Foto oleh Chandra Alizar dan Lilian Gunawan.
Nepal? Serius? Yup, Nepal. Mendengar kata Nepal, dahi langsung berkerut dan senyum menyeringai. Begitu aneh kah atau menggelikan buat mereka yang tidak pernah terbersit dalam pikiran untuk berlibur sampai ke sana? Koq ke Nepal sih? Ga salah tuh? Liburan ke negara yang terkenal masih kumuh dan tidak keren sama sekali...
Nepal berada di Asia bagian Selatan, di antara Tibet dan India, memiliki 8 dari 10 puncak gunung tertinggi di dunia, terasa begitu menggoda ketika penerbangan Air Asia membuka jalur penerbangan langsung dari Kuala Lumpur – Kathmandu. Pernerbangan perdana mulai 14 April 2013 dengan frekuensi 4 kali seminggu. Negara ini baru dibuka bagi orang asing sekitar tahun 1950, menambah eksotisme dan daya tarik turis karena pegunungan Himalaya terhampar cantik di sana.
Langit cerah di awal musim kemarau menyambut kami berenam di bandara Tribhuvan Kathmandu. Menuruni tangga pesawat dengan hati merekah karena perjalanan yang nyaris batal ini, menjadi kenyataan and here we are now. Akhirnya... penerbangan 4 jam 30 menit dari KL, dengan badan masih pegal linu, memasuki bandara yang sumpek, panas, dan crowded dengan segala macam aroma orang-orang yang menumpuk di depan konter imigrasi. Antri mengisi formulir visa on arrival, antri foto di booth mini dengan membayar 300NRP untuk sekali jepret dan US$ 25 untuk visa 15 hari. Petualanganpun dimulai... di sini, Nepal, The Light of Asia, The Kingdom of Hindu.
Ghana Shyam, tour guide, dan Pak supir, Ram, sudah menanti dengan senyum lebar dan untaian bunga sebagai tanda selamat datang menghiasi leher kami masing-masing. Serasa jadi selebritis dadakan deh. Yihuuuiiiii... tipikal turis Indonesia, di manapun, kapanpun, acara foto-foto tidak pernah terlewatkan. Cheese... klik.
Hiruk Pikuk di Durbar Square
Toyota Hiace yang menjadi tunggangan kami selama 6 hari di Nepal, meluncur di tengah hembusan debu sepanjang jalan menyusuri Lembah Kathmandu menuju Durbar Square, salah satu UNESCO World Heritage Sites dari tujuh bangunan bersejarah lainnya di Nepal. Durbar artinya istana. Durbar Square merupakan pusat kota tua Kathmandu, dibangun antara abad 17 dan abad 18 oleh raja-raja Nepal. Di sini terdapat istana Raja Malla, istana Raja Syah, istana Hanuman Dhoka yang dijaga oleh sepasang patung singa dari batu. Gempa dahsyat tahun 1934 membuat pemerintah melakukan restorasi besar-besaran pada bangunan-bangunan bersejarah tersebut. Sampai sekarang alun-alun masih dipergunakan untuk acara-acara penting kerajaan.
Hal pertama yang dilakukan setibanya di Durbar Square, pakai masker untuk antisipasi debu (meskipun akhirnya dicopot juga setelah 10 menit) dan menyerbu money changer. Selembar US$ 100 mulus ditukar dengan 8540NPR (Nepali Rupee). 1000NPR sekitar Rp 115.000,-. Segepok lembaran uang lusuh dan kumal berpindah tangan dan memenuhi dompet.
Makan siang hari ini di roof top restaurant, seberang alun-alun Durbar Square. Di sekitar alun-alun bertebaran resto di lantai atas seperti ini, menikmati semilir angin dan suguhan pemandangan Durbar Square. Dengan semangat ingin mencoba makanan khas Nepal, menu kari dan dumpling pun dipesan. Berhubung hampir 80% penduduk Nepal adalah penganut Hindu, kita akan sering menjumpai menu yang mengandung babi. Di sini disebut wild boar, sejenis babi hutan. Daging sapi dan ayam menjadi pilihan lain. Ternyata, rasa kari kurang pas dengan selera kami, beda dengan rasa kari yang biasa kita jumpai di Indonesia. Kari di Nepal tidak dimasak dengan susu maupun santan, hanya digodog dengan air saja.
Berjalan kaki di keramaian lalu lintas yang hiruk pikuk dan klakson yang beradu merdu, membutuhkan kesigapan tersendiri dan perlu ekstra hati-hati karena pejalan kaki selalu jadi pihak yang harus mengalah jika berpapasan dengan kendaraan yang akan lewat. Sepanjang jalan menuju ke istana, banyak yang berjualan makanan di gerobak, pedagang asongan menawarkan cindera mata, anak-anak remaja yang duduk santai di pelataran bangunan, dan turis-turis yang sibuk dengan kameranya, menambah keriuhan suasana di sore hari itu.
Dari Durbar Square kita dapat menyusuri pasar tradisional yang padat dan penuh dengan aneka macam sayuran, buah, bunga dan dagangan lainnya. Buah-buahan dijajakan dengan sepeda dalam keranjang berkawat tinggi. Anggur hijau tanpa biji, pisang, apel dan mangga semua tersusun rapi dalam keranjang. Kebanyakan buah didatangkan dari India. Menurut Ghana, buah lokal hanya apel hijau, rasanya agak masam, seperti apel Malang.
Bunga warna-warni dirangkai indah untuk keperluan sembahyang dan beragam sayuran digelar di tepi jalan yang berdebu. Orang-orang lalu lalang dan berpacu dengan kendaraan yang seliweran di jalan sempit itu. Tidak ada sumpah serapah yang tercetus meskipun beberapa kali ada yang nyaris keserempet kendaraan. Kabel-kabel bergelantungan dari tiang ke tiang, menambah keruwetan suasana di sana. Beberapa anak kecil kami ajak berfoto dan begitu gembira ketika diberikan permen sebagai hadiah menjadi model dadakan.
Harga bahan bakar lebih mahal dari Indonesia tapi pompa bensinnya lebih jelek.
Akhirnya, The Soaltee Crowne Plaza. Hotel ini menjadi penghibur hati setelah perjalanan panjang dan melelahkan sehari ini. Agar tetap bisa merasakan nikmatnya liburan meskipun berada di tengah suasana yang serba asing, Pop mie, sambalado, kacang teri balado, sambal sachet, dan abon akan menjadi back up makanan selama di sini. Feels at home… in the minimalist way.
Satu hal penting yang agak sulit didapatkan adalah sim card lokal untuk Blackberry. Di sini hanya ada NCell dan Telecom. Butuh satu hari untuk proses administrasi dengan copy paspor. Provider Indonesia hanya Telkomsel yang punya link dengan Nepal. Namun ternyata travel agent meminjamkan satu sim card untuk kami pakai bersama. Ini artinya, acara chatting via bbm atau Whatsapps dengan para fans bakal terganggu. Ini artinya BB on jika ada wifi saja. Hikssss... Excuse me, Sir. Any wifi here? Password please... ini menjadi kalimat yang selalu ditanyakan setiap kali tiba di resto atau toko.
Pokhara
Pokhara, kota ketiga terbesar di Nepal, merupakan pusat turisme. Berada ketinggian 827 m di atas permukaan laut dan 200 km di sebelah barat Kathmandu, dapat ditempuh selama 6,5 jam lewat jalan darat. Ada lima airlines dengan rata-rata 15 penerbangan setiap harinya, siap mengangkut turis dari Kathmandu ke Pokhara. Trekking dan paragliding merupakan pesona utama di kota ini. Annapurna Range, salah satu pintu gerbang pendakian ke pegunungan Himalaya, berada tak jauh dari Pokhara.
Sebelum mobil bergerak, Ghana sudah wanti-wanti untuk siap di medan yang berat, we will pass the bumpy and winding roads to Pokhara. Jadi, siapkan fisik dan mental. Ternyata, saya KO juga, perut mual dan pusing, tidak bisa diajak kompromi. Di perhentian kedua, akhirnya isi perut keluar semua. Hoooeekkkk... but the journey continued. Nothing’s gonna stop us.
Enam setengah jam kemudian, Pokhara. Tak sabar menanti untuk segera check in hotel, istirahat sejenak, meluruskan pinggang dan kesempatan berdaster-ria di Temple Tree Resort and Spa, hotel yang memperoleh Certificate of Excellence 2012 dari Tripadvisor. Ahaaaa… ternyata dapat komplimen dua kamar yang di-upgrade ke suite room. Kamar luas dan nyaman untuk berhaha-hihi. Ada dapur mini dilengkapi dengan microwave, mesin pembuat kopi, kompor listrik dan lemari es kecil dan yang penting. Free wifi di semua area.
Tujuan malam ini, Tranquility Spa untuk menikmati 90 menit ayurvedic massage. Spa dengan harga 2800NPR (sekitar Rp 310.000,-) sungguh merilekskan tubuh dan pikiran. Pijatan dengan tekanan yang cukup kuat di beberapa bagian tubuh untuk sirkulasi darah dan eliminasi toksin dalam tubuh. Target utama adalah menstimulasi sistem pencernaan. Terapis saya, Rupa, cukup sopan dan handal memijat. Beberapa kali bertanya apakah pijatan cukup keras, bagian mana yang sakit dan ingin dipijat lebih khusus, minta izin untuk memijat bagian tubuh tertentu dan sebagainya. Hmm... so relaxing.
Makan malam akhirnya jam sembilan di Namaste Café, sekitar sepuluh menit jalan kaki dari Spa. Café buka 24 jam dengan suguhan live music. Namaste merupakan salam khas Nepal dengan kedua tangan dikatupkan di dada. Salutasi jika kita bertemu maupun pamitan. Banyak dijumpai nama toko atau tempat lain yang menggunakan kata Namaste. Duduk di lantai dua resto, menikmati malam yang sejuk setelah diguyur hujan sejak sore hari. Nasi goreng ala Nepal, ayam Tandoori, sup jagung dan teh hangat segera terhidang. Meja di belakang kami berisi turis Korea yang asik berceloteh dengan riang. Banyak turis muda Korea di Pokhara. Sepertinya mereka datang untuk trekking karena sektor Annapurna adalah jalur trekking paling populer di Nepal.
Indahnya Mentari Pagi di Sarangkot
Morning call jam 4.15 pagi. Saatnya mengejar keindahan matahari terbit di Sarangkot. Butuh 30 menit perjalanan dari hotel untuk sampai ke Fishtail view point. Sarangkot adalah desa kecil di bukit dan merupakan pintu gerbang untuk rute pendakian Annapurna Range. Terletak di ketinggian sekitar 1.400 m di atas permukaan laut. Delapan puncak pegunungan Himalaya terlihat dari desa ini. Dua di antaranya, Dhaulagiri di ketinggian 8.167 mpl dan Annapurna I (8.091 mpl), termasuk dalam daftar 10 puncak tertinggi di dunia. Sarangkot juga merupakan salah satu dari 10 tempat terbaik di dunia untuk kegiatan paragliding.
Di tengah keheningan subuh yang terasa magis, para turis seakan terbius dan terpaku menanti terbitnya sang surya dari balik pegunungan Himalaya yang bersalju abadi. Perlahan semburat jingga kemerahan muncul dan wowww... segala susah payah untuk sampai ke tempat ini seakan terbayar dengan pemandangan yang luar biasa indah. Momen itu berlangsung singkat, hanya sekitar sepuluh menit, namun pengalaman ini sungguh sangat mendalam dan mengesankan.
Pemandangan sebelum matahari terbit sampai detik-detik merekahnya sang surya mengingatkan kita akan keagungan Sang Pencipta dan semakin menghargai keindahan alam yang begitu memukau. Di tengah suhu sekitar 15 derajat Celcius (tidak begitu dingin karena ini adalah awal dari musim kemarau), kami menapaki jalan bebatuan naik ke menara untuk menikmati pemandangan yang lebih spektakular. Hujan tadi malam menyapu kabut, langit pagi sedemikian biru dan cerah, semilir angin menerpa pipi dan senyumpun menyembul di keheningan pagi. Sungguh suatu pengalaman yang luar biasa.
Terlihat dengan jelas puncak Machhapuchhre (6.993mpl) yang ikonik itu. Fish tail… buntut ikan. Puncak ini disakralkan oleh masyarakat setempat dan belum dibuka untuk pendakian. Puncak Fish tail ini menjadi ikon kota Pokhara.
Terbitnya mentari pagi yang menarik kunjungan wisatawan ke daerah ini merupakan berkah yang besar bagi penduduk setempat yang rata-rata berkulit kuning dan bermata sipit seperti orang Tibet. Mereka hidup dari pertanian dan menjual cindera mata. Pashmina, karpet, kalung dan gelang serta pernak-pernik lainnya menjadi andalan utama yang menggerakkan roda perekonomian desa itu.
Turun dari Sarangkot, dalam perjalanan kembali ke hotel, kami singgah di kuil Bindhya Basini, sekitar 15 menit dari Sarangkot. Dari kuil ini kita dapat melihat Fish Tail dan pemandangan kota Pokhara. Indah sekali…
Kembali ke hotel, mandi dan menikmati sarapan pagi dengan menu yang bersahabat untuk bekal energi hari ini. Tujuan selanjutnya adalah Danau Fewa, danau kedua terluas di Nepal dengan latar belakang pegunungan Himalaya. Ada pulau kecil di tengah danau yang merupakan tempat suci bagi umat Hindu dengan adanya kuil Barahi. Perahu kecil dengan empat penumpang membawa kami di tengah terik matahari menuju ke kuil Barahi. Lebih banyak orang lokal yang datang dengan keluarga daripada turis. Nampaknya turis-turis bule lebih tertarik untuk trekking dan paragliding daripada mengunjungi kuil-kuil.
Makan siang hari ini, Chinese food, ala Sezhuan yang dimasak oleh orang-orang keturunan Tibet. Di luar dugaan, ternyata lezat boo. Hmm… cukup untuk menghapus rasa kari dari makan siang di Durbar Square.
Tujuan wisata lain di sekitar Pokhara adalah Devi’s Falls — dikenal juga dengan sebutan Patale Chhango, air terjun yang terletak dua km di sebelah selatan barat daya dari Pokhara, merupakan salah satu tempat wisata yang kerap dikunjungi. Ada sebuah gua keramat di seberang lokasi Devi’s Falls, sepanjang tiga km dan kita dapat menyusuri gua sampai ke lokasi air terjun.
Berburu Pashmina
Pashmina, oleh-oleh khas Nepal yang berasal dari bulu domba Pashmina (disebut yak) yang hidup di ketinggian 14,000 kaki di pegunungan Himalaya di Nepal dan di India bagian Utara. Serat pashmina setara dengan serat cashmere wool yang bermutu tinggi dan dan ditenun dengan tangan karena diameter serat yang begitu halus (14-19 microns), tidak memungkinkan untuk dikerjakan dengan mesin. Serat Pashmina lebih tipis dan ringan dari cashmere wool. Tipis namun menghangatkan dan halus.
Yang membedakan kualitas pashmina adalah dari bulu bagian mana pashmina dibuat. Bulu dada bagian dalam adalah yang paling halus. Satu helai syal dengan kualitas terbaik dijual sekitar US$ 250. Untuk souvenir, tersedia banyak pashmina dengan harga US$ 8-10 per helai di beberapa kios tempat wisata.
Beragam warna dan motif pashmina diturunkan dari rak dan kami sibuk memilih. Seru dan bingung memilih mana yang cocok karena pilihan banyak sekali. Saya harus mengingat-ingat warna favorit setiap teman yang akan dibagikan pashmina. Nampaknya memang pashmina adalah oleh-oleh paling berkesan karena khas Nepal.
Souvenir lainnya berupa aneka macam T-shirts dengan disain I love Nepal, Tintin in Nepal, Yak Yak Yak, Hard Yak Nepal, dan berbagai desain lain yang menarik, gelang dan kalung, pajangan domba Yak, magnet kulkas dan gantungan kunci, mangkuk bernyanyi (singing bowl) yang mengeluarkan suara karena vibrasi energi jika kentongan kecil diputar di atas mangkuk, artefak keagamaan dan ukiran dari batu atau kayu.
Mengejar Matahari Terbit di Nagarkot
Pagi ini siap meninggalkan Pokhara dan menuju Nagarkot. Nagarkot, 34 km di sebelah timur Kathmandu, melewati jalan pegunungan yang sempit dan menanjak, ditempuh dalam delapan jam. Berada di ketinggian 2,715m dari permukaan laut, tempat yang strategis untuk menikmati hangatnya mentari pagi menyembul dari balik Mt. Everest yang fenomenal. Kota kecil ini merupakan salah satu gerbang trekking dari sisi Langtang Range.
Sore di Nagarkot, kabut tebal tidak bergeser sedikitpun dan menyelimuti seluruh pegunungan. Hujan yang ditunggu-tunggu tidak kunjung tiba untuk menyapu kabut tebal. We missed the sun rise here. Cuaca tidak terlalu dingin,hanya sekitar 15 derajat Celcius pada akhir April itu. Menurut petugas The Country Villa, hanya sekali waktu pada 14 Februari 2007 seluruh lokasi di pegunungan sektor Langtang Range dan The Country Villa tempat kami menginap, tertutup salju tebal. Pemandangan itu diabadikan dan dipajang di dinding dekat meja reception.
Bhaktapur
Sekitar satu jam dari Nagarkot, kita akan tiba di Bhaktapur, kota tua yang historis, pusat pembuatan gerabah di Nepal. Kota budaya yang merupakan kota pertama di Asia Pasifik yang menjadi ‘The First Honorable Mention’ pada tahun 1998/99. Tidak ada kendaraan bermotor yang boleh masuk ke area kota tua ini. Bhaktapur Durbar Square dimasukkan dalam daftar World Heritage Sites pada tahun 1979. Kompleks kota tua ini sangat luas dan membutuhkan waktu 1,5 jam untuk berjalan kaki keluar di sisi gerbang lain. Pak Ram akan menjemput kami di gerbang sana.
Bhaktapur bak museum hidup karena banyak festival sepanjang tahun yang digelar di sini. Tempat bertemunya masyarakat dari Utara dan Selatan. Banyak ritual tahunan seperti Bisket Jatra (pertengahan April), Gai Jatra (Agustus), Dashain dan Tihar (Oktober dan November) adalah contoh beberapa atraksi utama dalam tiap festival. Ada kereta besar yang akan ditarik dari dua sisi berlawanan seperti tarik tambang oleh sekelompok orang dari Utara dan Selatan. Merupakan atraksi yang selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat setempat.
Kembali ke Kathmandu
Must-visit place di Kathmandu adalah Distrik Thamel, pusat perbelanjaan yang ramai dan jangan lupa untuk mampir ke gerai Himalayan Java Café untuk menikmati kopi organik Nepal. Tidak jelas kenapa ada terselip kata Java dalam nama Café. Gerai kopi yang modern dan suasana yang cozy untuk hang out di distrik Thamel yang hiruk pikuk. Melepas lelah dan pegalnya kaki setelah bershopping-ria di sepanjang Thamel, duduk selonjor di sofa yang empuk sambil menikmati segelas Iced Latte. What a life... really relaxing. Harga kopi hanya setengah dari gerai kopi international chains dengan rasa yang tidak kalah nikmatnya dan yang terpenting adalah free wifi here and chatting on the go, friends... yuhuuuu
Malam terakhir di Kathmandu. Ibu Bendahara sibuk menghitung semua uang keluar dan berapa sisa uang, dibuatkannya laporan kas yang rinci... C’mon, it’s midnight Ma’am... time to sleep... time to collect all the sweet days in Nepal.
Sarapan pagi terakhir di The Soaltee Crowne Plaza. Masih ada waktu beberapa jam untuk menelusuri jalanan di downtown Kathmandu sebelum ke bandara. Seakan tidak mau rugi, last photo sessions along the streets dengan latar belakang pohon-pohon berbunga ungu yang cantik. Beberapa outlet internasional seperti Zara, Nike, KFC, Victoria’s Secret, berjajar sepanjang jalan menuju Thamel. Toko-toko baru buka sekitar jam 10 pagi di sini. Jam resmi perkantoran adalah 9 pagi sampai jam 5 sore. Sekolah mulai jam 10 pagi sampai jam 4 sore.
Sunita, dari Nepal Dream Agency yang menyusun perjalanan ini, datang menemui kami dan setiap orang diberikan syal warna krim sebagai tanda selamat jalan. Namaste Sunita, Ghana dan Ram. Saatnya berpisah dan siap untuk petualangan berikutnya and for sure... we’ll be back for trekking sometime in February or March. Olala... I left my heart in Nepal... (Excuse me, Sir... Any wifi here? Password please...).
HOW TO GO:
- Air Asia membuka jalur penerbangan langsung sejak 14 April 2013 dari Kuala Lumpur ke Kathmandu (KL-KTM), 4 x seminggu. Harga tiket promo yang kami dapatkan pada Juli 2012 sekitar US$ 320 pp .
- Kathmandu-Pokhara dapat ditempuh via udara dengan penerbangan domestik seperti: Yeti Airlines, Nepal Airlines, Buddha Air, Sita Air dan lainnya. Ada sekitar 20 jadwal penerbangan setiap harinya. Harga tiket sekitar US$ 200an pp .
- Untuk perjalanan darat, dapat menghubungi travel agensi untuk pengaturan kendaraan.
- Visa on arrival dapat diurus di bandara Tribhuvan dengan menyertakan pas foto 1 lembar dan mengisi formulir aplikasi visa. Biaya visa US$ 25 untuk 15 hari kunjungan, US$ 40 untuk 30 hari, US$100 untuk 90 hari. Maksimum 150 hari visa untuk setahun. Multiple entry selama masa berlaku visa.
WHERE TO STAY:
- Kathmandu: The Soaltee Crown Plaza : www.Crowneplaza.com
- Pokhara : Temple Tree Resort and Spa : www.templetreenepal.com
- Nagarkot: Hotel Country Villa : www.hotelcountryvilla.com
WHEN TO VISIT:
Nepal memiliki 4 musim utama yakni:
Musim dingin : Desember – Februari (4-14 derajat Celcius)
Musim semi : Maret – Mei
Musim panas : Juni – Agustus (33-35 derajat Celcius)
Musim gugur : September – November
Saat terbaik mengunjungi Nepal adalah bulan Oktober – Desember di mana langit cerah dan bersih. Suhu udara tidak terlalu panas ataupun dingin. Saat panen padi dan gandum. Festival penting dan menarik juga banyak pada periode ini. Inilah saat musim turis di Nepal. Untuk trekking, dianjurkan pada bulan Februari – Maret. April – Juni cuaca mulai panas dan berdebu karena merupakan awal musim kemarau.
Berhubung Nepal memiliki fenomena monsoon dimana cuaca dapat berubah dengan ekstrim, ada baiknya mengecek kondisi cuaca di web sebelum tiba di Nepal.
MUST-SEE PLACES:
- Sarangkot – 30 menit via darat dari Pokhara, tempat di mana kita menikmati sun rise dari balik gugusan pegunungan Himalaya. Lokasi trekking untuk jalur Annapurna Range.
- Pokhara – pusat turisme. Danau Fewa terletak di sini dengan latar belakang pegunungan Himalaya dan dapat melihat paraglider beraksi.
- Devi’s Falls – air terjun akan deras dan kelihatan lebih indah jika datang pada bulan Oktober-Desember.
- Bhaktapur – kota tua yang historis
- Nagarkot – menikmati sun rise dari sisi Langtang Range. Puncak Everest dapat terlihat dari sini. Merupakan salah satu gerbang pendakian ke Himalaya.
- Ayurvedic Massage
Travel Agensi: Nepal Dream Travel Service : www.nepaldream.com
Ms. Sunita Sharma – Operation Manager
Email: sunita@nepaldream.com
Guide: Mr. Ghana Shyam Nepal
Email: g_nepal@hotmail.com
TIPS BERKUNJUNG KE NEPAL:
- Bawa uang dalam mata uang US$ dan tukar NPR di money changer yang tersebar di tiap kota di Nepal. Tukar secukupnya saja karena NPR hanya berlaku di negara ini.
- Siapkan pasfoto 1 lembar ukuran 3×4 cm untuk melengkapi visa on arrival.
- Selalu sedia tisu basah dan tisu kering karena toilet tidak terlalu bersih dan tisu tidak selalu tersedia.
- Siapkan cardigan atau jaket kasual dalam tas tangan untuk berjaga-jaga bilamana cuaca tiba-tiba berubah drastis.
- Payung dan topi
- Obat-obatan pribadi, karena tidak mudah untuk mencari apotik di setiap lokasi
- Koper jangan terlalu besar dan berat. Tidak ada jasa porter di sana, jadi semua harus diurus sendiri. Travel light.
- Bawa pakaian casual yang sopan terlebih bila mengunjungi kuil dan tempat-tempat sakral lainnya, kita lebih baik berpakaian yang tidak terlalu terbuka.
- Baterai cadangan untuk handphone atau kamera.
- Jangan membeli makanan di sembarang tempat karena faktor higienis kurang terjaga, seperti jajan pasar yang dijual terbuka di pinggir jalan.
Komentar
Terimakasih,akhirnya saya…
Terimakasih,akhirnya saya menemukan refrensi untuk ke Nepal.saya punya teman orang Nepal.
Semoga bermanfaat, Henny…
Semoga bermanfaat, Henny. Kalau jadi pergi, jangan lupa bagi cerita ke sini ya....
Tambah komentar baru