Peribahasa --serangkaian kata atau kalimat yang menyatakan sesuatu dengan berkias-- adalah salah satu unsur kekayaan bahasa. Ia sanggup menerangkan maksud yang jika dipaparkan secara biasa bisa berupa satu atau dua paragraf. Peribahasa memiliki kemampuan eskpresi yang kuat. Bahkan ia dapat dipakai buat “melumpuhkan” lawan berdebat. Ia mengisyaratkan pikiran atau menjadi penggambaran tentang sesuatu. Sayangnya, kian tua usia dunia kian sirna pemahaman masyarakat akan makna peribahasa.
Pada tahun 1990-an, ketika masih bekerja sebagai wartawan di sebuah suratkabar di Jakarta, saya menyunting sebuah news feature dan mengganti judulnya menjadi “Kalau Tidak Ada Berada, Masakan X Bersuara Rendah”. X adalah seorang pengusaha kondang. Dia menyatakan pendapat tentang kebijaksanaan pemerintah yang sebetulnya tidak menguntungkan usahanya, namun dia menerima kebijaksanaan itu dengan pernyataan mendukung. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi yang membuat dia tidak memberikan kritik terhadap kebijaksanaan tersebut.
Tetapi rupanya saya ceroboh. Beberapa orang yang saya tanya, tidak paham akan kias yang dinyatakan judul itu. Bahkan salah seorang redaktur senior --lebih senior dibandingkan dengan saya, malah-- di suratkabar tempat saya bekerja itu pun ikut bertanya, gerangan apa makna judul itu.
Judul itu adalah plesetan untuk peribahasa “Kalau tidak ada berada, masakan tempua bersarang rendah”. Tempua atau manyar adalah burung kecil, kampiun “arsitektur” dalam hal membuat sarang (biasanya dari rumput kering, atau jerami), tempat dia bertelur dan membesarkan anak. Sarang itu selalu dia gantungkan di ujung ranting pohon tinggi, atau di ujung pelepah kelapa, sehingga sulit dicapai siapa pun. Penduduk suka sekali memungut sarang tempua yang jatuh karena angin. Bahkan ada yang sengaja mengambilnya. Tetapi, sekali-sekali ada pengecualian. Sarang tempua bisa ditemukan dalam belukar, rendah, dekat dari tanah. Hanya saja, jangan mencoba mendekat, karena di situ ada “bahaya”: bisa berupa sarang tawon, bisa sarang ular, atau tempat bersemayam binatang berbisa lainnya. Itulah sebabnya tetua kita di masa lampau, punya ungkapan “kalau tidak ada berada, masakan tempua bersarang rendah” (jika di situ tak ada sesuatu --bahaya-- tidaklah mungkin tempua membuat sarang serendah itu).
Dalam beberapa (rasanya puluhan kali) pelatihan wartawan, saya mencoba mengetahui, apakah para jurnalis itu punya pengetahuan tentang peribahasa yang akan sangat banyak membantu mereka dalam menulis laporan. Hasilnya, seperti yang diperlihatkan redaktur senior rekan saya tadi. Peribahasa kian asing bagi mereka, kecuali beberapa ungkapan yang masih dilazimkan hingga sekarang: “kebakaran jenggot”, “di ujung tanduk” (tanpa frase “bagaikan telur"), “bagaikan menegakkan benang basah” ...
Ketika ditanya apa arti “esa hilang dua terbilang”, semua yang memberi jawaban mengatakan “mati satu, tumbuh seribu” – dan itu adalah makna yang keliru. “Esa hilang, dua terbilang” adalah pernyataan tekad seorang pendekar/prajurit yang hendak turun ke medan laga dan berkata “hanya ada dua kemungkinan; 1. saya terbunuh (hilang), atau; 2. saya membunuh (menang, dan menjadi pahlawan di mata orang banyak, terbilang). Jika bertanya kepada mahasiswa masa sekarang, anak muda kelahiran 1990-an, “generasi televisi dan media sosial”, keadaannya kian memprihatinkan.
Walau begitu, menyenangkan juga melihat di kalangan wartawan kita sekarang masih ada keinginan untuk mencoba memakai peribahasa sekali-sekali dalam laporannya. Hanya saja, jika peribahasa itu tidak dipahami dengan baik, pemakaiannya terkadang jadi ganjil. Seperti peribahasa dalam cuplikan laporan berikut ini – bangau terbang jauh, dan jatuh... ke pelimbahan pula...
“...
Napoli seperti rumah bagi Cannavaro. Di sanalah, ia mengenal sepakbola. Setelah menimba ilmu di akademi Napoli, Cannavaro bermain di tim utama pada 1992-1995. Setelah itu, Cannavaro melanglang buana dengan membela Parma, Inter Milan, Juventus, Real Madrid, Juventus, dan Al-Ahli.
Sejauh-jauhnya bangau terbang, jatuhnya ke pelimbahan juga. Peribahasa itu tampaknya cocok menggambarkan kiprah Cannavaro...”
(Kompas)
Peribahasa yang benar adalah “setinggi-tingginya bangau terbang, kembalinya ke kubangan juga”...
Tampaknya kata-kata dalam peribahasa yang dimaksud tercampur-baurkan dengan kata-kata dari peribahasa "air dari cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan juga".
Siapa saja yang kini mengaku mencintai dan menjunjung tinggi Bahasa Indonesia ada baiknya memikirkan kekayaan budaya ini --alat ekspresi yang sesungguhnya ampuh-- yang secara pelan-pelan tetapi pasti, tenggelam...
Nasib peribahasa itu sendiri dalam kenyataannya kini (sebetulnya sudah lama) berkebalikan dengan apa yang ia katakan. Peribahasa itu sudah lapuk oleh hujan, dan telah lekang dicekik panas.
**Artikel ini awalnya ditulis sebagai note di account Facebook.
Tambah komentar baru