya bercerita si penulis tapi sekedar memperbaiki kata yang salah, kalimat yang janggal atau kurang enak dibaca karena pemakaian kata yang sama berulang-ulang.
Saya mengerti, tidak di setiap kesempatan kita harus memakai bahasa yang benar, misalnya kala berbicara dengan teman atau menulis untuk blog pribadi. Bahasa penulisan yang benar cenderung kaku dan membosankan. Tergantung pada keseriusan pokok bahasan, penyajian tulisan bisa saja dengan gaya bahasa percakapan sehari-hari sampai pada gaya bahasa jurnalistik hingga gaya bahasa untuk laporan ilmiah.
Di atas saya ada menyinggung kemampuan bahasa Indonesia saya, bukan karena saya bangga saya tinggal di luar negeri. Dalam buku yang saya ceritakan, salah satu penulis menyatakan bahwa bahasa Indonesianya tidak sebaik bahasa Inggrisnya karena dia besar di luar negeri, tetapi menurut penilaian saya, justru tulisan dia lebih baik dari yang lain. Selain itu, dia bukan penulis sedangkan banyak di antara yang lain adalah penulis. Mengapa hal ini bisa terjadi? Saya teringat apa yang pernah teman saya katakan kepada saya. Saya kutip di bawah ini.
Bahasa laporan jurnalistik tidak mungkin menerapkan bahasa yang baik dan benar. Bahasa jurnalistik hanya mungkin dikategorikan sebagai bahasa yang baik. Ukuran bahasa yang baik, adalah kesesuaian bahasa dengan suasana ketika bahasa itu dipakai, forum, sifat hubungan antara pembicara, tingkat pendidikan, dan budaya. Ukuran bahasa yang benar selalu gramatika, dan di dalamnya ada unsur logika. Bahasa jurnalistik hanya diharapkan sebagai bahasa yang komunikatif, baik, tetapi pada saat tertentu bisa saja melanggar ketentuan tata bahasa asalkan logikanya tidak rusak.
Ada beberapa hal yang menjadi latarbelakang merosotnya kemampuan berbahasa (Indonesia).
1. Kurikulum sekolah di Indonesia tidak melatih murid berlogika dengan baik. Murid lebih banyak “dipaksa” menghafal. Inilah yang melahirkan kelemahan dalam kemampuan ekspresi (lisan, maupun tertulis). Dalam hal menunjukkan hubungan sebab-akibat saja (misalnya dalam memakai kata “karena”) anak-anak sekarang lemah. Begitu juga dalam membuat pernyataan membenarkan, menegaskan, membantah, menunjukkan analogi, dan pertentangan. Ketika membimbing penulisan skripsi misalnya, aspek ini membuat kita pusing.
2. Kemampuan guru berbahasa dengan benar pun rendah, termasuk dosen.
3. Karya sastra yang mutunya baik sangat sedikit. Karya sastra populer cukup banyak, tetapi dengan bahasa yang lebih “miskin” dibandingkan dengan karya sastra sebelumnya (baik dalam hal kosakata, maupun dalam memanfaatkan alat ekspresi bahasa Indonesia, misalnya perumpamaan dan peribahasa). Banyak sekali kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sekarang yang seharusnya diberi tanda salib, karena kata itu tidak pernah lagi dipakai dalam berbicara maupun dalam tulisan (sudah mati).
4. Budaya membaca buruk, sehingga persentuhan dengan karya sastra yang lama sangat kurang. Ini menyebabkan, seperti ada yang terputus dalam perkembangan bahasa Indonesia.
5. Media massa (terutama sekali televisi) memasyarakatkan berbagai-bagai kesalahan berbahasa setiap hari (baik narasi yang disiapkan tertulis, bahasa presenter, maupun bahasa narasumber yang ditampilkan di televisi). Tidak sedikit bahasa yang tidak logis terdengar setiap hari. Ini melahirkan dampak peniruan yang menjalar dengan mudah dan cepat. Jika keadaan seperti ini diperbaiki, kita harus mulai dari kurikulum sekolah (melatih logika), dan mengubah metode pengajaran Bahasa Indonesia (menjelaskan aturan dalam tata bahasa harus disertai dengan upaya memahami pesan dan mengapresiasi karya sastra). Besar sekali kemungkinan, anak-anak Indonesia yang pada akhirnya sanggup berbahasa dengan kreatif dan logis adalah --dan hanya-- mereka yang punya kemampuan serta kemauan belajar sendiri.
Sayang sekali, orang, dari segala umur, yang mampu dan mau belajar sendiri tidak banyak. Selain itu, kecintaan generasi muda akan bahasa Indonesia juga hampir tak ada. Generasi muda banyak yang terpesona dengan budaya 'praktis dan yang penting gua suka'. Tentu tidak semua, tapi yang malas berpikir banyak sekali. Bahasa yang dipergunakan di status Facebook terkadang sangat mengerikan. Membaca memang sangat penting, tapi membaca buku semakin jarang orang lakukan, mereka lebih tertarik dengan internet, game, jejaring sosial. Kalaupun ada yang membaca buku, saya meragukan bahasa dari buku yang mereka baca. Sebab itu perlu sekali buku yang akan diterbitkan, diedit terlebih dahulu oleh orang yang kompeten.
Catatan: Tulisan ini pertama muncul di blog lama patahtumbuh pada tanggal 2 Oktober 2014.
Tambah komentar baru