Hari Kedua: Sepanjang jalan ke Taitung
Qixingtan
Kami bangun pagi-pagi karena ingin melihat matahari terbit di pantai, sayang hujan turun cukup lebat. Hujan memang sering mengguyur Hualien sepanjang tahun. Setelah sarapan kami berangkat ke pantai Qixingtan - 20 menit dengan mobil dari hotel kami.
Pantai Qixingtan menghadap lautan Pasifik. Batu di pantai berwarna putih hingga hitam dengan berbagai corak- sangat menarik. Ada juga tempat untuk berbaring di lantai melihat bintang di malam hari.
Gereja Xincheng
Lima belas menit –perjalanan dengan mobil-- dari pantai Qixingtan ada satu gereja Katolik tua yang berbentuk kapal (No 64, Bo’ai Road, Xincheng, Hualien).
Kota Xincheng adalah kota utama tempat tinggal suku Atayal dan Amis. Pada bulan Desember 1896, seorang tentara Jepang memperkosa seorang gadis dari suku Boshilin. Penduduk Taroko marah dan membalas dendam dengan menyerang pos militer di area Xincheng. Mereka membunuh 13 tentara Jepang. Kejadian ini disebut tragedi Xincheng. Tentara Jepang kemudian mendirikan kuil Shinto untuk mengenang tentara mereka yang wafat. Walau kemudian kuil ini dibeli oleh gereja Katolik, tidak banyak perubahan yang mereka lakukan terhadap bangunannya.
Saya berpikir, begini mungkin cara orang yang tidak berpikiran sempit, padahal ada Torii, gerbang khas Jepang yang biasanya ada di depan tempat ibadah penganut Shinto dan beberapa peninggalan khas Shinto. Tentulah mereka berpikir itu hanya benda, tidak perlu dirusak, dibuang, atau dimusnahkan.
Liyutan (Danau Liyu)
Dari Xincheng kami melanjutkan perjalanan menuju danau Liyu, sekitar 50 menit perjalanan dengan mobil. Danau Liyu terletak di kaki gunung Liyu - kota Shoufeng, 18 km dari pusat kota Hualien. Panjang danau 1,5 km dengan lebar 930 m, merupakan danau terbesar di Hualien.
Air Liyutan berasal dari mata air di tengah danau. Tiap April ribuan kunang-kunang menari-nari di atas air danau. Kita bisa berjalan atau bersepeda mengelilingi danau.
Ada juga trail bagi yang ingin hiking. Pemandangan yang indah sedikit terganggu oleh boneka-boneka plastik.
Satokoay Historical Site
Satokoay adalah bahasa suku Ami yang artinya “tempat berdirinya pilar rumah” (tempat roh leluhur tinggal). Di tempat bersejarah Satokoay ada dua pilar batu raksasa setinggi 5,75 meter dan 3,99 meter. Terletak di dataran Wuhe, kota Ruisui menghadap lembah dengan sungai Xiuguluan mengalir di tengahnya. Menurut legenda suku Ami --penghuni asli Wuhe-- mereka harus menyanyikan lagu doa tradisional sambil mengelilingi area di mana mereka akan mendirikan rumah. Jika mereka melakukan kesalahan waktu bernyanyi, mereka akan tertiup oleh topan dan semua akan menjadi batu.
Kedua batu raksasa di Satokoay adalah dua orang yang melakukan kesalahan waktu menyanyikan lagu persembahan. Seperti biasa, yang namanya legenda, pasti ada versi lain.
Cerita terkenal lain adalah bahwa kedua batu tersebut adalah anak kembar dari kepala suku Ami yang diikat di tiang kayu di depan gerbang desa. Mereka dilahirkan kembar tetapi yang satu warna kulitnya gelap dan yang satu putih. Masyarakat Ami waktu itu menafsirkannya sebagai pertanda buruk. Mereka mengikat kedua anak itu, meninggalkan mereka, dan pindah ke desa lain. Keduanya akhirnya menjadi batu.
Menurut penelitian arkeolog, kedua pilar raksasa itu berasal dari zaman Megalitikum. Selain kedua pilar batu, para arkeolog juga menemukan banyak peninggalan sejarah lain di Satokoay. Ada reliks Kebudayaan Quilin dari 3.000 tahun yang lalu, Kebudayaan Huagangshan Hualien dari 2.100 tahun yang lalu, dan juga Kebudayaan Amei (Jinpu) dari 1.600 tahun yang lalu.
Sebelum menuju hotel di Taitung, kami singgah di kota kecil Chishang melihat taman bunga. Sayang bunganya belum begitu banyak. Bulan Maret baru akan mekar semua.
Tambah komentar baru